Sejarah Gempa Besar dan Tsunami Bali

Ilustrasi Episentrum gempa di Denpasar Bali
Sumber :
  • BMKG

VIVA - Berdasarkan catatan sejarah, wilayah Bali dan sekitarnya dikenal sebagai kawasan yang sering dilanda gempa bumi. Distribusi pusat gempa tersebar di sebelah selatan dan utara Pulau Bali.

Gempa-gempa dangkal sebagian besar terkonsentrasi di selatan Pulau Bali hingga batas pertemuan lempeng. Pusat gempa dangkal juga tersebar di daratan Bali dan di sebelah utara Bali yang disebabkan oleh aktivitas sesar aktif.

Wilayah Bali selain rawan gempa akibat aktivitas tumbukan lempeng, juga sangat rawan gempa akibat sesar aktif. Salah satunya adalah struktur sesar yang terbentuk akibat hujaman balik proses subduksi yaitu Sesar Naik Flores.

Sejarah gempa

Keberadaan struktur geologi Sesar Naik Flores di timur laut Bali bertanggungjawab terhadap sejumlah gempa besar yang diikuti tsunami, seperti gempa Bali pada tahun 1815, 1857, dan 1976.

1. Gempa Bali 1815

Gempa Bali 22 November 1815 barangkali sudah hampir sirna dari ingatan masyarakat Bali. Dalam katalog gempa periode 1538-1877 yang disusun Arthur Wichman (1918), disebutkan bahwa Gempa Bali 1815 diperkirakan memiliki magnitudo M=7,0 dan diikuti tsunami. Peristiwa bencana ini menelan korban jiwa ribuan orang.

2. Gempa Bali 1857

Pada tanggal 13 Mei 1857 wilayah Bali Utara kembali diguncang gempa berkekuatan M=7,0. Gempa kuat dengan episenter di laut ini dilaporkan memicu tsunami yang menyebabkan sebayak 36 orang meninggal dunia.

3. Gempa Bali 1976

Gempa Bali 14 Juli 1976 berkekuatan M=6,5 populer disebut sebagai Gempa Seririt. Gempa yang dipicu oleh aktivitas sesar ini menyebabkan kerusakan parah di Buleleng dan Negara. Tercatat sebanyak 573 orang meninggal dunia di Buleleng, Jembrana, dan Tabanan. Sementara 4.000 orang lainnya luka-luka dan sekitar 450.000 orang kehilangan tempat tinggal. Gempa ini dilaporkan memicu tsunami kecil di pantai utara Bali.

Sementara itu, keberadaan zona subduksi lempeng di selatan Bali juga bertanggung jawab terhadap sejumlah gempa kuat di Bali yang diantaranya diikuti tsunami. Beberapa gempa yang berkaitan dengan aktivitas subduksi lempeng adalah gempa Bali 1917, 2011, dan 2019.

1. Gempa Bali 1917

Gempa Bali pada 21 Januari 1917 memiliki episenter yang terletak di sebelah tenggara Pulau Bali. Gempa ini menyebabkan longsoran yang hebat di berbagai tempat di Bali. Sekitar 80% dari jumlah korban gempa diakibatkan oleh longsoran. Dalam buku “Pura Besakih”, Fox (2010) menceritakan bahwa gempa ini menelan korban jiwa sebanyak 1.500 orang meninggal, merusak 64.000 rumah termasuk istana, 10.000 lumbung beras, dan 2.431 Pura, termasuk Pura Besakih. Masyarakat Bali menjulukinya sebagai “Gejer Bali” yang artinya “Bali Berguncang”. Menurut Soloviev and Go (1974), gempa ini memicu tsunami di Klungkung dan Benoa dengan tinggi mencapai 2 m.

2. Gempa Bali 2011

Gempa Bali berkekuatan M=6,8 terjadi pada 13 Oktober 2011. Episenter terletak di 143 km arah Barat Daya Nusa Dua. Gempa ini dirasakan di berbagai daerah seperti Mataram, Malang, dan Yogyakarta. Akibat gempa ini beberapa rumah di Bali mengalami kerusakan hingga tingkat sedang. Selain di Bali, gempa ini juga merusak rumah di Jember, Banyuwangi, dan Lumajang. Gempa ini melukai puluhan orang di Denpasar, Kuta, dan Nusa Dua.

3. Gempa Bali 2019

Gempa selatan Bali berkekuatan M=6,0 terjadi pada 16 Juli 2019. Gempa ini merupakan bagian dari rangkaian gempa Bali akibat aktivitas subduksi Lempeng Indo-Australia di zona Benioff bagian atas. Gempa ini merusak: 2 gedung sekolah di Jembrana,1 rumah roboh dan 1 rumah rusak di Buleleng, Kantor DPRD Gianyar, Pura Lokanatha Lumintang di Denpasar; dan kerusakan beberapa gedung sekolah, hotel, dan fasilitas umum. Hingga pukul 21.00 WIB, hasil monitoring BMKG menunjukkan 14 kali aktivitas gempa susulan (aftershock) dengan magnitudo terbesar M=3.5 dan terkecil M=2.4.

Upaya Mitigasi

Bagi masyarakat Bali, kondisi alam yang rawan ini adalah sesuatu yang harus diterima sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, semua itu adalah risiko yang harus dihadapi sebagai penduduk yang tinggal di batas pertemuan lempeng tektonik.

Upaya strategis yang perlu dilakukan adalah meningkatkan dan mengembangkan kapasitas masyarakat dan lembaga terkait terkait mitigasi bencana.

Aspek sosiokultural yang berada dalam rantai peringatan dini di bagian hilir yang berhubungan langsung dengan masyarakat perlu ditopang dengan penguatan kapasitas pemerintah daerah dalam merespons informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami.

Ini penting untuk menyiapkan masyarakat kita agar lebih mampu dalam mencegah dan mengurangi risiko bencana, serta dalam merespons dengan cepat dan tepat setiap ada peringatan dini tsunami yang dikeluarkan BMKG. Demikian disampaikan oleh Kepala Bidang Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono.