Ombudsman: Tim Hukum Wiranto Maladministrasi

Menko Polhukam Wiranto saat konferensi pers soal Tim Khusus
Sumber :
  • Istimewa

VIVA – Tim Asistensi Hukum yang dibentuk pemerintah melalui Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, dinilai tidak independen, karena ada struktural kementerian di dalamnya.

Menurut Wakil Ketua Ombudsman RI, Lely Pelitasari, putusan dari tim yang bertugas untuk mengidentifikasi perbuatan melawan hukum dan mengkaji ucapan-ucapan para tokoh yang dianggap telah melawan hukum, berpotensi maladministrasi. Meski, tim tersebut legal.

"Kebijakan asistensi hukum ini, kami akan melihat dengan persepektif, salah satunya maladministrasi. Kami lihat tim ini legal, artinya sah dibentuk oleh pemerintah, tapi tidak proper. Karena, kalau kita lihat itu pembuatan tim ini di dalamnya ada unsur struktural, padahal yang ditekankan adalah independensi tim ini dalam konteks hasil-hasil kajiannya. Ini jadinya ada bias persepsi begitu," kata Lely, saat diskusi bersama Iluni UI di Salemba, Jakarta Pusat, Kamis 16 Mei 2019.

Lely menuturkan, mungkin masyarakat meyakini independensi para ahli yang ada di tim itu, tetapi akan terjadi bias persepsi, ketika di dalamnya terjadi struktural kementerian yang ikut terlibat.

"Mungkin, kita meyakini independensi para ahli. Tetapi, ketika di dalamnya kemudian terjadi struktural kementerian itu ikut terlibat sebagai produk, maka bisa menjadikan bias persepsi. Padahal, semangatnya tim ini harusnya tim yang independen," ujarnya.

Lely menjelaskan, pembentukan tim ini juga tidak arif. Mempublikasikan keberadaan tim disebut sebagai psywar, atau seperti menebar ketakutan.

"Kami menyebutnya tidak Arif, itu mempublikasikan keberadaan tim, boleh saja untuk kepentingan internal. Tetapi, ketika dipublikasikan yang muncul psywar," jelasnya.

Lely menerangkan kenapa dinilai maladministrasi? Pertama, karena melampaui kewenangan, sebab tugas pengawasan sikap politik sudah dimandatkan kepada instansi lain.
 
"Kedua, penyalahgunaan kewenangan. Fungsi Kemenko Polhukam itu untuk menjaga kultur hukum dan kultur demokrasi. Juga, potensi menggunakan kewenangan untuk tujuan lain. Ketiga, terjadi konflik kepentingan, yaitu proses politik versus tugas dan fungsi Kemenko Polhukam," katanya.

Keempat, disebut Lely, diskriminatif. Sebab, pengawasan yang dilakukan bukan oleh organ mandatory undang-undang, yang merupakan bentuk perlakuan tidak adil bagi sebagian warga negara.

"Kesimpulannya, pembentukan tim asistensi hukum berpotensi maladministrasi. Lalu, tim asistensi hukum perlu ditinjau kembali dan tugas-tugas dikembalikan pada organ yang sudah dimandatkan undang-undang," ujarnya.

"Terakhir, dalam hal organ penanggung jawab tidak efektif menjalankan tugasnya, Maka, Presiden atau atasan langsung dapat melakukan langkah korektif sesuai kewenangannya," katanya. (asp)