Mengaku Diintimidasi, 200 Mahasiswa dan Pelajar Papua Pulang Kampung

Sejumlah pelajar dan mahasiswa Papua pulang dari Manado ke Papua karena intimidasi dan ancaman.
Sumber :
  • abc

Sekitar 200 mahasiswa dan pelajar Papua yang menempuh studi di berbagai daerah di luar Papua memutuskan kembali ke kampung halamannya karena alasan merasa tidak aman, intimidasi maupun sebagai bentuk solidaritas. Ada yang secara terbuka mendukung Papua Merdeka.

Arus kepulangan pelajar dan mahasiswa Papua di sejumlah daerah seperti Manado dan Jawa dilaporkan berlangsung sejak akhir pekan lalu.

Alasan kepulangan mereka juga beragam. Beberapa di antaranya mengaku mendapat perlakuan diskriminatif dan intimidasi sejak aksi rasial dan represif di Malang dan Surabaya pada 15-17 Agustus 2019 oleh aparat TNI, Ormas, aparat Polisi Pamong Praja dan aparat Polisi.

Ketua Korwil Pelajar LPMAK SMA Lokon Manado, Elian Magal, menjelaskan dirinya bersama sekitar 40 orang rekannya sudah meninggalkan Tomohon, secara bergelombang sejak Kamis, 5 September 2019 lalu.

Aksi pulang kampung ini adalah bentuk penolakan mereka atas ancaman melalui video yang viral untuk membuat kesaksian tentang kondisi mereka bersekolah di Papua dan pernyataan "NKRI harga mati". Perintah itu menurutnya sangat menyinggung harga diri mereka sebagai orang Papua.

"Adik-adik SMP Lokon mendapat pesan dari para pamong, meminta pelajar asal Papua untuk membuat pengakuan kalau mereka belajar di Manado aman-aman saja, didikte dan dipaksa," jelas Elian.

"Mereka juga mengancam kalau tidak mau buat, kami tidak akan diberi uang saku lagi dan tidak boleh keluar asrama," kata Elian kepada jurnalis ABC Indonesia Iffah Nur Arifah.

Elian menjelaskan, oknum yang memerintahkan rekan-rekannya untuk membuat video itu mengatasnamakan sejumlah Pemda di Papua seperti Mimika, Manokwari, Manokwari Selatan dan Sorong. Padahal setelah ditelusuri oleh pihak sekolah, keempat Pemda membantah perintah pembuatan video itu.

Ancaman membuat video "aman-aman saja" itu telah memicu kepulangan dia dan puluhan kawannya ke Jayapura, selain karena keinginan orangtua yang khawatir dengan keselamatan mereka.

Sementara Elian mengakui, meski ada beberapa insiden tindak rasisme namun secara umum sebagai pelajar Papua dia dan rekannya merasa baik-baik saja selama berada di Manado.

"Kita punya keinginan untuk pulang hanya saat ada kejadian pemaksaan membuat video itu. Kalau perlakuan rasisme sih jarang terjadi. Guru-guru juga tidak membedakan, semua aman-aman saja," katanya.

Sementara Yun Tabuni juga memutuskan meninggalkan kuliahnya di jurusan Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Manado karena merasa terancam dan diawasi ketat oleh aparat keamanan.

"Pasca kerusuhan, pengawasan oleh personil TNI/Polri semakin meningkat. Mereka datang ke asrama," katanya.

"Aparat itu sering mendatangi asrama kami, sore atau kadang sudah larut sekitar jam 11 atau 12 malam. Kami tidak izinkan masuk, karena kita tidak tahu, apa mereka punya maksud lain," kata Yun kepada ABC.

Selain merasa gerak-geriknya selalu diawasi dan tidak bisa beraktivitas secara bebas, Yun Tabuni mengaku pulang untuk mendukung agenda Papua Merdeka.

"Harapan kami pulang sesuai perkembangan yang kami ikuti dari Manado. Saya pulang ya tujuannya untuk dukung Papua Merdeka," katanya.

