Penangkapan Mahasiswa Papua dalam Kasus Makar, Akan Perkeruh Suasana

Sejumlah mahasiswa Papua melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Negara pada Kamis, 22 Agustus 2019. Mereka mengutuk apa yang disebut tindak kekerasan fisik dan verbal atas mahasiswa Papua di Jawa Timur. - BBC INDONESIA
Sumber :
  • bbc

Setidaknya delapan orang ditetapkan sebagai tersangka makar setelah diduga melakukan aksi unjuk rasa, menyampaikan tuntutan kemerdekaan, dan mengibarkan Bendera Bintang Kejora di depan Istana Negara pada Rabu, 28 Agustus 2019. Polisi menyebut, tindakan tersebut merupakan kejahatan terhadap keamanan negara.

Juru bicara Polda Metro Jaya, Argo Yuwono, mengatakan penetapan status tersangka itu dilakukan setelah pihaknya melakukan pemeriksaan yang bersandar pada bukti berupa video rekaman CCTV, foto, dan Bendera Bintang Kejora yang dikibarkan di depan Istana.

"Jadi negara Indonesia sebagai negara hukum, setiap kegiatan masyarakat yang melanggar hukum ada sanksinya," ujar Argo kepada BBC News Indonesia, Minggu, 1 September 2019.

Tujuh mahasiswa Papua dan seorang juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) yang telah berstatus tersangka itu yakni Carless Kossay, Dano Tabuni, Ambrosius Mulait, Naliana Wasiangge, Wenebita Wasiangge, Norince Kogoya, dan Surya Anta.

Dia juga mengatakan, delapan tersangka itu akan ditahan selama 20 hari di Mako Brimob Depok dengan sangkaan Pasal 106 dan atau 110 KUHP dimana ancaman hukumannya 20 tahun kurungan atau penjara seumur hidup.

Namun demikian, pendamping hukum para tersangka dari LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora, menyebut tuduhan Pasal Makar kepada kliennya tidak tepat. Sebab tindakan makar harus disertai dengan serangan.

Sementara apa yang dilakukan kliennya pada Rabu 28 Agustus 2019,  di depan Istana Negara adalah bagian dari menyampaikan pendapat.

"Itu (unjuk rasa) spontan saja. Karena aksi di depan Istana adalah respon atas perlakuan yang sangat merendahkan terhadap rekan-rekan mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang," ujar Nelson Nikodemus kepada BBC News Indonesia.

"Jadi begitu video (rasial) itu tersebar, ya aksi itu dilakukan mendadak," sambungnya.

Lebih jauh Nelson berpendapat, Pasal Makar merupakan pasal karet yang kerap diterjemahkan "dengan seenaknya" oleh penegak hukum. Ia mencontohkan sejumlah kasus dimana warga Papua yang meneriakkan kata merdeka atau referendum, langsung dikenakan pasal tersebut.

Padahal makar dalam terjemahan bahasa Belanda diartikan sebagai serangan.

"Makar itu artinya adalah aanslag atau serangan. Misalnya dengan pakai senjata api, senapan serbu, kemudian banyak orang ingin memisahkan diri dari NKRI dengan dia menyerang kantor pemerintahan untuk sebagian wilayah untuk lepas atau terpisah."

"Yang jadi masalah, apakah meneriakkan merdeka atau mengibarkan Bendera Bintang Kejora dapat dikatakan suatu serangan? Dan itu menjadi perdebatan selama ini tentang arti kata makar."

Peneliti kajian Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elizabeth, menilai penangkapan dan penetapan tersangka terhadap tujuh mahasiswa Papua atas tuduhan makar, bisa memperkeruh situasi di Papua. Apalagi aksi unjuk rasa terus berlangsung sepanjang dua pekan ini di sejumlah kota di antaranya Wamena, Jayapura dan Deiyai, Papua.

"Memang bisa memperkeruh suasana. Terutama situasi di Papua hari-hari ini belum membaik. Jadi ini kayak cerita bersambung dan saling mempengaruhi. Kalau sekarang ada tuduhan (makar), mohon diproses dengan adil dan tidak perlu berlebihan," ujar Adriana Elizabeth kepada BBC News Indonesia.

Yang ia khawatir, aksi penangkapan dan penersangkaan ini akan berbuntut pada unjuk rasa yang lebih besar. Sebab warga Papua akan kembali melihat ada ketidakadilan.

"Nah dengan penangkapan ini, antara mengikuti prosedur yang dijalankan dengan memperhitungkan kondisi, ini (aksi) akan meluas nih . Sementara ada skenario membuat rusuh, jadi mohon itu dipertimbangkan. Jangan kebijakan yang dijalankan jadi dipolitisasi," katanya.

Menurut Adriana, teriakan "merdeka" atau "referendum" bukan kali pertama disuarakan warga Papua. Sehingga, kata dia, aparat dan pemerintah semestinya menangkap pesan di balik seruan tersebut.

"Kalau yang berteriak merdeka, pasti ada. Dari dulu juga teriaknya sama. Nah yang harus ditangkap tuh esensinya apa."

Sementara mengenai Bendera Bintang Kejora yang disebut polisi sebagai bagian dari tindakan kejahatan terhadap keamanan negara, menurut Adriana, berlebihan. Ia lebih setuju menyebut bendera itu adalah "bendera kultural" seperti yang pernah disampaikan mantan presiden Abdurrahman Wahid.

"Di zaman Gus Dur kan sudah diakui begitu. Tapi kemudian di reduce dan dibilang itu adalah simbol-simbol makar. Sekarang saya balik bertanya, kalau semua mahasiswa Papua mengibarkan bendera itu dan meneriakkan merdeka, mau ditangkap semua? Itul loh maksud saya."

Sehari aksi unjuk rasa anti-rasisme di Jayapura, Papua, pada Kamis (29/08) yang diwarnai aksi pembakaran dan penjarahan fasilitas umum, pertokoan, serta kendaraan pribadi, Polda Papua menangkap setidaknya 64 orang.

Dari jumlah itu, 28 orang telah berstatus tersangka atas sangkaan pengerusakan, penjarahan, dan pembakaran. Kendati polisi, kata Juru bicara Suryadi Diaz, pihaknya masih mencari pihak di balik insiden itu.

"Siapa yang mengarahkan mereka, itu masih didalami. Ya secara dugaan, sudah ada, tapi masih didalami," ujar Suryadi Diaz kepada BBC News Indonesia, Minggu (01/09).

Puluhan orang itu, kata dia, kini berada di Reskrimum Polda Papua. Sementara total kerugian akibat pengerusakan dan penjarahan, masih didata.

Hingga saat ini polisi masih menetapkan Siaga 1 untuk wilayah Papua. Setidaknya 4.000 personel dari Kalimantan, Sulawesi, dan Brimob Jakarta, sudah didatangkan ke Papua menyusul akan adanya aksi unjuk rasa lanjutan pada Selasa (03/09).

Ribuan personel itu, kata dia, akan ditempatkan berjaga di Kota Jayapura, Paniai, dan Deiyai.

Suryadi juga mengklaim, kondisi di Papua sepanjang hari ini kondusif. Tidak ada pula kericuhan atau penyerangan di Jayapura. Pernyataan serupa juga disampaikan Menkopolhukam, Wiranto, saat ditemui di acara kesenian bersama masyarakat Papua di Bundaran HI, Jakarta.

"Hari ini kita bersyukur bahwa saudara-saudara di Papua sudah damai, tenang, kehidupan berjalan lagi. Toko-toko sudah buka kembali," ujar Wiranto.

"Karena itu tidak perlu ada lagi berkelahi, bakar-bakaran. Bakar batu boleh. Tapi jangan fasilitas umum dan gedung," sambungnya.

Namun demikian, pernyataan berbeda disampaikan seorang warga yang tinggal kawasan Padang Bulan, Kota Jayapura, Whens Tebai. Dari pengakuannya, pada pukul 04.30 WIT, terjadi saling serang antara kelompok pendatang yang disebut sebagai Paguyuban Nusantara dengan warga Papua di dekat asrama mahasiswa Papua Nayak 1 yang menuju Jalan Pasar Lama Abepura.

Whens mengaku, mendengar rentetan tembakan. Ketika kejadian, ia berada di dalam rumah yang berjarak 500 meter.

"Ada bunyi sekitar puluhan tembakan. Lalu bunyi lagi setelah lewat beberapa detik. Setelah jam 10.00 WIT, saya menuju ke arah Abepura, ada Brimob dan polisi mengamankan daerah itu," ujarnya.

"Saya juga lihat ada lemparan-lemparan batu di sepanjang jalan."

Kata dia, kondisi di Papua masih mencekam jika malam tiba. Kira-kira pukul 19.00 WIT, tidak ada warga yang berani keluar rumah.

"Kalau malam, tegang. Jam 19.00 WIT seperti subuh. Masyarakat Papua itu masih trauma dan takut. Takut dikejar aparat dan ormas."

"Kalau malam juga ada pos ronda. Masing-masing jaga komplek."

Sementara itu, sekolah masih diliburkan sejak unjuk rasa berujung kerusuhan pecah di Jayapura.

"Mulai dari TK, SD, SMP, SMA, sampai Perguruan Tinggi, libur."