Saat Kerusuhan, Orang Wamena Sembunyikan Warga Pendatang di Gereja

Gedung-gedung pemerintah, termasuk kantor bupati, dibakar dalam kerusuhan di Wamena, 23 September lalu. - AFP/Getty Images
Sumber :
  • bbc

Sejumlah warga pendatang dari Padang, Jawa, Makassar bercerita bagaimana mereka diselamatkan saat kerusuhan di Wamena setelah rumah mereka dibakar.

Salah seorang yang lolos adalah Mus Mulyadi yang memulai ceritanya pada Senin pagi Senin pagi sekitar pukul 08.00, 23 September lalu.

Pria asal Sumatera Barat ini sedang berjualan aneka makanan. Sate padang, lontong sayur, dan gado-gado sudah rapi tertata pada wadahnya.

"Saya baru buka. Pembeli baru satu-dua. Langsung pecah (kericuhan). Saya langsung jemput anak saya di sekolah," tutur Mus yang sudah bermukim di Wamena sejak 2006 lalu.

Selang 15 menit, pembakaran terjadi di samping SMP, cerita Mus.

"Setelah anak saya bawa pulang, kantor bupati dibakar. Selanjutnya POM bensin dibakar, merembet ke Woma," papar Mus saat ditemui di penampungan Ikatan Keluarga Minang (IKM) di Sentani oleh wartawan Enggel Wolly yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Senin (30/09).

Dalam kondisi tegang, Mus mengaku keluarganya dan ratusan orang lain diselamatkan penduduk asli Wamena.

"Kita 250 orang dibawa ke gereja, diungsikan, diselamatkan. Orang Padang, Jawa, Makassar dimasukkan ke gereja. Yang menyelamatkan asli orang Wamena. Mereka juga yang menjaga serta mengawal kami sepanjang hari itu," ungkapnya.

Setelah kondisi kelihatannya aman, Mus dan keluarganya mengungsi ke Komando Distrik Militer Jayawijaya.

Mereka tinggal di sana selama semalam, untuk kemudian mengungsi ke Jayapura menggunakan pesawat maskapai Trigana.

Mengingat kembali kerusuhan di Wamena, Mus mengaku tidak merasakan tanda-tanda konflik horizontal.

"Saya dan keluarga hidup berdampingan dan sangat rukun. Masyarakat lokal, secara khusus orang Lembah Baliem sudah seperti keluarga saya sendiri. Putra daerah saya malah dekat dengan kita orang Padang. Kita sekolahkan dia, kita kasih makan, kita kasih gaji," paparnya.

Ditambahkan Mus, dia dan keluarganya masih menunggu hingga kondisi kembali kondusif.

"Untuk sementara kita di Sentani dulu, memang sebagian besar harta benda seperti tempat jualan dan sebagian rumah sudah hangus terbakar. Kalau kondisi aman, kita pasti kembali lagi untuk memulai usaha kita dari awal lagi," pungkasnya.

Sikap Mus diamini Wakil Gubernur Sumbar, Nasrul Abit, yang mengunjungi masyarakat Sumbar di Papua.

"Mereka juga tidak ingin pulang karena kalau pulang pun mereka mau kerja apa. Mereka bilang sudah lahir dan besar di Papua jadi ingin tetap tinggal di Papua, itu kata warga Minang yang saya temui di Wamena," kata Nasrul kepada wartawan, Minggu (29/09) malam di Jayapura.

Nasrul mengungkap warga Sumbar di Wamena berjumlah 981 orang dan 300 di antara mereka sudah mengungsi.

`Masih trauma`

Keinginan pengungsi untuk kembali ke Wamena juga diutarakan Krisanthus Letsoin, asal Kepulauan Kei, Maluku—yang sejak 2008 mengabdi sebagai tenaga guru honorer di Kabupaten Yahukimo.

Kris dan keluarganya meninggalkan rumah mereka di Wamena dan mengungsi di Sentani, Jayapura, setelah Wamena dilanda kerusuhan.

"Kalau saya akan tetap kembali, sudah jadi tugas saya yang harus dilaksanakan. Di sana kekurangan guru, semua mata pelajaran saya ajarkan," kata Kris.

Bagaimanapun, Kris tidak menampik bahwa dirinya mengalami trauma sehingga masih memulihkan diri di tempat pengungsian di Sentani, Jayapura.

"Perasaan masih trauma. Di sini kita merasa aman sekali, ada lingkungan keluarga. Kita sudah baik," ujar Kris.

Pria itu sejatinya tidak mengalami kerusuhan di Wamena pada 23 September lalu karena dia datang ke kota itu sebelum ricuh dan sudah kembali ke Yahukimo saat terjadi kerusuhan.

"Saya tiba di Wamena sehari sebelum Wamena rusuh, untuk pencairan dana BOS. Setelah di Yahukimo baru saya dengar Wamena rusuh. Tidak ada penerbangan ke Wamena. Terpaksa saya langsung ke Jayapura karena tidak ada akses untuk ke Wamena baik darat maupun udara," paparnya.

Dari istrinya yang tinggal di Wamena dan belakangan menyusul ke Sentani, Krisanthus mengetahui rumahnya sudah rata dengan tanah.

