RUU KUHP, Beban Berat Anggota DPR Baru

Mural kritik sosial "Tolak RUU KUHP" di Rawamangun, Jakarta Timur (ANTARA FOTO)
Sumber :
  • bbc

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode baru yang dijadwalkan akan dilantik Selasa (01/10) disebut mendapat beban berat berupa pembahasan lima rancangan undang-undang kontroversial dan salah satu yang jadi prioritas adalah RUU KUHP.

LSM pemantau parlemen, Formappi, yang menyebut kinerja DPR sebelumnya paling buruk setelah reformasi, mengingatkan anggota DPR tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama yaitu terlalu tinggi memasang target dalam membahas rancangan undang-undang.

Taufik Basari, anggota DPR dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem) periode 2019-2024 menilai Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) yang banyak dikritik dan menimbulkan sejumlah protes, lebih fokus pada pendekatan kriminalisasi.

Tobas --begitu ia disapa-- akan duduk di Komisi III dan mendapat mandat dari partainya untuk menyisir ulang draft itu.

"Dengan masalah-masalah itu, kita harus menyisir ulang. Melihat lagi, membaca kalimat per kalimat, kata per kata tiap-tiap pasal untuk memastikan tidak ada pelanggaran dalam RUU KUHP," ujar Taufik Basari kepada BBC Indonesia, Senin (30/09).

Penyisiran pasal demi pasal dalam RUU KUHP, bagi Tobas, penting agar tidak ada multitafsir sehingga membuka peluang kriminalisasi.

"Ketika semangatnya kriminalisasi, akhirnya yang terjadi tidak jelasnya prinsip yang ada di dalam hukum pidana atau mens rea . Jadi harus jelas kehendak jahatnya," sambungnya.

Bahan refleksi

Selama melucuti pasal-pasal itu pula, ia akan mengajak anggota DPR lainnya melibatkan pihak-pihak yang menolak. Ini demi menghindari tudingan serupa yaitu dibahas dalam senyap dan diam-diam.

"Apalagi dengan adanya aksi-aksi demonstrasi begini, harus jadi bahan refleksi, ternyata meskipun kita mendapat suara pemilih, tapi masih tetap diragukan. Itu jadi tantangan besar," pungkasnya.

Ketua DPR Bambang Soesatyo memastikan penundaan RUU KUHP ini saat memimpin Rapat Paripurna (30/09) dan mengatakan, "Seluruh fraksi juga memahami situasi sehingga menyetujui RUU tersebut ditunda dan ` carry over ` pada masa persidangan pertama pada periode yang akan datang."

Tapi keinginan Tobas, ditentang anggota DPR inkumben seperti Masinton Pasaribu dari PDI Perjuangan. Baginya, pembahasan RUU KUHP cukup pada pasal-pasal yang dipersoalkan kalangan masyarakat sipil.

Dalam catatan publik, setidaknya ada 15 pasal bermasalah, seperti perzinaan, korupsi, penghinaan presiden, aborsi, dan gelandangan, sementara Presiden Jokowi sebelumnya menyebut, ada 14 pasal yang harus diperbaiki.

Masinton mengatakan, jika harus menyisir seluruh pasal dalam draft , tidak mungkin karena membutuhkan waktu lama.

"Kalau menyisir secara keseluruhan, itu kan sudah tidak mungkin. Karena menyisir itu butuh waktu... dan itu sudah melalui pembahasan panjang dan bertahun-tahun," kata Masinton ketika dihubungi BBC Indonesia.

Sehingga, menurut Masinton, Komisi III periode baru sebaiknya membuka ruang diskusi terkait pasal kontroversial dengan mengundang berbagai perwakilan masyarakat.

Pembahasan tertutup

"Ya mendengar masukan, pendapat dari barbagai kalangan, baik dari pegiat hukum, hak asasi manusia, akademisi dan tokoh-tokoh masyarakat," tukasnya sembari menampik tudingan yang menyebut pembahasan RUU KUHP tertutup atau sembunyi-sembunyi.

