Pengamat Teroris Prediksi Muncul Pemimpin Jihadis Pengganti Ba'asyir

Abu Bakar Baasyir.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Istimewa

VIVA – Pemerhati terorisme Al Chaidar mengamati bahwa jaringan jihadis atau teroris dengan Abu Bakar Ba'asyir sebagai panutan mereka sudah nyaris punah. Kelompok jihadis atau radikal, kini mengalami disiorientasi atau kehilangan arah, setelah pengaruh Ba'asyir meredup, ditambah situasi terpecah-belah.

Namun, Al Chaidar menengarai, dalam situasi semacam itu biasanya pertanda akan muncul sosok baru pemimpin yang akan meneruskan visi kelompok jihadis, meski belum terang betul figur baru itu. Yang pasti, katanya, akan ada titik balik sampai muncul pengganti Ba'asyir.

"Kemungkinan besar, akan ada titik-balik lahirnya pemimpin baru yang berbeda dan lebih baik dari ABB (Abu Bakar Ba'asyir)," kata Al Chaidar dalam keterangan tertulisnya kepada VIVA pada Selasa 29 Januari 2019. 

Al Chaidar menganggap, kelompok atau kalangan jihadis kini tak memiliki pemimpin atau panutan sekaliber Ba'asyir. "Kalau tokoh biasa ada."

Dalam situasi semacam itu, gerakan para jihadis melemah, tetapi pada saat yang sama mereka akan mencari pola baru pergerakan untuk menyalurkan hasrat mereka.

Dia menguraikan, sejumlah fase gerakan jihadis di Nusantara sejak akhir abad ke-19, yang di tiap-tiap fasenya pernah mengalami krisis kepemimpinan, tetapi kemudian muncul sosok baru panutan. Puncaknya, ketika Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) tahun 1949.

Setelah era Kartosoewirjo, katanya, gerakan jihadis melemah dan gonta-ganti pemimpin sejak 1962: dimulai Abdul Fatah Wirananggapati, dilanjutkan Tahmid Rahmad Kartoesoewirjo, lalu Adjengan Masduki, berpindah tangan ke Haji Ismail Pranoto (Hispran), kemudian Ustaz Abdul Halim atau Abdullah Sungkar, hingga akhirnya Abu Bakar Ba'asyir. 

"Saya memprediksikan, titik-balik yang akan terjadi setelah (era Abu Bakar Ba'asyir) ini adalah titik integrasi yang akan berdampak pada seluruh komunitas politik Indonesia. Atau, akan munculnya apa yang disebut oleh Clifford Geertz (1972) sebagai revolusi integrasi," ujarnya.

Menurut Al Chaidar, kepemimpinan kharismatik Ba'asyir dibangun mulai dari kasus makar yang dituduhkan rezim Orde Baru terhadap Abdullah Sungkar dan Ba'asyir di Jawa Tengah. Penerus Hispran melihat cahaya spiritual bersinar dari sikap konsisten dan konsekuennya dalam mempertahankan kebenaran di tengah otoritarianisme Orde Baru.

Kapasitas Ba'asyir dalam referensi Islam dan manajemen pergerakan yang berhasil mengirimkan para pengikutnya ke Moro dan Afghanistan membuatnya dianggap sebagai titisan atman ilahi. Kharisma tidak bisa bertahan terlalu lama dalam iklim politik yang terus berubah. (asp)