"Istri saya dari Wamena dua hari lalu tiba di Sentani hanya baju di badan. Harta benda, rumah dan segala isinya sudah hangus dan rata dengan tanah. Saya bersyukur karena kami sekeluarga masih selamat, dan untuk sementara kami tinggal di sentani sampai kondisi aman dulu baru kembali lagi ke Wamena," ucapnya.

Kris menuturukan ada 26 orang penduduk Wamena asal Kepulauan Kei yang mengungsi ke Jayapura.

Mereka ditampung di salah satu pos pengungsian di Sentani dengan dukungan keluarga besar masyarakat Kepulauan Kei.

Ribuan pengungsi

Sejak 23 September hingga Senin (30/09), TNI Angkatan Udara telah mengevakuasi 4.588 orang dari Wamena ke Jayapura menggunakan pesawat Hercules milik TNI AU.

Hal itu dikemukakan Komandan Lanud Silas Papare Jayapura, Marsma TNI Tri Bowo Budi Santoso, kepada BBC News Indonesia, Senin (23/09).

"Selama ini kami menggunakan dua pesawat Hercules dan akan ada satu pesawat Hercules tambahan, besok (Selasa, 1 Oktober 2019)," ujarnya.

Para pengungsi tersebut, lanjutnya, ditampung di beberapa pos penampungan, semisal di gedung serbaguna Lanud Silas Papapre, Yonif Raider 751, Rindam, Tabita dalam, Al-Aqso Sentani, dan Musholla Attaqwa Sentani.

Menurut Marsma TNI Tri Bowo Budi Santoso, jumlah pengungsi di kawasan Sentani diperkirakan akan bertambah mengingat masih ada 8.000 hingga 10.000 orang lagi yang menunggu dievakuasi dari Wamena. Sebagian dari tempat lain, seperti Tolikara, baru mendaftar.

Di Wamena, pemerintah Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, mencatat terdapat 7.278 warga perantau masih berada di penampungan pengungsi.

Bupati Jayawijaya, Jhon Richard Banua, mengatakan pengungsi tersebar di lebih dari 59 titik.

"Pengungsi terbanyak bertahan di Polres, Kodim, gereja, mushola dan sudah didistribusikan logistik," ucapnya, seperti dilaporkan wartawan Anyong kepada BBC News Indonesia.

Selain masyarakat pendatang, masyarakat asli Papua juga ikut mengungsi ke kampung-kampung.

"Kita juga data orang asli Papua yang mengungsi ke kampung-kampung untuk diberikan logistik, sebab setelah kejadian, tidak ada tempat usaha yang buka untuk mereka belanja," katanya di posko induk bantuan logistik di gedung Ukumearek Asso Wamena, Senin (30/09).

"Di pengungsian ada yang sakit saya sudah perintahkan tim medis untuk datang ke tempat-tempat pengungsi. Ada bantuan tenaga medis juga dari TNI dan Polri untuk membantu obat maupun tenaga. Bukan hanya itu dokter-dokter kita juga melakukan trauma healing khususnya kepada anak-anak," katanya.

Untuk meringankan korban kerusuhan di Wamena, Kementerian Sosial (Kemensos) mengirimkan bantuan senilai Rp3,89 miliar.

"Dalam rangka penanganan penyintas pasca kerusuhan di Wamena, Kemensos memberikan layanan pemenuhan kebutuhan dasar berupa bantuan logistik bagi kelompok rentan serta pemulihan usaha ekonomi warga," kata Menteri Sosial ( Mensos) Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Minggu (29/9/2019).

Dalam keterangan tertulisnya, Senin (30/9/2019) Kemensos menjelaskan, bantuan yang diberikan dalam bentuk penguatan dapur umum untuk sekitar 5.000 jiwa, dan 1.500 paket perlengkapan pakaian anak.

Kemudian 1.500 paket perlengkapan pakaian pria, 1.500 paket perlengkapan pakaian wanita, 2.500 matras, 1.500 tenda gulung atau terpal, 2.500 selimut, dan 100 unit Bantuan Usaha Ekonomi Produktif.

Sebelumnya, Komandan Distrik Militer 1702 Jayawijaya, Letkol Inf Candra Dianto, mengatakan ribuan pengungsi korban kerusuhan Wamena membutuhkan bantuan kebutuhan pokok seperti pakaian, makanan, dan barang-barang keperluan anak dan perempuan.

Presiden Joko Widodo mengimbau masyarakat untuk tidak ramai-ramai meninggalkan Wamena, Papua, pasca-kerusuhan yang terjadi di kota itu.

Jokowi menyebut, aparat keamanan kini sudah bisa memulihkan kondisi di Wamena setelah terjadi kerusuhan yang menewaskan sedikitnya 33 orang.

"Terus kami imbau agar masyarakat tidak keluar dari Wamena karena aparat keamanan sudah bisa mengamankan," kata Jokowi di Istana Bogor, Senin (30/09).

Jokowi mengakui bahwa saat ini masyarakat masih banyak yang ingin keluar dari Wamena karena merasa takut.

Ia meminta tak ada yang mengaitkan kejadian ini dengan konflik antar-etnis.

"Seluruh masyarakat tetap tenang, menahan diri dan menghindarkan dari semua provokasi provokasi dan fitnah-fitnah yang kita lihat di media sosial begitu sangat banyaknya isu-isu yang ditebarkan," kata dia.