Duh, KPK Kini jadi Macan Ompong

Para pegiat antikorupsi memprotes disahkannya revisi UU KPK. - Antara
Sumber :
  • bbc

Sejumlah kalangan menyatakan khawatir, perubahan dalam revisi Undang-Undang KPK akan membuat badan ini menjadi "macan ompong" dalam menjaring para koruptor dan membuka peluang transaksi antara koruptor dan penyidik.

Mantan Wakil Ketua KPK, M Jasin - salah seorang yang menyatakan kekhawatiran peluang transaksi - mencontohkan perubahan pada Pasal 12 UU KPK, yang menjelaskan penyadapan hanya terbatas pada tahapan penyelidikan dan penyidikan, serta tidak termasuk penuntutan saat berkas perkara tersangka korupsi masuk ke dalam persidangan.

"Kalau dia teleponan dengan hakimnya, bagaimana? Terus ke penuntut umumnya, `tolong ya nanti pemberkasannya diringankan`," kata M Jasin kepada BBC Indonesia, Selasa (17/09).

Sebelum direvisi, penyadapan dilakukan sampai tahap penuntutan. Hal ini menurut M. Jasin sebagai langkah pencegahan terjadinya `main mata` antara tersangka dengan Jaksa dan Hakim.

Pemberian kewenangan untuk menghentikan dan menghentikan kasus (SP3) juga dinilai akan membuka celah transaksional kasus korupsi. "Orang itu kan ada khilafnya. Dihibur (penegak hukumnya), diajak transaksional karena transaksinya besar di SP3 itu," kata M. Jasin.

Penangkapan kepala daerah izin dari presiden

Dengan UU KPK yang baru ini, langkah pemberantasan korupsi ke depannya diperkirakan akan semakin melempem lantaran jalur penindakan teramat birokratis. M. Jasin menyoroti hal ini pada perubahan Pasal 46 UU KPK.

Singkatnya, sebelum direvisi pasal ini memberikan KPK kewenangan untuk menangkap dan menetapkan tersangka (pejabat negara) tanpa harus izin dari presiden.

Tetapi setelah direvisi, KPK terikat dengan aturan lain yang menyebutkan penangkapan dan penetapan tersangka harus izin dari presiden.

"Kalau minta izin kan repot mau ditangkap tangan, atau disadap kan... minta izinnya terlalu banyak termasuk kepada dewan pengawas," lanjut Jasin.

Dosen di UIN Syarif Hidayatullah ini juga mengutarakan pengalaman saat menjabat Wakil Ketua KPK. Kata dia, semua ruang lingkup penyelidikan berada di bawah pimpinan KPK sehingga lebih efektif. Kalau yang sekarang, akan lebih merepotkan.

"Kita membayangkan seperti itu, karena dulu izinnya hanya pimpinan KPK dan semua hal yang menyangkut tentang aspek hukum, misalnya apabila ada kesalahan dan penyalahgunaan wewenang kan yang bertanggung jawab kan pimpinan KPK," kata Jasin.

KPK jadi macan ompong

Sementara itu, Kepala Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesian Corruption Watch (ICW), Lola Ester menilai sejak diwacanakan pada 2010, revisi UU KPK ini diniatkan untuk melemahkan KPK.

"Ya, sebutlah macan ompong, sebutlah jadi semacam komisi pencegahan korupsi. Meskipun memang tidak terlihat langsung secara jelas," kata Lola melalui sambungan telepon, Selasa (17/09).

Berbeda dengan Kepolisian dan Kejaksaan Agung, KPK dalam proses penanganan perkara korupsi sejauh ini, menurut Lola, lebih efektif dan efisien. Dengan proses penanganan yang cepat ini, justru memberikan kepastian hukum.

"Nah KPK sedang menuju ke situ dengan proses yang cepat. Makanya dia dibikin satu atap ada penyidikan ada penuntutan. Langsung di KPK," kata Lola.

Namun, perubahan UU KPK justru akan menghambat kinerja dari KPK, jelas Lola. Terutama, terkait dengan pembentukan Dewan Pengawas.

"Karena ada izin dari dewan pengawas. Dia bisa menentukan izin penyitaan penggeledahan, penahanan, bahkan penyadapan, dalam mekanisme sebelumnnya tidak seperti itu," kata Lola.

Segera digugat ke Mahkamah Konstitusi

Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi mengatakan lembaganya segera menggugat UU KPK yang baru disahkan ke Mahkamah Konstitusi.

"Kawan-kawan sudah menyiapkan untuk Judicial Review ke MK, segera," katanya kepada BBC Indonesia, Selasa (17/09).

Hal yang dijadikan landasan hukum, kata Fajri, pengesahan revisi UU KPK cacat prosedur. Menurut aturannya, revisi UU KPK tak bisa disahkan karena tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas).

"Ada beberapa hal prosedural yang ditabrak oleh pembentuk Undang-Undang," kata dia.

Publik juga tidak pernah didengarkan oleh pemerintah dan DPR dalam proses revisi UU KPK, termasuk tidak ada publikasi draf revisi UU KPK.

