Perusahaan Pembakar Hutan Baru Bayar Denda Rp400 M ke Pemerintah

Pembagian masker gratis di Palangkaraya, salah satu kota yang paling terdampak karhutla. - Ulet Ifansasti/Getty Images
Sumber :
  • bbc

Dari total ganti rugi sebesar Rp18,9 triliun yang wajib dibayarkan perusahaan pembakar hutan dan lahan, pemerintah mengaku baru menerima sekitar Rp400 miliar, kondisi yang disebut pegiat lingkungan akibat pemerintah yang tidak tegas.

Pengkampanye isu kehutanan di lembaga pemantau lingkungan Greenpeace, Kiki Taufik menilai, tak selesainya pembayaran ganti kerugian membuat perusahaan tak pernah mendapat efek jera. Data perusahaan yang divonis bersalah pengadilan itu telah dibuka ke publik sejak awal 2019.

Dari total ganti rugi sebesar Rp18,9 triliun yang wajib dibayarkan perusahaan pembakar lahan, pemerintah mengaku baru menerima sekitar Rp400 miliar di antaranya. Pemerintah, menurut Kiki Taufik memiliki beragam cara untuk menghukum perusahaan pembakar lahan dan hutan termasuk dengan mencabut izin konsesi korporasi tersebut.

"Dengan kebakaran yang saat ini terjadi, pemerintah dengan gagah sebut perusahaan Malaysia dan Singapura ikut membakar, tapi apa lanjutannya?

"Apakah pemerintah menarik izinnya, menarik denda, dan merehabilitasi lahan? Tidak ada informasi itu. Memang setengah-setengah. Yang dilakukan pemerintah adalah pencitraan," kata Kiki saat dihubungi, Senin, 16 September 2019.

Greenpeace mencatat, terdapat 11 perusahaan yang terbukti bersalah di pengadilan telah merusak dan membakar lahan konsesi secara sengaja. Data itu sesuai dengan pemaparan Presiden Joko Widodo, Februari lalu. Perusahaan yang dijatuhi hukuman ganti rugi terbanyak adalah , yaitu Rp16,2 triliun.

Ada pula PT National Sago Prima (Rp1,07 triliun) dan PT Bumi Mekar Hijau (Rp78 miliar). Bumi Mekar Hijau disebut bekerja sama dengan grup Sinar Mas. BBC Indonesia berusaha menghubungi sejumlah pejabat perusahaan itu, tapi belum mendapatkan konfirmasi.

"Kalau perusahaan tidak bisa bayar, pailitkan"

Sementara itu, dalam laporan tahunan resminya, mengaku belum menerima salinan putusan Mahkamah Agung. Dengan alasan ini, mereka urung membayar ganti rugi yang dibebankan kepada mereka.

Juru Bicara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jati Witjaksono, mengklaim sejauh ini pemerintah telah menerima Rp400 miliar dari total ganti rugi yang semestinya diterima. Namun terkait sanksi lain yang disebut sejumlah kalangan lebih tegas, Jati menyebut lembaganya tak berwenang menjatuhkan hukuman itu.

"Proses yang sekarang biar ada efek jera dan pencegahan dari awal. Sebagian lahan yang terbakar ini kan karena mereka menyiapkan kebun, itu bukan kewenangan kami lagi," kata Jati.

"Pemberi izinnya adalah bupati atau gubernur, dan di dalam izinnya harus disebutkan mereka harus bagaimana. Pemberi izinlah yang seharusnya mengawasi," tuturnya.

Pekan lalu, KLHK menyatakan dari puluhan kasus pembakaran lahan oleh perusahaan, baru 17 perkara yang berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Total ganti rugi dari kasus-kasus itu Rp3,15 triliun.

Lantas, adakah siasat agar negara tetap dapat ganti rugi atas kerusakan lahan yang dibakar secara sengaja atau akibat kelalaian perusahaan?

Menurut Kiki Taufik dari Greenpeace, pemerintah mesti melacak kepemilikan perusahaan.

"Kalau perusahaan tidak bisa bayar, pailitkan. kan ada beneficial owner (pihak yang mendapat royalti atau deviden)," ujar Kiki.

"Bisa cek stakeholder yang berkaitan dengan Merbau Pelalawan Lestari yang tidak mampu bayar. Stakeholder -nya harus ikut bertanggung jawab."

"Selama ini yang dilakukan pemerintah hanya di permukaan. Bagus di awal, tapi pada saat bicara detail, jauh dari harapan," kata Kiki.

Mandeknya proses ganti rugi, menurut Kiki, meniadakan efek jera bagi para pembakar lahan dan hutan.

Dampak terburuknya, kata dia, metode pembakaran lahan jelang musim tanam sawit dianggap benar sehingga karhutla berpotensi terus berulang setiap tahun.

"Pemerintah negara maju biasanya mengejar pelaku sampai ke hukum pidana, di Indonesia tidak seperti itu. Yang paling rugi adalah masyarakat, berapa banyak korban jiwa dan sakit?" kata Kiki.

Hingga akhir pekan lalu, KLHK mengklaim telah menyegel 42 perusahaan di Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Selatan.

Dari jumlah itu, ada tiga perusahaan yang mendapat modal dari Malaysia dan satu yang berpusat di Singapura. Sederet korporasi itu diduga penyebab karhutla yang mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat.