Jokowi Diminta Terbitkan Perppu KPK ketimbang Judicial Review

Gedung KPK. (istimewa)
Sumber :
  • vstory

VIVA – Presiden Joko Widodo diminta menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) ketimbang mengajukan judicial review atas Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, meski ada masukan lain, yaitu judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK), namun keputusan akhirnya bukan di tangan Presiden tapi oleh sembilan hakim konstitusi. Karena itu, Perppu dinilai diperlukan untuk mencabut UU KPK yang disepakati DPR dan pemerintah.

"Kami mendorong Presiden Jokowi keluarkan Perppu, dibanding mengajukan judicial review. Dalam Undang-Undang Dasar pasal 22 disebutkan bahwa Presiden berhak mengeluarkan Perppu. Ini juga jawaban kami kalau ada anggapan penerbitan Perppu adalah bentuk inkonstiusional," kata dia, seperti dikutip dari VIVAnews.

Selain itu, Bivitri menilai proses judicial review membutuhkan waktu dan tidak ada kepastian pengambilan keputusan cepat. Untuk itu, dirinya menyarankan, agar Presiden Jokowi menerbitkan Perppu UU KPK dibanding menunggu proses judicial review.

Ia melanjutkan, pada pertemuan beberapa ahli dengan Presiden Jokowi di Istana Negara beberapa waktu lalu, Bivitri mengaku pertama kali mengklarifikasi pandangan beberapa pihak bahwa undang-undang yang berasal dari DPR tak bisa di-Perppu-kan.

Revisi UU KPK memang merupakan inisiatif RUU dari DPR. Meski RUU KPK tersebut menjadi sorotan, karena tak masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019.

Selain itu, ia pun menjelaskan dalam pertemuan tersebut diperjelas Putusan MK Tahun 2010, yang dikatakan bahwa penerbitan Perppu merupakan hak subjektif Presiden.

Ada tiga parameter dalam putusan MA tersebut, yakni pertama, adanya kebutuhan mendesak. Kedua, UU itu belum ada atau UU ada, tetapi tidak memadai mengatasi keadaan, dan ketiga, adanya kekosongan hukum dan tidak bisa buat UU karena membutuhkan proses.

"Ketika Presiden lebih memahami mendalam dari tiga ini ada kegentingan memaksa. Kegentingan memaksa pemerintahan negara berbeda dengan kondisi darurat," ujar Bivitri.