Masalah Kesehatan Jiwa Meningkat, Tapi Akses Perawatannya Terbatas

Ilustrasi gangguan jiwa.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani

Hari kesehatan jiwa sedunia yang diperingati hari ini fokus pada pencegahan bunuh diri yang menjadi penyebab kematian kedua terbanyak setelah kecelakaan lalu lintas.

Namun, beberapa pihak mengatakan isu kesehatan jiwa masih kurang menjadi perhatian di Indonesia, meski terjadi tren peningkatan masalah tersebut. Jumlah dokter spesialis kesehatan dan akses terhadap pelayanan kesehatan jiwa yang minim dianggap sebagai penyebab persoalan ini.

Depresi berkepanjangan dan sejumlah permasalahan hidup yang mendera Ismi Chalifati Lazuaria sempat membuatnya mencoba bunuh diri. Kondisi ini sempat menganggu produktivitas, yang mendorongnya memeriksakan diri ke dokter spesialis kejiwaan.

"Penyebabnya pasti, sedang fase depresi karena suasana hati buruk ya, dan yang kedua trigger dari luar, jadi ketika dua hal terjadi bisa menyebabkan ODB (orang dengan bipolar) atau survivor punya keinginan untuk melakukan tindakan suicidal (bunuh diri)," ujar perempuan yang akrab dipanggil Ica ini kepada BBC News Indonesia, Selasa (09/10).

Dia didiagnosis mengalami gangguan bipolar, gangguan mental yang ditandai dengan perubahan emosi yang drastis. Sempat menerima stigma buruk dari keluarga dan masyarakat, dia akhirnya mencari pertolongan dan dukungan.

"Saya tanpa dukungan keluarga, dan dukungan masyarakat. Saya benar-benar sendiri waktu itu," ujar perempuan berusia 36 tahun ini.

"Saya merasa sakit saya ini menganggu aktivitas saya, akhirnya saya mendapatkan kesadaran sendiri bagaimana saya mendapatkan pengobatan dan mencari dukungan supaya saya bisa lebih produktif lagi," imbuh Ica.

Ica akhirnya mendapat dukungan setelah bergabung dengan Bipolar Care Indonesia, sebuah wadah bagi orang-orang dengan kondisi kejiwaan yang sama untuk berbagi dan saling mendukung.

Pendiri Bipolar Care Indonesia, Igi Oktamiasih, mengungkap alasan dibentuknya komunitas bipolar ini adalah untuk melawan stigma dan meningkatkan kesadaran soal kondisi kesehatan ini.

"Kita memulai komunitas ini dari sebuah grup kecil dimana kita bisa berbagi semua hal tanpa takut dihakimi karena stigma negatif masyarakat dengan gangguan jiwa atau depresi," jelas Igi.

Stigma buruk yang hingga kini masih diterima ODB, lanjut Igi, banyak orang yang menyamakannya dengan kepribadian ganda dalam konotasi yang negatif. Dia mengatakan banyak khalayak menggambarkan ODB sebagai "labil" dan "kepribadian ganda".

"Padahal belum tentu", tegas Igi.

"Banyak ODB bisa mengendalikan emosi mereka dan mereka bisa produktif. Jadi seperti fenomena gunung es, yang di atas kelihatan lebih sedikit, yang di bawah banyak dan mereka sebenarnya enggak mau terus-terusan disebut labil, mereka merasa menderita dengan `kelabilan` mereka," imbuhnya kemudian.

`Semua orang memiliki kecenderungan`

Benny Prawira, pendiri Into The Light Indonesia, komunitas yang berfokus sebagai pusat advokasi, kajian, dan edukasi pencegahan bunuh diri dan kesehatan jiwa di Indonesia, mengungkapkan "semua orang memiliki kecenderungan untuk memiliki gangguan jiwa".

"Meskipun mempunyai kecenderungan tapi belum tentu berkembang menjadi gangguan, jadi kita bilangnya gangguan masalah kejiwaaan, bukan gangguan kejiwaan," jelas Benny.

