Sejarah Peristiwa Berdarah, Warga Wamena Perlu Waktu Pulihkan Trauma

Ribuan warga pendatang mengungsi sejak kerusuhan berdarah pecah di Wamena, Senin (23/09) - VINA RUMBEWAS/AFP/Getty Images
Sumber :
  • bbc

Komandan Kodim 1702/Jayawijaya, Letkol Candra Dianto, mengatakan masyarakat pendatang dan penduduk asli Papua perlu waktu dalam mengatasi trauma menyusul kerusuhan yang terjadi Senin lalu (22/09) di tengah gelombang eksodus berjumlah sekitar 400 orang dan pengungsi lebih dari 5.000 orang.

Trauma dan dendam konflik horisontal yang terjadi saat "Wamena Berdarah" pada 2000 menyebabkan masih ada yang mengingat kejadian itu, kata Chandra.

"Memang perlu ada waktu, sejarah pernah terjadi tahun 2000 yang namanya Wamena Berdarah, di mana konflik horisontal antara pendatang dengan pribumi, terjadi pembantaian besar-besaran," katanya kepada BBC News Indonesia.

"Namun setelah tahun 2000 sampai tahun 2019, masyarakat hidup berdampingan. Tentunya ini perlu ada waktu untuk menghilangkan trauma dan rasa dendam, dendam ini artinya bahwa banyak rumah-rumah, harta benda yang dimiliki oleh pendatang, bahkan rumah-rumah masyarakat pribumi pun banyak yang terbakar di sini, sehingga memang kita memerlukan waktu untuk bisa memulihkan situasi dan menghilangkan rasa trauma dan dendam yang saat ini mungkin masih terasa di masing-masing suku," tambahnya.

Kejadian di Wamena pada 6 Oktober 2000 itu menyebabkan tujuh orang Papua dan 24 pendatang meninggal.

Lebih dari 5.000 warga Wamena saat ini mengungsi di markas kepolisian dan militer menyusul kerusuhan, sementara sekitar 400 memilih pindah untuk sementara ke Jayapura hingga kondisi pulih.

Di antara mereka yang mengungsi adalah Zakaryas (56), -bukan nama sebenarnya- pendatang asal Makassar, Sulawesi Selatan. Saat peristiwa Senin (22/09) lalu, ia dilempari batu oleh massa berseragam sekolah.

"Saya lari lagi, saya suruh anak saya `ayo semua lari, tutup pintu, semuanya`, jadi saya jaga di pintu, takutnya massa masuk di lorong," ungkap Zakaryas, yang mengaku trauma atas kejadian itu, kepada BBC News Indonesia, melalui sambungan telepon (26/09).

"Saya sempat menghalau masyarakat melempar, tapi saya dilempar juga."

Zakaryas menturkan bahwa rumahnya menjadi sasaran massa. Ia mengatakan bahwa rumah warga "yang terutama dilempar itu, yang mereka ketahui (rumah warga) non-Papua".

"Itu mereka lempari, bahkan dibakar," imbuhnya.

Dalam kerusuhan di Wamena Senin (22/09) lalu, Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian mengatakan bahwa dari 30 orang yang meninggal, 22 di antaranya warga pendatang yang meninggal akibat luka bacok atau terjebak dalam rumah yang dibakar massa. Sementara empat lainnya merupakan warga Papua.

Wamena masih mencekam

Bagi Zakaryas, konflik berdarah serupa pernah ia alami pada tahun 2000.

"(Saat itu) saya pas mau pulang ke rumah, orang pada mengungsi, saya bilang `Ada apa?`, `Kita sudah dibakar, diserang`," kisahnya tentang kejadian hampir dua dekade lalu itu.

Ia mengingat banyak tembakan, api di berbagai penjuru, dan akhirnya pergi ke pengungsian untuk menyelamatkan diri.

Dan seperti kala itu, sejak Senin lalu, Zakarya juga memutuskan membawa seluruh anggota keluarganya yang berjumlah delapan orang untuk mengevakuasi diri dan mencari tempat perlindungan sementara.

"Sebenarnya saya pribadi merasa mengungsi ke luar (kota) itu lebih aman," tuturnya.

Akan tetapi, karena yang diprioritaskan untuk mengungsi ke luar Wamena adalah perempuan dan anak-anak, Zakaryas terpaksa tinggal di kota tersebut. Hal itu membuat keluarganya juga batal mengevakuasi diri ke Jayapura.

"Anak-anak saya bilang `Enggak boleh, kalau Bapak enggak keluar, kami juga enggak keluar."

