Banjir Bengkulu, Bencana yang Bagai Dipelihara

Banjir di Bengkulu
Sumber :
  • VIVA/Harry Siswoyo

VIVA – Dengan mata kuyu dan baju lembab, Salam (67) berjalan gontai ke sebuah meja yang dinaungi terpal plastik berwarna biru. "Saya minta dua bungkus nasi," ujarnya, Minggu, 29 April 2019. Dua nasi sekepal tinju digenggamnya di tangan kanan, lalu ia memungut dua gelas air mineral di tangan kirinya.

"Ini banjir benar-benar luar biasa tahun ini," ujarnya lagi. Rambut putihnya tersapu angin. Lelaki kelahiran Palembang ini pedagang pempek. Ia baru meratapi lima karung sagu miliknya yang kini terendam air keruh di rumahnya.

Sudah dua hari ini, ia tak bisa masuk ke dalam rumah. Luapan sungai Air Bengkulu berwarna cokelat, menenggelamkan rumahnya. Hanya bagian atap yang masih terlihat. 

Di rumahnya, seluruh perabotan rumah telah disiapkan kerangka kayu setinggi 1,2 meter. Gunannya untuk menaruh barang-barang, kalau banjir datang. Namun nasib berkata lain, ia dan istri yang sudah renta, sudah mencoba cara itu. Tapi sayang, tinggi air melebih rangka kayu yang disiapkannya.

"Padahal sagu itu modal untuk jualan saat puasa nanti," lirih Salam. Matanya menohok tajam ke genangan air cokelat yang merendam puluhan rumah warga di permukimannya. Gerobak dagangannya hilang, ayamnya banyak yang mati. Belum perabot rumah kumpulan hasil dagangannya, semuanya lenyap dalam terjangan air tanpa sempat berbuat apa-apa.

Banjir yang Berulang

Jumat dinihari, 26 April 2019, hujan besar tanpa henti mengguyur Bengkulu. Dalam larut, orang-orang terkesiap usai air keruh tanpa permisi menjilati tempat tidur.

Namun semua begitu cepat, air yang datang bak tanpa henti. Seluruh rumah dalam sekejap, hilang dalam pekat air. "Saya ingat kejadiannya itu jam 01.00, semuanya begitu cepat. Kami tak sempat menyelamatkan apa pun," ujar Budi Raharjo, warga Kelurahan Tanjung Agung Kota Bengkulu.

Bencana banjir di Bengkulu serentak melingkupi 10 kabupaten/kota pada Jumat pagi. Orang-orang kelabakan. Jalan-jalan terendam air, jembatan putus, dan tanah-tanah runtuh. Semua panik, karena tak bisa berbuat apa-apa.

Kejadian itu bahkan terjadi sehari usai pemerintah setempat menggelar apel besar untuk kesiapsiagaan bencana. Tapi sekali lagi, malang tak dapat ditolak. Bencana alam tak perlu menunggu apel dan seremoni. Kalau sudah tiba waktunya, maka terjadilah.

Banjir Bengkulu, bukan sekali ini terjadi. Tapi sudah berulang saban tahun setiap hujan lebat tiba tanpa ampun. Sungai yang membelah Kota Bengkulu, sejak lama sudah tidak bisa menampung muntahan air dari pegunungan.

"Kawasan hutan sudah kehilangan fungsi ekologisnya," ujar Direktur Kanopi Bengkulu Ali Akbar dalam siaran persnya.

Bengkulu memiliki beberapa sungai besar yang menjadi jalur muntahan air sekaligus rumah ekosistem. Sungai itu seperti Sungai Ketahun, Sungai Musi, Sungai Manna, dan Sungai AIr Bengkulu.

Namun demikian, mayoritas daerah aliran sungainya dalam kondisi memprihatinkan. Mulai dari perkebunan skala besar dan pertambangan batu bara telah merecokinya dan bahkan mengencinginya dengan limbah sejak tahun 1981.

Data Kanopi Bengkulu, khusus DAS Air Bengkulu misalnya, dengan luasan mencapai 51.951 hektare. Setidaknya sudah ada 10 pertambangan batu bara kini melubangi hulu sungai dan meluluhlantakkan kawasan hutan untuk penyerap air. "DAS di Bengkulu telah diberikan untuk konsensi tambang, dan tidak pernah dituntaskan. Karena itu banjir selalu berulang," ujar Ali.

Kerugian yang Dipelihara

Sementara itu, di tepian sungai Air Bengkulu yang mengamuk. Ratna (47), menangis sesegukan. Dasternya masih basah usai mencoba masuk ke dalam rumahnya di kawasan Bentiring Kota Bengkulu.

Janda beranak tiga ini, sejak pagi meminta tolong tetangga. Tapi karena semua orang sedang sibuk dan lagian tidak ada yang berani menembus genangan air yang merendam hingga ke atap rumah. Ratna pun akhirnya pasrah.

Ia pun cuma bisa menangisi motor satu-satunya yang kini terkurung di dalam rumah. "Motor itu untuk jualan, antar anak sekolah dan lain-lain. Cuma itu benda berharga saya," tangisnya berurai seperti banjir yang kini menekuknya.

Hingga Minggu, laporan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Bengkulu menyebut bencana musiman nan dahsyat ini telah menyebabkan 15 orang meninggal dunia dan tujuh lainnya masih dicari keberadaannya.

Kerugian tercatat mencapai Rp138 miliar, dengan 3.880 orang terdampak dan lebih dari 12 ribu lainnya mengungsi. "Tim juga mendata ada ratusan ternak yang mati. Diantaranya 106 ekor sapi, 21 ekor kambing, empat ekor kerbau dan ratusan sawah serta tambak tersapu banjir," ujar Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah.

Untuk fasilitas umum yang rusak meliputi 184 unit rumah dalam kondisi rusak berat, 4 fasilitas pendidikan, 40 titik infrastruktur termasuk jalan, jembatan, gorong-gorong serta 15 jembatan putus. Belum dengan 14 titik ruas jalan baik nasional, kabupaten maupun provinsi ikut mengalami kerusakan parah.

Ancaman banjir sejauh ini bukan tidak mungkin masih menghantui meski beberapa genangan air mulai mengalami penyusutan. Laporan Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika menyebut bencana ini ditengarai juga oleh aktivitas Osilasi Madden Julian yakni fenomena alam yang mampu meningkatkan massa udara basah.

Potensi cuaca ekstrem ini diprediksi akan bertahan hingga 2 Mei 2019, dan kemudian baru akan berjalan merambat ke arah barat Indonesia lalu menuju Samudera Pasifik. Selain itu, akibat aktivitas itu, akan mendorong pembentukan pusaran angin di Laut Sulawesi, Selat Makassar, Kalimantan Barat dan Laut Cina Selatan. "Potensi hujan lebat diprediksi berlangsung dalam periode akhir April hingga awal Mei 2019," tulis laporan BMKG.

Terlepas itu, bencana banjir Bengkulu ibarat bencana yang dibenci tapi dirindu. Keseriusan pemerintah daerah membersihkan asal muasal bencana selain fenomena alam menuntut lebih. Sebab bencana tak semata-mata terjadi hanya karena muntahan air dari langit yang berlimpah.

"Banjir di Bengkulu tidak bisa hanya ditimpakan pada hujan. Tapi ada akar masalah yang harus diungkap yaitu tambang batu bara di hulu sungai Bengkulu," ujar Direktur Kanopi Bengkulu Ali Akbar.