Apa yang Terjadi Jika GBHN Dihidupkan Kembali?

Gladi bersih di Gedung DPR/MPR untuk sidang pada 16 Agustus 2019. - Antara
Sumber :
  • bbc

PDI Perjuangan mengusulkan perubahan sejumlah pasal Undang Undang Dasar 1945 untuk mengembalikan kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

GBHN yang diterapkan pada masa Orde Baru telah dihapus pada tahun 2000.

Sejak itu, pemerintahan menggunakan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) sebagai dasar pembangunan. Lalu, bahasa teknisnya dibuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN); RPJP berlaku selama 25 tahun dan RPJMN berlaku lima tahun.

Sejumlah kalangan khawatir usulan menghidupkan kembali GBHN bisa mengembalikan Indonesia ke era orde baru dan merusak sistem presidensial.

Kenapa dihidupkan kembali

Politikus PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari mengatakan bahwa tanpa GBHN pemerintah tidak punya arah yang jelas dalam pembangunan dan tiap ganti presiden, arah kebijakan juga berganti.

"Agar target-target jangka panjang, seperti kedaulatan pangan, kedaulatan energi, itu nggak bisa satu presiden atau dua presiden, harus beberapa term oleh beberapa presiden. Jadi itu biar maju," katanya kepada BBC Indonesia, Kamis (15/08).

Eva menambahkan bahwa RPJP yang digunakan sekarang tidak cukup, "karena titik beratnya ada di eksekutif dan menjadi personal presiden. Dan kita sudah punya data, bahkan ketika 10 tahun zamannya Pak SBY. Visi misi itu terus berubah."

Sebagai informasi, dalam RPJMN periode 2004 - 2009 pemerintah memiliki visi mewujudkan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai.

Lalu, periode 2009 - 2014 pemerintah mengusung visi terwujudnya Indonesia yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan.

Sementara periode 2014 - 2019, pemerintah mencanangkan visi terwujudnya Indonesia yang beradulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong.

Eva mengeklaim, PDI Perjuangan tak akan mengutak-atik pasal-pasal lainnya dalam rencana amandemen kelima ini. "Hanya pedoman pembangunan itu. Karena tidak berkesinambungan," katanya.

Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono menilai bahwa selama ini RPJMN tidak terlalu kuat untuk menentukan arah kebijakan pemerintah.

"Kalau RPJMN itu kan baru rencana. Bisa berubah-ubah. Tapi kalau haluan kan tidak bisa keluar dari haluan tersebut," katanya.

Apa dampaknya?

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus menilai akan banyak produk perundang-undangan yang akan berubah jika GBHN diberlakukan. Sebab, sejak 2000, peraturan perundang-undangan mengacu pada RPJP dan RPJMN.

"Hampir pasti turunannya itu atau UU itu memang harus disesuaikan lagi akan ada kerjaan susulan yang saya kira tidak ringan bagi DPR dan pemerintah ke depannya," kata Lucius kepada BBC Indonesia, Kamis (15/08).

Lucius menambahkan, rencana amandeman akan membuka jalan bagi MPR untuk menjadi lembaga terkuat di negeri ini. Saat tidak mengikuti GBHN, MPR bisa memecat presiden setiap saat.

"Dengan pertimbangan politik mereka, bisa memberhentikan presiden di tengah jalan," katanya.

Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera mengatakan usulan ini justru bisa memukul balik demokrasi yang sudah dibentuk di era reformasi ke rezim orde baru.

Dalam hal ini, ketika MPR memiliki wewenang menetapkan GBHN secara tidak langsung telah menjadi lembaga tertinggi negara. Artinya presiden atau pemerintahan kedudukannya berada di bawah MPR.

"Kalau menjadi lembaga tertinggi negara nanti mungkinkah MPR mengangkat dan memilih presiden, sehingga semuanya harus dikaji seksama," kata Mardani kepada BBC Indonesia, Kamis (15/08).

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini menilai rencana amandemen dengan memberi kewenangan MPR menetapkan GBHN akan merusak sistem presidensial yang selama ini telah berjalan.

"Sederhananya, selama ini presiden dan wakilnya dipilih langsung oleh rakyat, semestinya bertanggung jawab langsung kepada rakyat, bukan kepada MPR melalui GBHN yang ditetapkan. Kewenangan presiden akan dimutasi dengan GBHN. Seharusnya presiden terpilih mendapat mandat rakyat," kata Titi.

Lebih jauh, Titi mengatakan bahwa dalam hal mengembalikan GBHN dalam UUD 1945, bukan tidak mungkin kekuasaan akan terus menjaga stabilitas politik, di mana setiap orang akan dibatasi kebebasannya.

"Isu stabilitas itu bisa-bisa akan diperluas bukan lagi dalam konteks menyinggung stabilitas ekonomi-politik, tapi juga nanti kebebasan berpendapat akan dikurangi, kebebasan berekspresi dikurangi, dengan dalih stabilitas," jelas Titi sambil berharap isu besar ini bisa menjadi perhatian publik.

Pernah amandemen

Pasal-pasal dalam UUD 1945 sudah empat kali diubah. Perubahan berlaku pada penambahan, pengurangan hingga penyempurnaan pasal-pasal.

Semangatnya, empat kali amandemen yang berlangsung 1999-2002 perubahan pada pasal-pasal UUD 45 telah memberikan ruang demokrasi bagi masyarakat serta mengantisipasi keberadaan pemerintahan yang otoriter.

Pertama berlangsung pada 14-21 Oktober 1999. Perubahan yang cukup berarti dalam perubahan amandemen perdana ini adalah mengubah masa jabatan presiden dan wakil presiden.

Semula presiden dan wakilnya tidak dibatasi periode masa jabatannya (berlaku selama era Soeharto). Lalu, melalui amandemen ini periode jabatan presiden dan wakilnya diubah menjadi hanya berlaku dua periode.

Kedua, 7-8 Agustus 2000. Poin-poin perubahan UUD 1945 dalam periode ini menjadi cikal bakal adanya otonomi daerah serta keistimewaan bagi daerah-daerah tertentu.

Selain itu, dalam amandemen ke-II juga dicantumkan pasal-pasal baru yang mengatur tentang hak-hak warga negara Indonesia, di antaranya hak kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28E ayat 3).

Ketiga, 1-9 November 2001, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dicabut (Pasal 3). Selain itu, hal yang diatur dalam perubahan dalam periode ini adalah presiden dan wakilnya tidak lagi diangkat oleh MPR, tapi langsung dipilih oleh rakyat.

Keempat, 1-11 Agustus 2002. Pada perubahan UUD 1945 terakhir ini, diatur mengenai komposisi MPR tidak lagi diisi dari perwakilan daerah dan golongan-golongan. Selain itu dari segi pendidikan, amandemen ini mengamanatkan kepada negara untuk memberikan hak pendidikan dasar kepada warga negara.