Zakaryas adalah satu di antara sekitar 5.500 warga pendatang di Wamena yang keluar dari rumah mereka untuk tinggal di pengungsian. Mereka tersebar di markas Komando Distrik Militer 1702 Jayawijaya, markas Polres Jayawijaya, markas Komando Rayon Militer 1702-03 Wamena, Betlehem, gedung DPRD Jayawijaya, hingga markas Yonif Wi Mane Sili.

Tak banyak yang bisa ia lakukan. Zakaryas pun belum tahu kapan akan kembali ke rumahnya yang rusak dilempari batu oleh massa kerusuhan.

Sejak Rabu (25/09), ia lantas memberanikan diri untuk berkeliling ke daerah di sekitar rumahnya yang menjadi lokasi kerusuhan untuk memeriksa situasi.

"Kulihat banyak rumah yang terbakar, masih mencekam. Tidak ada orang lewat-lewat, satu-dua-tiga orang, sementara ada beberapa orang di luar berjaga-jaga di depan rumah masing-masing dengan bawa alat-alat tajam," kisahnya.

Zakaryas pun mengutarakan pendapatnya, bahwa pada dasarnya tidak ada warga pendatang yang mencoba membuat masalah.

"Pendatang di sini itu tidak mau menyerang, kita cuma menyelamatkan diri untuk bertahan saja, tidak ada niat kita mau bikin apa," pungkasnya.

`Kecurigaan itu sepertinya ada`

Sementara itu, seperti Zakaryas, Ronny Hisage - yang merupakan warga Papua - mengaku masih khawatir untuk beraktivitas di luar rumah. Pasalnya, sejumlah warga pendatang masih tampak berjaga di luar sambil membawa parang dan senjata tajam lainnya.

"Kemarin sempat saya mau beli sesuatu, cari kios, saya cari kios yang agak sedikit orang (pendatang)," tutur Ronny melaui sambungan telepon (26/09).

"Karena pas lagi banyak-banyak orang pada pegang alat tajam, pas kita lewat itu mereka macam lihat-lihat, tatap ke kami, terus diam. Makanya agak takut."

Dari pengamatannya, ia masih merasakan ketegangan hubungan antara warga Papua dan pendatang pascaricuh Senin lalu. "Kecurigaan itu sepertinya ada," ujarnya.

Hal paling kentara yang ia rasakan adalah suasana kerja di kantornya saat ini di Wamena. Ia merasakan adanya dikotomi berdasar ras.

"Pas ketemu di kantor, di halaman, atau di ruangan sekitar ini, mereka berkumpul seolah-olah menceritakan kami. Diomongin begitu," kata Ronny.

Ia hanya berharap situasi segera kembali kondusif, "supaya kami juga aman".

"Belum ada aktivitas"

Dandim Jayawijaya, Letkol Candra Dianto, menuturkan bahwa kondisi di Wamena, Jayawijaya berangsur kondusif setelah kerusuhan menyebabkan 30 orang Senin (22/09) lalu.

"Pengguna jalan sudah mulai beraktivitas, namun untuk pemerintahan, pendidikan dan perekonomian sampai saat ini belum terlihat beraktivitas," ungkap Candra melalui sambungan telepon, Kamis (26/09).

"Mereka menunggu, meyakinkan situasi benar-benar aman dan kondusif."

Sekretaris Eksekutif Yayasan Teratai Hati Papua - LSM yang bergerak dalam bidang HAM dan pemberdayaan ekonomi, Ence Geong, mengatakan ketakutan masih kental terasa di antara masyarakat.

"Ada ketakutan lah, antara masyarakat Papua takut aparat. Demikian juga, masyarakat pendatang ada ketakutan juga terhadap masyarakat Papua," tuturnya.

Menurut Ence, yang penting dilakukan untuk menghentikan gejala konflik horisontal yang saat ini mulai secara perlahan terbentuk, yaitu dengan menghentikan penanganan dengan kekerasan terhadap massa pengunjuk rasa.

"Selama menggunakan kekerasan, itu akan membuat konfliknya panjang dan meluas."

Selain itu, pembauran masyarakat - baik penduduk asli Papua maupun para pendatang, penting untuk segera dilakukan, kata Ence. Ia pun mengkritisi hadirnya kelompok nusantara yang dianggapnya mengganggu proses pembauran tersebut.

"Itu (kelompok Nusantara) mengganggu sekali, itu membuat konflik horisontal bisa terjadi," ungkap Ence, yang kemudian dibantah oleh Candra.

"Imbauan-imbauan dari pemerintah, dari TNI-Polri kepada suku atau Barusan Nusantara ini, kita sudah imbau untuk tidak melakukan aksi," pungkasnya.

Hingga Kamis (26/09), sambungan internet di Wamena, Papua masih belum kembali. Hal itu dilakukan pemerintah dalam upaya untuk menghentikan persebaran berita bohong dan provokasi melalui internet, yang dianggap dapat memicu kembali aksi anarkis.