Peneliti dari Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, memberikan empat rekomendasi kepada pemerintah dan DPR periode baru dalam membahas RUU KUHP.

Yang utama, pemerintah harus memiliki arah yang jelas terhadap buku hukum pidana itu dan tidak bertentangan dengan kebijakan pemerintah sendiri.

Menurutnya, pasal-pasal bermasalah yang disuarakan masyarakat selama ini bertabrakan dengan program pemerintah, salah satu contohnya, mengentaskan perkawinan dini.

Untuk itulah, ICJR, meminta Presiden Jokowi membentuk komite ahli yang berisi para ahli hukum, kesejahteraan sosial, kesehatan masyarakat, dan ekonomi.

"Selama ini pembahasan RUU KUHP tak ada arahnya dan bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Makanya harus ada perspektif lain selain hukum pidana," ujar Maidina.

Rekomendasi lain, DPR dan pemerintah setidaknya melakukan evaluasi terhadap pasal-pasal yang ada, apakah masih relevan dipraktikkan saat ini atau tidak.

"Jadi harus berbasis evaluasi, masih perlu digunakan atau cukup hanya berupa perda saja?".

Terakhir, pembahasan dilakukan terbuka dan melibatkan banyak organsiasi masyarakat sipil.

"Selama 1,5 tahun terakhir pembahasan tertutup. Padahal di akhir, banyak pasal diubah. Maka kita minta ke depan DPR harus menjamin ada keterbukaan, mulai dari catatan rapat, update draft , yang selama ini tak pernah ada," ujarnya.

Kendati Maidina kecewa pada kinerja anggota DPR sebelumnya, ia masih menaruh optimis pada periode baru.

"Ya harus optimislah, makanya kita merekomendasikan banyak hal."

DPR terburuk sejak era reformasi

LSM pemantau parlemen, Formappi, menyebut kinerja anggota DPR periode 2014-2019 adalah yang terburuk sejak era reformasi karena banyak rancangan undang-undang prioritas yang tidak bisa disahkan.

Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus, menyarankan anggota DPR periode selanjutnya mengubah strategi kerja. Tidak lagi memasang target bombastis, tapi fokus pada beberapa undang-undang krusial.

Ia mencontohkan, dalam satu tahun setiap Komisi DPR cukup menargetkan dua RUU dan harus selesai dibahas. Jika ada 11 komisi, maka dalam setahun akan ada 22 aturan.

Bukan sarana kekuasaan

Cara itu, kata dia, lebih baik karena DPR periode 2014-2019 saban tahun menargetkan 40-50 RUU, tapi hanya bisa merampungkan tiga sampai sepuluh RUU.

"Harus fokus pada beberapa RUU krusial dan dengan perencanaan yang realistis. Selama ini karena terlalu banyak jadi kebingungan memilih mana yang jadi prioritas," ujar Lucius Karus.

Lucius juga menilai, komposisi anggota DPR yang baru dan inkumben yang berimbang tak akan berdampak besar terhadap kinerja jika dominasi partai politik masih sangat kuat. Hasilnya, aturan yang dilahirkan hanya mementingkan kepentingan elite, bukan rakyat.

"Masalahnya parpol masih dengan corak pragmatis. Jadi berharap pada kualitas anggota saja, baik yang baru atau lama, ketika cengkaraman parpol ke anggota terlalu keras, agak susah diharapkan."

Namun demikian, aksi unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat selama beberapa hari ini, menurut Lucius ada baiknya, sebagai `pelajaran serius` bagi anggota DPR mendatang agar berubah.

"Fakta publik bisa begitu serius mengevaluasi kualitas RUU yang dihasilkan. Jadi DPR baru tidak bisa tidur nyenyak dengan kebiasaan mereka selama ini. Harus responsif dan partisipatif."

"Ada gunanya juga demo di akhir sidang ini untuk DPR mendatang. Untuk mengingatkan mandat yang diterima bukan hanya jadi sarana menikmati kekuasaan tapi digunakan untuk melayani kepentingan publik. Karena sewaktu-waktu bisa demo lagi karena amunisinya sudah terlalu banyak."