Kabut Asap Pekat Selimuti Palangkaraya, Warga Ketakutan

Anggota Masyarakat Peduli Api (MPA) Kabupaten Pulang Pisau memadamkan kebakaran hutan dan lahan di desa Tanjung Taruna, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah (15/08) - ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/foc
Sumber :
  • bbc

Masker menjadi tameng warga yang tinggal di kawasan yang terdampak kabut asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla), termasuk di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Sejak Selasa, kabut asap pekat kembali melingkupi wilayah ibu kota Kalimantan Tengah. Padahal, pekan lalu kondisinya sempat membaik setelah hujan lebat mengguyur kota itu cukup lama. Pada hari Kamis, September 2019, kondisinya semakin parah.

"Sekarang ke mana-mana harus pakai masker," ujar Bio Bhirawan, warga Palangkaraya, kepada BBC News Indonesia.

Bio yang bekerja sebagai aparatur sipil negara baru kembali menetap di kota itu, setelah sempat merantau ke Jakarta, dua bulan lalu. Kembalinya ia ke ibu kota Kalimantan Tengah itu disambut kabut asap dua minggu kemudian.

"Juli itu sudah mulai berasap lagi itu," imbuhnya, "(Rasanya) kayak ada yang nusuk di hidung karena asap kebakaran itu kan, agak nyesak saja di hidung."

Bio yang rutin berolahraga pagi, selama kabut asap ini, memilih berdiam diri di rumah.

"Kalau dulu, kalau lagi enggak ada asap, saya biasa kalau habis (salat) subuhan bersepeda keliling kota sampai jam tujuh, baru berangkat kerja," tuturnya.

"Kalau sekarang bangun pagi sudah untuk berangkat kerja saja, enggak bisa aktivitas (bersepeda) lagi."

Bio hanya satu dari sekian banyak warga yang dirugikan kabut asap karhutla di daerahnya.

Takutnya kanker paru-paru

Lilis Alice, ibu empat anak yang kini tinggal berdua bersama anak ketiganya yang masih berusia 12 tahun di Palangkaraya, khawatir akan kondisi kesehatan ia dan sang buah hati.

"Masalah kabut asap ini ya sangat-sangat-sangat mengganggu, apalagi untuk kesehatan," ujar Lilis penuh prihatin, Kamis.

"Saya takutnya kanker paru-paru."

Saat dihubungi BBC News Indonesia, perempuan paruh baya yang berprofesi sebagai guru SMA itu mengaku baru kembali dari dokter untuk memeriksakan kesehatannya, yang untuk kesekian kalinya terserang pilek dan batuk sejak kabut asap terjadi.

"Cuma paling batuk-pilek, karena pusing kan pengaruh asap karena baunya itu," ujarnya.

Lilis lebih mengkhawatirkan kondisi kesehatan sang anak yang kini mulai menganggap asap karhutla yang ada di sekelilingnya sebagai hal biasa. Padahal, anaknya yang masih duduk di kelas satu sekolah menengah pertama itu juga sering menderita batuk berkepanjangan setiap kabut asap terjadi di lingkungan tempat tinggalnya.

"Kalau saya bilang `pakai masker ya`, mau. Tapi pas lihat teman-temannya dibuka lagi maskernya, sepertinya sudah dianggap biasa," kata Lilis.

"Karena mereka pikir `ah ini sudah tahunan, sudah biasa aja, kalau sudah sakit bawa ke klinik`, mereka kadang-kadang ngomong begitu, tapi enggak tahu kalau kesehatan itu untuk jangka panjang."

Untuk menghalau dampak buruk kabut asap yang menyelimuti lingkungannya, Lilis lantas menutup tiap celah rumahnya untuk mencegah asap dan abu karhutla yang berterbangan masuk ke dalam.

"Ventilasi yang di rumah saya tutupi pakai karton, walaupun pengap, karena debunya itu masuk."

Pintu dan jendela rumah tak pernah ia buka, "(Abu) sampahnya itu kan pasti mengotori teras, asap-asap pembakaran itu di lantai, terus nanti hampir setiap kita sapu terus, berminyak lagi lantainya".

