Kelamin Beruang di Cimahi Diraba, Dianggap Pelecehan Seks atas Hewan

- BBC News Indonesia/Yulia Azka
Sumber :
  • bbc

Untuk kali pertamanya muncul protes terbuka atas perilaku manusia yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadap seekor beruang di sebuah atraksi sirkus di Cimahi, Jawa Barat.

Di hadapan penonton sebuah atraksi sirkus di Cimahi, Jawa Barat, pertengahan Februari lalu, dalam sebuah adegan, sang pelatih memegang kelamin seekor beruang jantan.

Adegan "memegang kelamin" merupakan bagian dari atraksi beruang madu bernama Bimo yang durasinya sekitar 10 menit. Namun adegan seperti selalu diulang dalam setiap atraksi si Bimo.

Aksi rutin meraba kelamin beruang madu ini, yang merupakan bagian atraksi sirkus yang digelar PT Wersut Seguni Indonesia (WSI), inilah yang diprotes pegiat aktivis penyayang binatang.

"Hentikan pelecehan seksual terhadap beruang yang bernama Bimo," kata Marison Guciano, Koordinator Masyarakat Anti Sirkus Hewan Indonesia, saat unjuk rasa di sekitar lokasi sirkus, Cimahi, Jawa Barat, Kamis (14/02).

Seperti dilaporkan wartawan di Bandung, Julia Alazka, untuk BBC News Indonesia, saat sang pelatih memegang memegang kelamin beruang itu, ada pembaca acara yang melakukan interaksi dengan pengunjung sirkus.

"Aku malu," kata pembaca acara, seolah-olah membawakan peran si Bimo. Lalu dia mengajukan pertanyaan sendiri: "Malu kenapa."

"Aku enggak pakai celana. Bawahnya tu kelihatan," kata pembaca acara, lalu diikuti tindakan pelatih memegang kelamin Bimo. Sontak saja penonton, yang didominasi ibu-ibu dan anak-anak, tertawa.

Video adegan "memegang kelamin" beruang itu kemudian tersebar di media sosial serta sudah ditonton ribuan kali.

Sekelompok orang di Bandung yang menyebut dirinya sebagai Masyarakat Anti Sirkus Hewan Indonesia mengetahui isi video itu dan langsung melakukan protes kepada pengelola sirkus tersebut.

"Hari demi hari, Bimo mengalami pelecehan seksual, di mana alat kelaminnya dipermainkan oleh pelatihnya," kata Marison, koordinator kelompok tersebut.

Menurutnya, sirkus merupakan bentuk pelecehan, eksploitasi pada hewan. "Sirkus itu bukan edukasi. Masyarakat sudah ditipu," tandasnya.

Mereka kemudian menggelar unjuk rasa di sekitar lokasi sirkus di Cimahi. "Tutup, tutup, tutup sirkusnya, tutup sirkusnya sekarang juga!"

Apa komentar pengelola sirkus?

Pimpinan PT Wersut Seguni Indonesia (WSI), pengelola sirkus tersebut, saat dimintai tanggapan tentang adegan yang dianggap melecehkan Beruang Bimo tersebut, malah balik bertanya.

"Oh, itu dituduhkan sebagai pelecehan?" kata Romi, asisten Manajer PT WSI, saat ditemui wartawan di lokasi sirkus, Jalan Gandawijaya, Cimahi, Kamis (14/02).

Romi berkilah adegan itu bukan pelecehan seksual, dan justru dia menganggap ada nilai edukasinya.

"Kalau diurut cerita awalnya beruang itu, mengapa dia nggak pakai celana. Ya itu tadi, malu. Harusnya ditutupin , pakai celana, (edukasi) untuk adek-adeknya (penonton)," kilah Romi.

Kendati demikian, pihaknya berjanji menghilangkan hal-hal yang dianggap kurang baik.

"Kita akan memperbaiki yang tadi dianggap pelecehan. Nanti itu akan kita hilangkan, yang pasti itu. Karena memang masyarakat menanggapinya ini kurang baik," janji Romi.

`Untuk lucu-lucuan saja`

Sementara Andri, pelatih sekaligus pelaku tindakan meraba kelamin beruang yang dianggap melecehkan itu, mengaku tidak tahu jika perbuatannya itu pelecehan seksual.

Adegan tersebut, kata Andri, sudah sering dilakukan terutama saat penonton ramai. Tujuannya, lanjut Andri, "untuk lucu-lucuan".

"Itu kayak buat lucu-lucuan, humor gitu loh . Kalau pas ramai, (adegan itu) saya pakai. Kalau sepi, enggak saya pakai," kata Andri yang telah melatih satwa sirkus selama sembilan tahun.

