Dua Hakim yang Lepaskan Syafruddin Temenggung Dilaporkan ke KY

Terdakwa kasus korupsi penerbitan SKL BLBI Syafruddin Arsyad Temenggung (kiri) mendengarkan keterangan saksi saat menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Hafidz Mubarok A

VIVA – Komisi Yudisial menerima laporan dari Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi terkait dua hakim Mahkamah Agung. Dua hakim MA itu dilaporkan, karena memutus lepas mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung, terkait kasus korupsi SKL BLBI.

Ketua KY, Jaja Ahmad Jayus memastikan pihaknya akan mengusut laporan atas dua hakim tersebut. Untuk awal, KY akan mendalami laporan tersebut.

"60 hari harus sudah selesai, nanti kami akan pendalaman dan sebagainya," kata Jaja di kantornya, Jakarta, Selasa 23 Juli 2019.

Jaja mengatakan, jika terbukti melakukan pelanggaran, hakim akan dikenai sanksi. Sanksinya beragam, dari yang ringan sampai berat, tergantung jenis pelanggarannya.

"Pelanggarannya, kalau hakim ada yang melanggar, ada sanksi ringan sampai berat seperti teguran lisan, tertulis, non-palu enam bulan, Enam bulan lebih, sampai pemberhentian tidak dengan hormat," jelas Jaja.

Dalam kesempatan sama, perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi dari Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana mengatakan, kedua hakim yang dilaporkan, yakni Hakim Agung Syamsul Rakan Chaniago dan Hakim Agung M. Askin.

Diketahui, putusan lepas Syafruddin diwarnai perbedaan pendapat atau dissenting opinion. Hakim Ketua Salman Luthan sependapat dengan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kalau kasus Syafruddin.

Sedangkan, Hakim Anggota Syamsul Rakan Chaniago berpendapat perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan hukum perdata. Adapun Hakim Anggota M. Askin menyatakan, perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan hukum administrasi.

Melihat itu, Kurnia mempertanyakan sikap majelis yang tidak menambah komposisi hakim saat terjadi dissenting opinion.

Padahal, kata dia, berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang No 14 Tahun 1970 Juncto UU Pemberantasan Korupsi menyebutkan bahwa setiap pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim, kecuali apabila undang-udang menentukan lain.

Aturan itu, kata dia, bermakna bahwa tidak ada larangan sama sekali ketika Majelis menambah komposisi hakim saat terjadi dissenting opinion.

"Sebenarnya yang cukup disesalkan ketika ada dissenting, tetapi ketua majelis tak inisiatif menambah komposisi majelis. Padahal, dimungkinkan ketika ada deadlock putusan atau voting untuk menambah majelis agar perhitungan lebih fair," kata Kurnia.

Selain itu, menurut Kurnia, KPK yang menangani kasus Syafruddin sudah tepat bahwa tindak pidana dilakukan sangat merugikan keuangan negara. Apalagi, bukti-bukti yang dimiliki KPK juga tak dibantahkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung.

"Kami rasa ada putusan cukup jomplang (janggal), karena Syafruddin di tingkat pertama divonis 13 tahun, di tingkat banding 15 tahun, tetapi di kasasi yang bersangkutan justru dilepas," kata Kurnia.

Kurnia berharap, setelah laporan diterima, Komisi Yudisial segera melakukan pemeriksaan terhadap dua hakim itu.

"Agar KY bisa aktif untuk memanggil, bahkan dua hakim ini memeriksa dan jika ditemukan adanya pelanggaran kode etik. Harapan kami, dua hakim ini dijatuhi sanksi," ujarnya. (asp)