Tuntutan pendirian rumah sakit khusus paru-paru

Pengalaman Bio dan Lilis juga dialami Kartika Sari, warga Palangkaraya yang juga merupakan koordinator Sekretariat Bersama Kabut Asap Kalimantan Tengah.

Bersama aliansinya, Kartika masih mempertanyakan komitmen pemerintah dan pihak lainnya yang diputus bersalah dalam gugatan warga ( citizen lawsuit ) Kalimantan Tengah terkait karhutla 2015 yang dinilai sebagai kasus terparah sejauh ini.

Menurutnya, pemerintah belum menunjukkan itikad untuk memenuhi kewajiban mereka berdasarkan keputusan Mahkamah Agung yang memperkuat putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya.

Hingga kini, Kartika dan aliansinya mencoba membantu penanggulangan dampak kabut asap dengan menggalang sumbangan bagi masyarakat terdampak.

"Soal asap enggak hanya soal memadamkan api, tapi juga ada persoalan tentang bagaimana dengan si korbannya? Kan banyak kemudian korban-korban, karena kalau kita melihat data di rumah sakit itu ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) meningkat dari bulan Juni ke Agustus," tuturnya.

"Makanya kami juga menggalang donasi dari mana pun yang mau menyumbangkan masker, obat-obatan, ataupun oksigen ke posko kami untuk disebarkan ke masyarakat, terutama untuk anak-anak dan ibu hamil."

Sementara itu, anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangkaraya, Alam Anggara, meminta pemerintah segera mendirikan rumah sakit khusus paru-paru. Pendirian rumah sakit dimaksudkan untuk menampung korban kabut asap akibat karhutla di sana.

"Sampai sekarang (pemerintah) provinsi Kalimantan Tengah belum menjalankan, mematuhi putusan Mahkamah Agung tersebut, yang salah satu tuntutannya sebenarnya adalah membangun dan mendirikan rumah sakit khusus paru-paru," ungkapnya.

Belum berstatus bencana

Hingga Kamis sore, laman Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menunjukkan jumlah titik api keseluruhan di Indonesia telah mencapai angka lebih dari 5.800 titik.

Sementara itu, menurut pantauan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), titik api di Kalimantan Tengah sendiri pada waktu yang sama terhitung pada angka 857.

Meski demikian, pemerintah kota/kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah hingga kini masih menerapkan status siaga untuk kasus dampak kabut asap karhutla. Hal itu menyebabkan penanganan gangguan kesehatan masyarakat pun masih berlangsung seperti biasa.

"Sampai sekarang status asap ini masih berstatus siaga, belum sampai bencana, maka respons kesehatan juga masih seperti umumnya," ujar Suyuti Syamsul, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah, saat dihubungi BBC News Indonesia, Kamis.

"Kalau dari sistem kewaspadaan dini bencana dan kejadian luar biasa, tidak ada peningkatan signifikan penyakit-penyakit yang terkait dengan masalah asap," ungkapnya.

Suyuti menuturkan bahwa status penanganan gangguan kesehatan masyarakat akibat kabut asap dipantau setiap minggu. Status akan dinaikkan apabila jumlah korban mencapai dua kali lipat dari jumlah pada pekan sebelumnya.

Bila itu terjadi, ia mengatakan, "Maka penyakit-penyakit yang terdampak akibat asap itu otomatis akan kita gratiskan, ditanggung pemerintah."

Dalam 14 Agustus lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa kondisi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tahun ini "masih terkendali" meski mengakui jumlah titik apinya lebih banyak dibandingkan tahun 2018.

Seperti diungkapkannya tahun lalu, Jokowi kembali menyatakan ia tak akan segan mencopot jajaran TNI dan kepolisian setempat yang gagal menanggulangi kebakaran hutan dan lahan.

"Tadi saya sudah menyampaikan (kepada) yang daerahnya masih ada banyak api, kepala kepolisian, pangdamnya langsung akan saya copot, akan saya ganti.”

"Penegakkan hukum harus tanpa kompromi," katanya.

Meski demikian, hingga kini, Presiden Jokowi belum mengumumkan kepada publik siapa saja perusahaan pemegang izin lahan yang terbakar, seperti yang diamanatkan dalam putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya.