KontraS Desak Jokowi Bentuk Tim Pencari Fakta Kerusuhan 21-22 Mei

Lokasi kerusuhan di Jati Baru Jakarta 22 Mei 2019.
Sumber :
  • ANTARA/Hafidz Mubarak

VIVA – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai adanya indikasi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dalam peristiwa kerusuhan di Jakarta 21-22 Mei 2019. Indikasi itu merujuk fakta-fakta temuan KontraS di lapangan.

Staf Biro Research dan Dokumentasi KontraS, Rivanlee Anandar, mengatakan pentingnya untuk dilakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM berat itu, karena polisi saat ini justru cenderung memprioritaskan penanganan kasus terhadap tersangka dugaan percobaan pembunuhan 4 pejabat publik.

"Di sisi lain, tewasnya 9 orang warga dalam kerusuhan, dan ratusan orang yang ditangkap sama pentingnya dengan penanganan kasus tersebut," kata Rivanlee di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu 12 Juni 2019.

Rivanlee memaparkan untuk menemukan sejauh mana peristiwa ini terjadi secara terencana, sistematis dan meluas yang berdampak sangat signifikan, perlu adanya Tim Pencari Fakta untuk menemukan aktor pelanggaran HAM yang berat, yang melibatkan aktor dari negara dan atau non negara. 

"Selain itu, juga untuk memastikan pemenuhan hak asasi manusia terhadap warga yang menjadi korban dalam peristiwa ini. Memahami kondisi tersebut, KontraS mendesak Presiden Joko Widodo, sebagai kepala negara harus bertanggungjawab untuk menyelesaikan persoalan ini," ujar Rivanlee. 

Menurutnya, pembentukan Tim Pencari Fakta untuk mengusut peristiwa serta mengusut aktor-aktor yang terlibat dalam peristiwa ini menjadi penting untuk mengukur sejauh mana keseriusan pemerintahan Jokowi mengedepankan penegakan supremasi hukum dan hak asasi manusia. 

Lembaga negara, seperti Komnas HAM, Ombudsman RI, LPSK, Komnas Perempuan, KPAI juga didesak agar lebih proaktif berperan dan menjalankan tanggungjawabnya terhadap penanganan peristiwa ini. "Publik menunggu Iaporan hasil temuan dari lembaga-lembaga negara tersebut," imbuhnya.

Sebelumnya, KontraS menyayangkan Polri selama ini menyebut ada 9 orang korban tewas yang diduga perusuh tapi tidak dijelaskan lebih detail peran dan keterlibatan mereka sebagai perusuh, pelaku penembakan, penyebab kematian dan hasil rekonstruksi TKP, uji balistik dan bukti-bukti lain. 

"Tanpa penjelasan tersebut, maka, kesimpulan tersebut bisa memunculkan asumsi di publik terkait dengan pelaku penembakan," kata Rivanlee.

Kejanggalan lain adalah saat munculnya klaim bahwa aparat kepolisian tidak meggunakan peluru tajam. Sementara, di dalam peristiwa terdapat 8 orang tewas karena tertembak peluru tajam.

"Polri tidak menjelaskan terkait proyektil yang ditemukan di tubuh korban dan TKP serta lokasi arah tembakan yang mengakibatkan korban tewas dan luka. Adanya korban dalam peristiwa ini seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah dan aparat penegak hukum untuk mengusut lebih dalam aktor-aktor yang terlibat dan bertanggungjawab," paparnya.

Rivanlee meminta aparat kepolisian terbuka terkait pelanggaran hukum dan hak asasi manusia oleh siapa pun yang diduga ikut bertanggungjawab baik karena tindakan langsung maupun akibat dari pembiaran. Tidak boleh ada impunitas dalam penegakan hukum. (ren)