Perusahaan Malaysia dan Singapura Jadi Tersangka Kebakaran Hutan

Ilustrasi pemadaman kebakaran hutan
Sumber :
  • Antara

Empat dari sejumlah perusahaan yang ditetapkan sebagai tersangka kebakaran hutan dan lahan tahun ini adalah perusahaan asing milik Malaysia dan Singapura. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan keempat perusahaan asing itu beroperasi di Kalimantan.

Sementara dalam tiga tahun sebelumnya, dari 2015 sampai 2018, pemerintah menyatakan telah menyeret sembilan perusahaan. Tetapi ganti rugi yang diperoleh hanya satu persen dari tuntutan, kondisi yang disebut organisasi lingkungan Green Peace disebabkan sikap pemerintah yang terlalu lembek.

Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian LHK, Rasio Ridho Sani, menyebut dari total ganti rugi yang wajib dibayarkan sembilan perusahan pembakar lahan sebesar Rp3,15 triliun, pemerintah baru menerima Rp78 miliar.

Angka itu, jika merujuk pada data terbaru KLHK, berasal dari satu perusahaan yakni PT Bumi Mekar Hijau di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Sementara delapan lainnya, masih berstatus "dalam proses pelaksanaan".

Untuk mempercepat eksekusi ganti rugi, katanya, KLHK akan berkoordinasi dengan sejumlah Ketua Pengadilan Negeri di Palembang, Jambi, dan Jakarta Selatan.

"Kami akan terus kejar. Kami tidak berhenti mengejar para pelaku kebakaran hutan dan lahan, termasuk mempercepat eksekusi, pidana juga akan diintensifkan, sanksi administrasi juga dipertegas."

Kendati ia tak bisa memberi target kapan seluruh uang ganti rugi akan rampung dibayar para perusahaan.

"Kalau kami ingin besok pagi. Tapi ini kewenangan pengadilan sebagai eksekutor. Pengalaman gugatan perdata sampai inkrah baru satu atau dua tahun ini, tentu pengadilan belum punya pengalaman eksekusi."

Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik, menilai pemerintah terlampau lembek menindak para perusahaan pembakar lahan. Sebab angka ganti rugi yang baru dibayar tak sampai satu persen.

"Sementara kalau mau dikritisi, kerugian atas karhutla tahun 2015 mencapai Rp221 triliun. Nah ini ganti rugi baru terima Rp78 miliar, ke mana negara? Jadi mereka mengklaim sudah melakukan banyak hal tapi data yang bicara," ujar Kiki Taufik saat dihubungi BBC Indonesia.

"Jadi apa langkah Gakkum (penegakkan hukum, red.), kok enggak sampai satu persen? Siapa yang harus menanggung kerugian negara?" sambungnya.

Kiki melanjutkan, jika pemerintah memang serius menindak perusahaan pembakar lahan, maka harus berbuat lebih untuk menimbulkan efek jera. Yakni, jika diketahui perusahaan tak mampu membayar denda, pemerintah segera mempailitkan perusahaan terkait.

"Pemerintah harus kejar sampai bangkrut kalau perlu, karena yang rugi masyarakat."

Empat perusahaan asing menjadi tersangka karhutla

Dalam perkembangan lain, setidaknya delapan perusahaan perkebunan sawit sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus kebakaran hutan dan lahan di sejumlah wilayah di Sumatera dan Kalimantan yang terjadi pada tahun 2019. Empat di antaranya merupakan perusahaan asing milik Malaysia dan Singapura.

Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian LHK, Rasio Ridho Sani, mengatakan pemerintah tidak tebang pilih dalam menindak perusahaan pembakar lahan.

"Kami tidak akan melakukan pembedaan dalam penegakan hukum, yang melakukan kebakaran hutan dan lahan harus bertanggung jawab," ujar Rasio Ridho Sani kepada wartawan di Jakarta, Selasa (01/10).

Dua perusahaan milik Malaysia tersebut berada di dua lokasi, yakni di Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Demikian pula dua perusahaan milik Singapura.

Rasio Ridho menegaskan, jumlah tersangka kemungkinan akan terus bertambah.

"Kami berkomitmen melakukan penegakan hukum sekeras-kerasnya bagi pelaku kejahatan kebakaran hutan dan lahan," tukasnya.

BBC Indonesia menanyakan hal itu kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Industri Malaysia, namun belum memperoleh jawaban.

Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik, menyebut proses hukum kali ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa mereka serius menindak para pelaku.

"Ini tantangan, sampaikan ke publik dari delapan perusahaan itu siapa saja? Sampaikan ke publik proses penegakan hukumnya, supaya publik tahu.

"Jangan cuma jadi gertak, tapi prosesnya enggak terbuka. Setelah hujan pemerintah lupa, tiba-tiba kasusnya hilang, karena prosesnya enggak transparan," pungkasnya.

Kebakaran berulang

Dari pemantauan KLHK pula, kata Rasio Ridho, sampai saat ini sudah ada 64 perusahaan perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri, yang diduga menyebabkan kebakaran hutan dan lahan di sejumlah wilayah di Sumatera dan Kalimantan, yang telah disegel.

Beberapa di antaranya mengalami kebakaran berulang sejak tahun 2015. Ia mencontohkan kasus PT Ricky Kurniawan Kertapersada di Kabupaten Muaro Jambi.

"Pada tahun 2015, luasan lahan yang terbakar 591 hektar. Lalu kami gugat perdata dan sudah inkrah putusan di Mahkamah Agung (dengan ganti rugi) sekitar Rp192 miliar dan sedang kami percepat juga proses eksekusi ganti ruginya. Tapi sekarang terbakar lagi dan sudah kami segel. Lahan yang terbakar sekarang 1.200 hektar," jelas Rasio Ridho.

Perusahaan lainnya yakni PT Kaswari Unggul yang berada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi.

"Perusahaan itu juga sudah kami segel. Jadi penegakan hukum di lokasi yang pernah terbakar pada tahun 2015 akan dilakukan lebih keras lagi," ancamnya.

Tindakan keras itu, menurut dia, dengan pencabutan izin konsesi jika pemberi izin, yakni bupati atau gubernur, tidak melakukan rekomendasi pemerintah pusat.

"Kalau tidak (dilakukan rekomendasi KLHK), kami lakukan second law enforcement . Jadi kewenangan Menteri KLHK untuk melakukan lapis hukum kedua," jelas Rasio Ridho.

Sementara itu, hingga Rabu (02/10) pagi, data Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menunjukkan masih terdapat sekitar 1.200-an titik panas atau hotspot , yang sebagian besarnya berada di pulau Sumatera.