KontraS Duga Banyak Korban Salah Tangkap Kerusuhan 21-22 Mei Dianiaya

Konferensi pers KONTRAS
Sumber :
  • VIVA/Bayu Nugraha

VIVA – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers melakukan pemantauan lapangan dan membuka pos pengaduan untuk mendalami serta melakukan verifikasi informasi terkait peristiwa kerusuhan 21-22 Mei yang mengakibatkan korban jiwa.

Selama satu minggu pos pengaduan dibuka, sebanyak 7 laporan pengaduan adanya dugaan pelanggaran hukum dalam proses hukum yang ada.

"Pos pengaduan adalah memberikan ruang dan akses untuk melaporkan tindakan kekerasan yang dialami baik korban maupun keluarga korban. Dibuka sejak 27 Mei sampai 1 Juni kemarin ada 7 pengaduan," kata Koordinator KontraS, Yaty Adriani di kantor KontraS, Jalan Kramat, Jakarta Pusat, Minggu, 2 Juni 2019.

Yaty menuturkan, dari sejumlah pengaduan tersebut terdapat pola yang sama yaitu proses hukum yang serba tertutup berupa tidak diberikannya akses kepada keluarga korban untuk bertemu dengan anggota keluarganya yang ditangkap.

Selain itu, keluarga juga tidak diberikan tembusan surat perintah penangkapan dan penahanan serta dugaan adanya penyiksaan. "Ada juga pelanggaran hak atas bantuan hukum dan pelanggaran hak-hak anak," ujarnya.

Pelanggaran-pelanggaran tersebut, kata Yaty, dapat bermuara pada dihukumnya orang yang tidak bersalah karena tidak mendapatkan hak-haknya sedari awal proses hukum.

Untuk dugaan pelanggaran hukum terjadinya penyiksaan, Yaty mengatakan, seluruh tersangka yang diadukan oleh keluarganya dan tidak bisa ditemui dengan berbagai alasan. Diduga keras terjadi penyiksaan karena para tersangka tidak diperbolehkan bertemu dengan keluarga atau pihak lainnya.

"Hal tersebut mengindikasikan ada hal-hal yang ditutup-tutupi dalam proses hukum. Sedangkan terhadap tersangka yang dapat ditemui oleh keluarga (HD, AI, ID dan AF) mengklaim bahwa mereka disiksa karena saat ditemui terdapat memar, lebam, dan luka terbuka yang menganga," ujarnya.

Salah seorang anak bernama RM yang masih kategori anak juga tidak luput dari penyiksaan. Saat ditemui oleh keluarganya terlihat jelas bahwa RM babak belur (kepala atas bocor, pelipis bengkak benjol, mata kanan lebam, punggung ada bekas pukulan, bekas luka di tangan kanan).

Tidak Manusiawi

Tindakan penganiayaan hingga luka-luka selama dalam penguasaan Kepolisian ini merupakan pelanggaran atas Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia sebagaimana telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.  

Dalam KUHAP pasal 184 disebutkan bahwa alat bukti terdiri dari (1) keterangan saksi, (2) keterangan ahli, (3) surat-surat atau tulisan, (4) petunjuk ; dan (5) keterangan terdakwa. Sementara itu dalam pasal 189 ayat 1 jelas-jelas disebutkan bahwa yang dimaksud dengan keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

"Hal itu berarti keterangan seorang terdakwa yang diberikan di luar sidang tidak dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang. Sementara itu keterangan terdakwa dapat digunakan, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya," katanya.

Dugaan pelanggaran hukum lainnya paska peristiwa 21-22 Mei yaitu tidak dapat bertemu dengan keluarga dan tidak diberikan bantuan hukum.

"Lalu ada pelanggaran hak anak dan tidak diberitahukannya penangkapan dan penahanan serta tidak diberikannya surat penangkapan dan penahanan,” katanya.

Selain itu, berdasarkan kronologi orang-orang yang ditangkap aparat, terdapat dugaan keras bahwa sebagian dari para tersangka yang ditangkap merupakan korban salah tangkap (error in persona) karena hanya sekadar melihat aksi yang tiba-tiba menjadi rusuh, motor mogok, dan berbagai alasan lainnya.

Ditambah dengan dugaan keras adanya penyiksaan yang kemudian memaksa mereka untuk mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan, peluang mereka untuk bebas dari hukuman atas tindakan yang tidak mereka lakukan menjadi semakin kecil.

"Kepolisian harus memberikan kesempatan bagi orang-orang yang ditangkap untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah dengan membuka akses mereka terhadap keluarga maupun bantuan hukum. Tanpa dibukanya akses tersebut, maka peluang terjadinya miscarriage of justice menjadi tidak terhindarkan. Akan ada banyak orang tidak bersalah yang dihukum," ujarnya. (ase)