Orang dengan masalah kejiwaan, lanjut Benny, bisa jadi siapa saja yang memiliki kerentanan. Penyebab masalah kejiwaan antara lain "pekerjaan terlalu banyak, politik kantor, atau masalah sehari-hari di lingkungan macet yang luar biasa dan drama kehidupan lainnya".

Berdasarkan data WHO tahun 2018, depresi merupakan gangguan jiwa yang paling sering terjadi dan menjadi salah satu penyebab utama disabilitas.

Lebih dari 300 juta penduduk dunia mengalami depresi. Masalah kejiwaan lainnya yang sering terjadi adalah bipolar, dimana sekitar lebih dari 60 juta penduduk dunia menderita penyakit ini,

Sementara, masalah kejiwaaan berat yang sering terjadi adalah skizofrenia dan psikosis lainnya, sekitar 23 juta orang di dunia mengalaminya.


- BBC

Depresi rawan bunuh diri

Dokter spesialis kesehatan jiwa dari Universitas Indonesia, Nova Riyanti Yusuf, mengatakan konsekuensi seseorang apabila depresi tak tertangani dengan baik, maka akan meningkatkan risiko bunuh diri.

Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa DKI Jakarta ini mengungkapkan, merujuk pada penelitian yang dibuatnya, 5% pelajar dari 910 pelajar SMAN dan SMKN akreditasi A di DKI Jakarta memiliki ide bunuh diri.

Faktor-faktor yang menyebabkan seorang remaja bunuh diri, kata Nova, antara lain menjadi merasa beban, kesepian dan putus asa.

"Tidak harus ada gangguan jiwa di situ. Sedangkan kalau penelitian yang lain itu memang bisa sampai 90% bunuh diri disebabkan oleh gangguan jiwa, utamanya depresi," ungkap Nova.

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan, Anung Sugihantono, mengungkapkan terjadi peningkatan masalah kesehatan jiwa tahun 2018 dibandingkan tahun 2013.

Merujuk pada Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada 2018, prevalensi orang gangguan jiwa berat (skizofrenia/psikosis) meningkat dari 0,15% menjadi 0,18%, sementara prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk usia 15 tahun keatas meningkat dari 6,1% pada tahun 2013 menjadi 9,8 persen pada 2018.

"Prevalensi depresi pada penduduk usia 15 tahun keatas sebesar 6,1 persen atau sekitar 12 juta penduduk usia 15 tahun keatas menderita depresi," kata dia.

Merujuk pada Sistem Registrasi Sampel (SRS), suatu survey yang bertujuan untuk mengetahui angka dan penyebab kematian secara nasional, pada 2016 terjadi 1.800 kematian karena bunuh diri.

"Atau terjadi 5 kematian karena bunuh diri setiap harinya," ujarnya dalam keterangan tertulis.

Dia menambahkan, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir perilaku bunuh diri karena depresi telah mencapai angka yang kritis. Secara global WHO menyebutkan lebih dari 800.000 orang meninggal setiap tahunnya atau sekitar 1 orang setiap 40 detik bunuh diri.

Jumlah ahli jiwa minim

Sayangnya, isu kesehatan jiwa masih kurang menjadi perhatian di Indonesia, meski terjadi tren peningkatan masalah tersebut.

Salah satu indikasinya adalah minimnya jumlah dokter ahli kejiwaan.

Di Gunung Kidul, Yogyakarta, misalnya, meski menjadi salah satu daerah dengan angka bunuh tinggi, jumlah dokter spesialis kejiwaan di kabupaten ini dinilai tidak mencukupi.

Sigit Wage Dhaksinarga dari Inti Mata Jiwa, IMAJI, organisasi yang bergerak di bidang kesehatan jiwa dan upaya pencegahan bunuh diri di Yogyakarta dan sekitarnya, mengungkapkan pada realitasnya, gangguan jiwa belum tertangani dengan baik.

Ini dibuktikan dengan belum semua puskesmas, di Gunung Kidul terutama, belum memiliki layanan konseling dan psikolog.

"Gunung Kidul dengan luasan dua per tiga DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) ini hanya memiliki satu dokter spesialis kejiwaan. Menurut kita sangat minim," ungkap Sigit Wage.

Padahal, lanjutnya, merujuk pada prevalensi yang dikeluarkan oleh WHO, 1% populasi memiliki gangguan jiwa. Artinya, dengan jumlah penduduk sekitar 700.000 orang, ada sekitar 7000 orang dengan gangguan jiwa di Gunung Kidul.

Sementara di Provinsi Yogyakarta, saat ini hanya ada tiga rumah sakit yang memiliki layanan psikiatri.

Saat ini, hanya ada 987 dokter ahli jiwa di Indonesia. Jika dibandingkan dengan penduduk Indonesia, ini sama saja satu dokter ahli kejiwaan harus menangani 250.000 penduduk.

Eka Viora dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) mengungkapkan dari jumlah itu, sekitar 60?rada di pulau Jawa, sementara sisanya di luar jawa.

Adapun di Jawa, sebanyak 28% dokter spesialis kejiwaaan terkonsentrasi di Jakarta.

"Dokter spesialis kedokteran jiwa tidak bisa menyelesaikan masalah terkait akses karena distribusi tidak merata," ujarnya.

Sementara di Indonesia yang secara geografis luas dan secara demografis sangat banyak, akses kadang kala menjadi masalah.


- BBC

"Ada tiga puluh persen daerah itu lokasinya di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan. Oleh karena itu enggak mungkin diakses oleh dokter spesialis," kata dia

Untuk mengatasi minimnya akses terhadap kesehatan jiwa, Kementerian Sosial membekali dokter umum untuk melakukan upaya preventif dasar masalah kejiwaan untuk tingkat akar rumput seperti di puskemas.

"Yang kita lakukan sekarang ini agar masyarakat bisa mendapatkan akses adalah bukan dengan menambah dokter spesialis, tapi memperkuat dokter di layanan primer, yaitu oleh dokter puskesmas," jelas Eka.

Di sisi lain, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sudah menjamin pengobatan dan terapi gangguan kesehatan mental secara gratis.


- BBC

Juru bicara BPJS Kesehatan, Muhammad Iqbal Anas Ma`ruf menjelaskan merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 52 Tahun 2016, "yang menyangkut kejiwaan hampir semuanya di- cover (dijamin) oleh program JKN."

"Pada tahun 2018, ada sekitar Rp1,25 triliun untuk membiayai program itu. Kita bisa lihat di rumah sakit jiwa hampir 100% itu pasti memegang kartu BPJS, artinya kontribusi negara dalam hal ini sudah sangat luar biasa," kata Iqbal.

Namun begitu, lanjutnya, yang sangat perlu dilakukan adalah membangun koordinasi dengan dinas sosial di daerah untuk mengubah stigma buruk masyarakat tentang gangguan jiwa.

"Kadang masyarakat masih malu ada keluarganya yang sakit jiwa dan justru dipasung," ujarnya.

Sebelum ada BPJS, Ismi Chalifati Lazuaria yang didiagnosa mengidap bipolar sejak dua dekade lalu mengaku kesulitan mendapat akses pengobatan untuk kondisi kejiwaannya.

Namun dia mengaku perlindungan jaminan dari BPJS membuatnya lebih mudah mendapat pengobatan dan konsultasi.

"Orang orang dengan ODGJ mereka bisa mendapat rujukan dari Puskesmas, mereka tinggal datang ke rumah sakit, dan mendapatkan pelayanan, mulai dari konsultasi dan mendapatkan obat sesuai yang dibutuhkan," jelas Ica.

Terkait dengan peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia tahun ini, WHO mengajak semua pihak untuk turut berkontribusi terhadap masalah kesehatan jiwa melalui tantangan bertajuk "40 Second of Action", di mana setiap orang bisa berperan dan berkontribusi mencegah terjadinya kasus bunuh diri.

Aksi-aksi itu bisa dilakukan di ranah privat, misalnya dengan mengajak berbicara teman yang menderita masalah kejiwaan.

Gerakan ini merujuk pada data organisasi kesehatan dunia (WHO) yang mencatat setidaknya 800.000 orang meninggal dunia karena bunuh diri setiap tahunnya. Ini sama saja dengan satu orang setiap 40 detik.