Namun demikian, jawaban pengelola dan pelatih sirkus itu dipertanyakan oleh Marison. Dia menegaskan apa yang dialami beruang Bimo adalah bentuk pelecehan seksual.

"Parahnya lagi, atraksi itu dilakukan untuk memancing tawa penonton," katanya.

"Karena jelas mempermainkan alat kelamin satwa itu tindakan tidak etis. Jelas-jelas itu merupakan bentuk pelecehan seksual. Beruang bukan merupakan objek dari kekerasan seksual dari pawang (yang tujuannya) hanya untuk membuat pengunjung tertawa," jelasnya.

Menyikapi aksi protes itu, PT WSI langsung menghilangkan adegan pelecehan seksual dalam atraksi beruang Bimo, setelah unjuk rasa berakhir.

"Ya kita `kan ada peraturannya. Ya, sudah jangan dipakai sampai seterusnya," ujar Andri.

Pelecehan seks atas hewan: Fenomena gunung es

Profauna, organisasi yang fokus pada satwa liar dilindungi, mensinyalir kejadian pelecehan seksual pada hewan sebagai sebuah fenomena gunung es.

"Tentu saja (ini sebuah fenomena gunung es). Perlakuan masyarakat Indonesia yang mayoritas tidak menghormati ekosistem membuat fenomena ini sebagai gunung es," kata Herlina Agustin, Dewan Penasehat Profauna, kepada Julia Alazka.

"Pengelola sirkus Wersut Seguni saja menganggap hal ini biasa. Bukan kasus luar biasa. Berarti kejadian ini sering terjadi," katanya.

Menurutnya, kejadian yang menimpa beruang bernama Bimo itu bukanlah yang pertama. Dia kemudian memberikan beberapa contoh serupa:

"Orangutan yang dijadikan pelacur atau owa Jawa betina yang benci pada manusia perempuan di tempat rehabilitasi primata.

"Sisanya pasti ada satwa lain yang juga jadi korban pelecehan seksual manusia. Terutama pada satwa domestik seperti anjing, kambing, kuda dan sejenisnya," ungkapnya.

Beruang Bimo bukanlah satu-satunya hewan yang mengalami dugaan pelecehan seksual. Sebelumnya ada kisah Pony, orangutan berita yang dijadikan pelacur untuk melayani hasrat seks manusia di Desa Kareng Plangi, Kalimantan Tengah.

Profauna: `Masyarakat tidak pernah dididik hargai satwa`

Herlina menambahkan, masyarakat juga begitu permisif karena telah kehilangan hormatnya pada satwa, terutama saat industri dan keuntungan ekonomi menjadi tujuan utama dalam hubungan antara manusia dan satwa.

"Masyarakat kita tidak pernah dididik untuk menghargai satwa sebagai bagian dari ekosistem," ujar Herlina.

Menurutnya, atraksi satwa Beruang Bimo masuk dalam kategori pelecehan seksual.

"Itu bentuk ketidaksopanan terhadap hewan dan manusia. Berarti Wersut (PT WSI) tidak menganggap penonton sebagai manusia yang beradab. Tak peduli itu mereka sebut hiburan, itu hiburan yang tidak sehat" ujarnya.

"Mereka pikir satwa itu tidak merasakan secara psikologis, ya, perlakuan sedemikian itu. Padahal, itu sangat berpengaruh terhadap perilaku alami mereka," paparnya.

Ada aturan hukumnya, tapi sanksinya ringan

Di Indonesia sudah ada aturan hukum yang bisa memberikan sanksi pada pelaku penganiaya satwa, seperti diatur dalam KUHP pasal 302, UU No 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pasal 66, atau UU No 41 tahun 2014.

"Sayangnya hukumannya ringan sekali. Supaya para pelaku ini kapok, ya, hukumannya harus diperberat," kata Herlina.

Di luar negeri, kasus pelecehan seksual bisa menjadi isu yang sensitif, apalagi di beberapa negara maju terdapat perangkat hukum dengan sanksi yang berat, katanya.

"Di negara maju, isu ini bisa jadi sangat sensitif. Penegakan hukumnya lebih efektif dan lebih berat. Kasus meninggalkan anjing di mobil saja bisa membuat seseorang dikenai hukuman kerja sosial atau hukuman penjara," ujarnya.

Mengapa sirkus hewan harus ditolak?

Tapi di Indonesia, pentas satwa - yang sangat berisiko terhadap penganiayaan terhadap satwa - masih tetap digelar.

Padahal, para aktivis peduli satwa beberapa kali menyerukan stop sirkus satwa, yang sudah dimotori oleh organisasi Jakarta animal Aid Network (JAAN) semenjak 2012 lalu. Dua tahun lalu, aksi anti sirkus lumba-lumba juga dilakukan.

"Sirkus satwa itu kejam, dan melanggar kesejahteraan satwa. Di Indonesia sirkus satwa yang terorganisir dikelola oleh Wersut Seguni Indonesia dan Taman Safari. Sisanya pertunjukan satwa di kebun binatang maupun pertunjukan satwa lokal seperti snake show dan kuda renggong," ungkap Herlina.

Mengenai sirkus, Herlina menyatakan ada aturan yang kontradiktif. Di satu sisi, terdapat aturan yang menghukum pelaku pelanggar kesejahteraan hewan, tapi di sisi lain ada aturan yang mengizinkan satwa dieksploitasi oleh manusia.

"Sirkus bisa dijerat dengan undang-undang yang telah ada. Tapi mereka berlindung pada PP No. 8 tahun 1999 tentang pemanfaatan satwa sebagai hiburan. Aturan-aturan ini bertentangan satu dengan lainnya," ujar Herlina.

Penolakan sirkus terus disuarakan: Kasus di Cimahi

Dalam unjuk rasanya, Masyarakat Anti Sirkus Hewan Indonesia juga menuntut agar pentas satwa Lumba-lumba PT WSI dan sirkus hewan lainnya dihentikan.

Alasannya, sirkus hewan melanggar lima prinsip kesejahteraan hewan.

"Hewan-hewan ini seharusnya dijamin untuk berprilaku secara alami, tetapi di sirkus ini, hewan tidak bisa berprilaku secara alami, dipaksa dan diekspoitasi untuk berprilaku tidak wajar," kata Marison Guciano, Koordinator Masyarakat Anti Sirkus Hewan Indonesia.

Misalnya, berang-berang yang mengendarai sepeda, beruang yang melakukan pull up . "Itu jelas-jelas bukan merupakan perilaku alami beruang itu," katanya.

Mengapa sirkus sulit dibubarkan?

Tetapi, tuntutan penghentian atraksi sirkus sepertinya akan menghadapi kendala, karena praktik seperti itu sudah ada aturan hukumnya.

Keberadaa pengelola sirkus di Cimahi itu, yaitu PT WSI, misalnya, sudah memiliki izin menggelar sirkus atau yang diistilahkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. 56/Menhut-II/2006 sebagai "peragaan satwa".

PT WSI, lembaga konservasi yang awalnya menangkarkan lumba-lumba ini mengaku telah mengantongi sejumlah izin untuk menggelar pentas satwa.

"Sebagai lembaga konservasi, kita ada izin dari Kementrian Kehutanan. Untuk keliling peragaannya, ada izin sendiri itu diperbaharui tiap 2 tahun sekali. Terus kelengkapan izin-izin yang lain," kata Romi, asisten Manajer PT WSI.

Pentas satwa ini, kata Romi, dilakukan sejak tahun 2000an, untuk membiayai operasional lembaga konservasi yang berlokasi di Kendal, Jawa Tengah.

Setiap pekannya, pentas satwa PT WSI bisa menarik 5,00 hingga 1,000 orang penonton. Dengan harga tiket paling murah Rp 40 ribu, pengelola sirkus bisa meraih omzet Rp20 juta hingga Rp40 juta, katanya.

Pentas satwa PT WSI menyajikan atraksi dari satwa-satwa yang dilindungi, yakni kakatua jambul kuning, sepasang berang-berang, beruang madu, dan dua ekor lumba-lumba.

Pengelola sirkus: `Kami utamakan kesejahteraan hewan kami`

Romi mengklaim pihaknya memperhatikan kesejahteraan hewan-hewannya.

"Untuk satwa kita, kesejahteraannya kita utamakan. Kesejahteraan itu ya perawatannya, makannya, kebutuhannya, kita perhatikan. Kesehatannya juga. Jadi kalau (dibilang ada) pelanggaran-pelanggaran, dimana pelanggarannya," ungkap Romi.

Soal tuntutan agar sirkus hewan dilarang, Romi keberatan dengan alasan sirkus memotivasi orang untuk lebih mengenal dan mencintai kekayaan fauna Indonesia.

Hingga kini, memang belum ada kebijakan melarang sirkus hewan di Indonesia, sementara puluhan negara-negara di dunia telah menyatakan larangan sirkus hewan yang tertuang dalam Universal Declaration of Animal Welfare.

Pemerintah Indonesia malah dilaporoan telah menerbitkan Permenhut No. 56/Menhut-II/2006 tentang yang isinya kurang-lebih mengakui keberadaan sirkus.

Namun di sisi lain, ada beberapa peraturan setingkat undang-undang yang memberikan sanksi pidana bagi penganiaya hewan