Gaya Pembangkit Gempa Lombok Masih Misteri

Warga berada dekat rumah yang roboh terdampak gempa bumi di Desa Pesanggrahan, Montong Gading, Lombok Timur, NTB, Minggu (17/3/2019). Data BMKG menyatakan Pulau Lombok diguncang gempa bumi tektonik berkekuatan 5,8 Skala Richter (SR) pada Minggu, 17 Maret
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Handout/BPBD NTB

VIVA – Gempa bumi bermagnitudo 5,4 dan 5,1 kembali mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat pada Minggu, 17 Maret 2019. Selain menimbulkan kerusakan bangunan rumah, juga memicu dampak ikutan bencana atau collateral hazard, berupa longsoran lereng yang menelan korban jiwa.

Disampaikan Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Daryono, jika mencermati pemutakhiran (update) peta tingkatan guncangan (shake map) tampak bahwa dampak gempa yang berpusat di Lombok Timur ini memang berpotensi merusak. Seperti di wilayah Sembalun dan sekitarnya.

"Guncangan gempa mencapai skala intensitas V-VI MMI yang berpotensi merusak. Sementara di wilayah Kabupaten Lombok Utara guncangan kuat mencapai skala intensitas IV-V MMI," ujar Daryono di Jakarta, Senin, 18 Maret 2019.

Berdasarkan laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB, dampak gempa telah menimbulkan sebanyak 499 rumah rusak ringan dan 28 rumah rusak berat. Selain menimbulkan kerusakan rumah dan korban jiwa akibat tertimpa material longsoran, gempa juga memicu terjadinya dampak ikutan bencana berupa longsoran lereng.

Longsoran akibat guncangan gempa ini terjadi di Kawasan Wisata Air Terjun Tiu Kelep di Kabupaten Lombok Utara. Jaraknya sekitar 24 kilometer arah barat laut dari pusat gempa (episenter).

Terjadinya peristiwa longsoran pasca gempa kuat memang lazim terjadi di daerah perbukitan tua, karena pada saat terjadi gempa kuat di kawasan perbukitan terjadi peningkatan percepatan getaran tanah akibat efek topografi. Jika kondisi lereng sedang dalam kondisi tidak stabil, peristiwa longsor dapat terjadi.

Kondisi ketidakstabilan lereng di Kawasan Wisata Air Terjun Tiu Kelep memang sangat mungkin terjadi, karena wilayah ini merupakan kawasan yang sering kali mengalami guncangan gempa kuat saat gempa Lombok Juli-Agustus 2018. Tidak hanya guncangan gempa kuat, gempa Lombok tahun 2018 juga diikuti gempa susulan sebanyak lebih dari 2.456 kali.

Hingga pukul 11.00 WIB, Senin 18 Maret 2019, hasil monitoring BMKG menunjukkan telah terjadi sebanyak 45 kali aktivitas gempa susulan (aftershock) dengan magnitudo terbesar 5,1 dan magnitudo terkecil 1,9.

Dengan memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenternya, tampak bahwa gempa ini termasuk dalam klasifikasi gempa kerak dangkal akibat (shallow crustal earthquake) aktivitas sesar lokal di sebelah tenggara Gunung Rinjani.

"Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa ini dipicu oleh penyesaran dengan mekanisme turun (normal fault)," ujarnya.

Perlu dipahami bahwa sesar pembangkit gempa kemarin bukanlah sesar yang menjadi pembangkit gempa Lombok pada 2018. Sesar pembangkit gempa Lombok tahun lalu adalah Sesar Naik Flores dengan mekanisme naik (thrust fault).

Adanya perbedaan mekanisme sumber gempa ini menjadi indikator penting bahwa kedua gempa dibangkitkan oleh sumber gempa yang berbeda. Dalam hal ini sangat penting untuk melakukan analisis mekanisme sumber sebelum menyimpulkan penyebab gempa yang terjadi.

"Jika dibanding antara Sesar Naik Flores dan Sesar Lokal pembangkit gempa kemarin, maka potensi gempa yang terjadi memang jauh lebih besar akibat dipicu Sesar Naik Flores," katanya.

Flores Back Arc Thrust adalah sesar regional, jalur sesarnya sangat panjang dari utara Bali hingga utara Flores, sehingga wajar jika mampu membangkitkan gempa besar. Sementara itu, gempa kemarin diduga kuat dipicu oleh aktivitas sesar lokal dengan mekanisme turun yang belum terpetakan.

Dalam hal ini masyarakat Lombok diimbau untuk tidak terlalu cemas dan takut berlebihan, meski harus tetap waspada. Kekuatan gempa sangat ditentukan oleh ukuran dan dimensi sesar. Sangat kecil potensi sesar lokal untuk membangkitkan gempa, sebesar gempa yang dibangkitkan oleh sesar regional.

Terkait peristiwa gempa Lombok ini, hingga saat ini para ahli kebumian baru sepakat sebatas penyebab gempa yaitu dipicu sesar aktif dengan mekanime turun. Akan tetapi untuk menjelaskan mengapa di daratan Pulau Lombok muncul gempa dangkal dengan mekanisme turun, maka belum ada kata sepakat terkait gaya pembangkitnya. Gaya pembangkit gempa Lombok ini masih menjadi misteri untuk diungkap.

"Ada sebagian ahli menduga bahwa gempa dengan mekanisme turun yang terjadi berkaitan dengan dinamika magma yang memicu runtuhan kerak bumi di zona gunung api aktif," katanya.

Sementara itu, dugaan lain adalah adanya aktivitas gempa yang memicu sesar turun di zona back arc (busur belakang) yang menandai terjadinya back arc spreading (perluasan) di busur belakang. Ada juga pendapat yang mengkaitkan adanya fenomena gravity tectonic yaitu pembebanan massa gunung yang memicu terjadinya penyesaran turun (normal fault) di kaki gunung.

Fenomena gempa Lombok ini merupakan tantangan yang menarik bagi kalangan para ahli kebumian. Peristiwa gempa ini penting untuk diungkap secara lebih dalam terkait misteri gaya pembangkitnya.

"Tidak menutup kemungkinan gempa semacam ini akan dapat terjadi lagi nanti di bagian lain dari deret Kepulauan Sunda Kecil (The Lesser Sunda)," tuturnya. (art)