MRP siapkan langkah penanganan

Kepulangan pelajar dan mahasiswa Papua yang menempuh pendidikan di luar Papua ini dikonfirmasi ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib.

"Sudah lebih dari 200 mahasiswa yang kembali atas biaya sendiri. Tapi mahasiswa yang pulang ini dapat ancaman berupa apa, terornya seperti apa, kami belum klarifikasi," ujar Timotius seperti diberitakan Kompas.com.

Timotius mengatakan MRP bersama Pemerintah Provinsi dan DPRP tengah berkomunikasi dengan empat perguruan tinggi di Papua untuk menampung mahasiswa yang memilih pulang pasca kerusuhan.

Sementara Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), dalam pernyataannya yang dikutip portal berita lokal Jubi.co.id mengklaim, terhitung sejak akhir Agustus hingga tanggal 5 September 2019, sudah lebih dari 1.000 mahasiswa Papua yang kembali.

Jumlah itu, menurut AMP, masih akan bertambah sehingga elemen masyarakat Papua diminta membuka posko untuk melayani mereka.

AMP merupakan salah satu organisasi yang dituding polisi ikut "bermain" dalam kerusuhan di Papua beberapa waktu lalu.

Pencabutan paspor Veronica Koman Veronica Koman sudah ditetapkan sebagai tersangka aksi provokasi di Asrama Papua, Surabaya, Jawa Timur pada (4/9/2019) yang memicu kerusuhan massa di sejumlah kota di Papua.

Twitter: Veronica

Sementara itu kontroversi penetapan status tersangka "penyebar provokasi dan hoaks" di asrama mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya (04/09/2019) terhadap Veronica Koman terus berlanjut.

Status tersangka itu ditetapkan Polda Jawa Timur yang menjerat Veronica dengan pasal berlapis yakni UU ITE KUHP Pasal 160 KUHP, kemudian UU Nomor 1 Tahun 1946 dan UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Suku, Etnis dan Ras.

Namun mantan aktivis LBH Jakarta itu terus mendapat pembelaan. Wakil Ketua Bidang Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sandrayati Moniaga menyayangkan langkah polisi menjerat Veronica dengan UU ITE.

Menurut Sandrayati, Veronica seharusnya diperlakukan sebagai pembela HAM dan mendapat perlindungan negara.

"Kalau kasus Vero dalam konteks ini dilihat sebagai pembela HAM. Pembela HAM dalam mekanisme PBB itu harusnya mendapat perlindungan lebih dari negara. Negara harus bisa melihat mereka punya peran unik," kata Sandrayati kepada kantor berita Antara, 7 September 2019.

Senada dengan Komnas HAM, sebelumnya Amnesty International Indonesia juga menyatakan masalah rasisme di Papua bukan disebabkan oleh Veronica Koman.

Melainkan adanya oknum anggota TNI yang melontarkan ujaran rasial dan penggunaan kekuatan berlebihan dari aparat kepolisian di asrama mahasiswa Papua di Surabaya.

"Penetapan tersangka terhadap Veronica Koman menunjukkan pemerintah dan aparat negara tidak paham dalam menyelesaikan akar permasalahan Papua, yang sudah lebih dari dua minggu ini menjadi pembicaraan publik," ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

Namun Polda Jatim terus mengejar Veronica, bahkan mengaku telah mengajukan pencekalan kepada Ditjen Imigrasi.

Permohonan ini diikuti dengan permintaan pencabutan paspor milik Veronica. Sebab menurut polisi, dia kini tengah berada di luar negeri.

"Kami sudah membuat surat ke Ditjen Imigrasi untuk bantuan pencekalan dan pencabutan paspor tersangka atas nama Veronica Koman Liau," kata Kapolda Jatim Irjen Pol Luki Hermawan di Mapolda Jatim, Sabtu, 7 September 2019.

Namun Humas Dirjen Imigrasi, Sam Fernandez, mengaku saat itu pihaknya belum menerima surat permohonan tersebut.

Simak berita lainnya dari ABC Indonesia.