Yuli Lestari Ditolak Jadi Kepala Dusun karena Perempuan

Yuli Lestari, seorang kepala dusun di Padukuhan Pandeyan, Desa Bangunharjo, Kecamatan Sewon, Bantul, di kantor Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan DI Yogyakarta, Senin, 20 Mei 2019.
Sumber :
  • VIVA/Cahyo Edi

VIVA – Yuli Lestari (41 tahun), seorang dukuh (kepala dusun) di Padukuhan Pandeyan, Desa Bangunharjo, Kecamatan Sewon, Bantul, DI Yogyakarta, ditolak oleh warganya karena seorang perempuan dan dianggap tak cakap menjadi pemimpin.

Ditemui di kantor Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DI Yogyakarta pada Senin, 20 Mei 2019, Yuli menceritakan menjadi dukuh melalui jalur pendaftaran. Saat itu Pemerintah Desa Bangunharjo membuka lowongan untuk Dukuh Pandeyan setelah dukuh sebelumnya meninggal dunia karena kecelakaan.

Yuli kemudian mendaftarkan diri. Sebagai konsekuensi mendaftar dukuh, Yuli mengundurkan diri sebagai anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Bangunharjo.

"Saya meminta izin kepada suami, dan diizinkan. Lalu saya mendaftar. Salah satu syarat pendaftaran Dukuh adalah mengumpulkan fotokopi 100 KTP milik warga. Saya dapat 150 KTP tapi yang dipakai mendaftar hanya 100 KTP saja," ujarnya.

Sejak awal pendaftaran, katanya, memang sudah muncul desas-desus bahwa jika dia terpilih sebagai dukuh akan ada penolakan dari warga. Yuli pun mengonsultasikan perihal desas-desus itu ke perangkat desa. Dari perangkat desa itu, Yuli mengetahui tidak ada persyaratan jenis kelamin untuk menjadi seorang dukuh.

“Calon dukuh katanya boleh dari mana pun, asal WNI, dan nanti kalau jadi harus domisili di sini. Saya juga membuat pengunduran diri dari BPD dengan menyetujui ketua BPD dan Bapak Lurah Bangunharjo. Berkas siap, pansel tidak menolak. Warga desas-desus tapi tidak ada yang mendatangi langsung,” katanya.

Setelah semua berkas dinyatakan komplet dan diterima panitia seleksi, pada 4 Mei, dia datang ke Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram untuk mengikuti serangkaian tes, di antaranya tes psikologi, wawancara, pidato hingga tentang informasi dan teknologi.

Hasil ujian sang guru honorer taman kanak-kanak itu peringkat satu. Yuli meraih nilai tertinggi dibandingkan enam calon lain. Usai kabar dia menjadi meraih peringkat tertinggi, desas-desus penolakan pun kembali muncul.

Beberapa hari setelah pengumuman hasil seleksi, berbagai spanduk penolakan terhadap Yuli sebagai dukuh bermunculan di Padukuhan Pandeyan.

Mendapat Teror

Meski mendapatkan penolakan, pada 17 Mei, Yuli tetap dilantik menjadi Dukuh Pandeyan. Sesaat sebelum dilantik, teror dari kelompok warga yang menolak kembali dirasakan Yuli.

Rumahnya berulang kali dilewati sepeda motor dengan suara knalpot berisik. Rumah Yuli pun dilempari oleh orang-orang yang menolaknya dengan kertas berisi tuntutan agar dia mundur sebagai dukuh.

Usai dilantik, Yuli sempat berbincang dengan seorang perangkat desa. Dia diperlihatkan surat tuntutan yang ditujukan kepadanya agar mau mundur sebagai dukuh. Salah satu isi tuntutan dalam surat itu adalah pengunduran diri Yuli karena dia adalah perempuan, dianggap tidak mampu dan dianggap galak.

“Di situ itu tertera tuntutan karena, satu, saya perempuan; kedua PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap); ketiga, galak; keempat, tidak melayani warga; dan kelima, susah dimintai tanda tangan,” ujarnya.

Dia mempertanyakan balik semua keberatan warga itu. Jika dia ditolak karena jenis kelaminnya perempuan, mengapa saat mendaftar dibolehkan. Dia menyangkal juga bahwa dia mengikuti Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap.

Dia pun membantah tudingan berkarakter galak dengan bukti bahwa dia menjadi guru Taman Kanak-kanak Aisiyah dengan sedikitnya 96 siswa. Tuduhan tidak melayani warga dia anggap mengada-ada karena waktu itu dia belum resmi menjabat.

"[tuduhan] yang kelima, kalau saya dimintai tanda tangan angel (susah)? Saya sebagai apa (belum menjabat). Kayak mengada-ada,” katanya. (ren)