"Tidak pernah ada secara resmi, DPR menyampaikan kepada publik, bahwa ini loh tahapan yang sudah dilakukan, ini draf terakhir dan seterusnya. Yang kita bicarakan selama ini kan rumor," tambah Fajri.

Saat ini KPK masih dihadapkan kasus-kasus korupsi `kelas kakap` yang belum selesai. Sebut saja Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), KTP elektronik, dana talangan Bank Century, PT Garuda Indonesia, hingga tindak pidana pencucian uang Tubagus Chaeri Wardana (Wawan).

Menurut Fajri penanganan perkara atau penindakan yang dilakukan KPK merupakan sebuah prestasi yang bisa jadi akan semakin turun pasca pengesahan revisi UU KPK.

"Jelas apa yang selama ini prestasi bagi KPK di mana pemberantasan korupsi sudah mulai terlihat hasilnya, itu akan menurun. Jelas," katanya.

Prestasi penanganan korupsi di era Jokowi

Pada periode 2014 - 2018, komisi antikorupsi telah menyelamatkan uang negara Rp1,5 triliun. Seluruh kerugian negara baik dalam bentuk aset fisik maupun nonfisik hasil korupsi telah disita dan digunakan pemerintah.

Selain itu, ICW mencatat 23 anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Keseluruhan anggota DPR tersebut pun berasal dari ragam partai politik, yaitu Partai Golkar (8 orang), PDI Perjuangan (3 orang), PAN (3 orang), Demokrat (3 orang), Hanura (2 orang), PKB (1 orang), NasDem (1 orang) dan PKS (1 orang).

Penahanan ini lebih besar dari periode sebelum-sebelumnya.

Sejak KPK efektif bertugas tahun 2003 hingga Juni 2019, KPK telah menangani 1.064 perkara dengan tersangka dari berbagai macam latar belakang. Dengan rincian jumlah operasi tangkap tangan (OTT) sebanyak 123 kali dan jumlah 432 orang tersangka.

Sementara itu, latar belakang profesi yang ditangani KPK hingga Juni kemarin berasal dari Anggota DPR/DPRD (255 perkara), Kepala Daerah (30 perkara), Pimpinan Partai Politik (6 perkara), dan Kepala Lembaga/Kementerian (27 perkara).

"Jadi yang selama ini KPK lakukan, dan trennya naik. Itu bukan kegagalan. Tapi justru sebuah keberhasilan," kata Peneliti PSHK, Fajri Nursyamsi.

Kronologi revisi UU KPK sejak 2010

Dalam catatan ICW isu revisi UU KPK mulai bergulir sejak tahun 2010 silam. Menurut peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, revisi UU KPK merupakan rencana lama untuk melemahkan KPK. Sebab sejak bergulir, selalu mendapat penolakan dari masyarakat.

"Dalam naskah perubahan yang selama ini beredar praktis tidak banyak perubahan, narasi penguatan KPK seakan hanya omong kosong saja," kata Kurnia dalam keterangan tertulisnya.

Namun di penghujung masa jabatan DPR periode 2014 - 2019, revisi UU KPK kemudian dikebut dalam waktu tiga belas hari. Revisi UU KPK akhirnya disahkan dalam sidang Paripurna ke-9 DPR, Selasa (17/09).

Dalam kurun waktu tersebut, proses pembahasan perombakan UU KPK tak luput dari kritikan mulai dari LSM, civitas akademika, internal KPK, hingga tokoh masyarakat. Proses pembahasan revisi UU KPK tidak melibatkan pimpinan KPK, dan tidak masuk dalam program prioritas (prolegnas) 2019.

Perombakan UU ini pertama kali diwacanakan DPR pada Oktober 2010, lalu menjadi Prolegnas di tahun 2011. Saat itu, wacana ini mendapat perhatian yang cukup besar dari publik, sehingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan revisi UU KPK belum mendesak.

Rencana revisi UU KPK akhirnya pupus. Lalu, 16 Oktober 2012 Panitia Kerja (Panja) Revisi UU KPK menghentikan pembahasan revisi UU KPK. Semua Fraksi Parpol DPR pun menolaknya.

Lalu, pada awal 2015 revisi UU KPK kembali dimunculkan oleh DPR. Saat pemerintahan Jokowi ini seluruh fraksi di DPR akhirnya bersepakat untuk memasukkan revisi UU KPK dalam Prolegnas 2015-2019.

Tapi lagi-lagi rencana ini mendapat penolakan, hingga akhirnya Pemerintah dan DPR sepakat menunda pembahasan Revisi UU KPK.

Di penghujung tahun 2015 Badan legislatif DPR dan Menkumham Yasonna Laoly akhirnya menyetujui lagi Revisi UU KPK menjadi prioritas. Tapi rencana ini tak terdengar hingga mencuat dan menjadi inisiatif DPR 5 September dan disahkan 17 September 2019.

"Mulai dari penyadapan atas izin Ketua Pengadilan, pembatasan usia KPK, kewenangan SP3, sampai pembentukan Dewan Pengawas (isinya sama sejak bergulir 2010)," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana.