Jumlah Terpidana Mati Meningkat Pesat di Era Jokowi

- Agoes Rudianto /Anadolu Agency/Getty Images
Sumber :
  • bbc

Jumlah vonis hukuman mati telah meningkat pesat, terutama sejak perang melawan narkoba digencarkan. Padahal, menurut para pegiat HAM, argumentasi hukuman mati untuk memberikan efek jera tak lagi relevan. Di sisi lain, beberapa terpidana mati menghabiskan hari-harinya di lapas dengan layanan kesehatan yang minim dan kualitas makanan tidak layak.

Nasib Ruben Pata Sambo dan putranya, Markus Pata Sambo, terkatung-katung selama 12 tahun terakhir. Mereka menanti eksekusi hukuman mati yang belum dilakukan.

Vonis hukuman mati atas pembunuhan berencana yang dijatuhkan kepada mereka sempat menarik dunia internasional beberapa tahun lalu, karena proses hukumnya dianggap tidak sesuai prosedur.

Sempat dipindah ke beberapa lapas, kini keduanya menjalani hukuman di Lapas Lowokwaru di Malang, Jawa Timur, yang menurut putri bungsu Ruben, Yuliani Anni, pelayanan kesehatan di lapas `sangat minim`.

"Kebetulan kakak kemarin mengalami gangguan di mata, dan saya melihat memang di dalam pelayanan terkait kesehatan sangat minim dan ketersediaan dokter sangat minim banget . Jadi sulit untuk pemeriksaan juga," ujar Ani kepada BBC News Indonesia, Kamis (10/10).

Penyakit katarak yang dialami oleh mata Markus, mengharuskannya untuk menjalani operasi ringan. Untungnya, ada pihak yang bersedia membantunya melakukan pemeriksaan kesehatan di luar lapas, setelah melalui proses birokrasi dengan pihak lapas.

Ia juga menyebut kualitas makanan tidak layak. "Kita tahu kondisi lapas soal makanan itu dibilang layak juga nggak , ya sekadarnya," ujarnya lirih.

Ani yang kini tinggal di Jakarta, mengaku terakhir kali bertemu dengan kakak dan ayahnya setahun lalu, ketika sang kakak menjalani operasi di rumah sakit.

Dia mengaku berat harus melihat ayahnya yang terpaksa menghabiskan masa senjanya di penjara untuk sesuatu yang diklaim tidak dia lakukan.

"Secara pribadi 13 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menanti keadilan, apalagi di masa tuanya orang tua saya seharusnya menikmati hari tuanya di luar dan memang bapak saya masuk ke penjara yang bukan tempatnya," tutur Ani.

Ani mengatakan kesehatan sang ayah mulai menurun dan sempat sakit.

"Untuk kesehatan bapak di masa tuanya sendiri kemarin sempat sakit dan seadanya pengobatan di dalam."

Ruben, yang kini berusia 75 tahun, dan putranya Markus, divonis melakukan pembunuhan berencana terhadap Andrias Pandin dan tiga anggota keluarganya di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, pada 2006.

Masalah struktural di lapas

Kapasitas berlebih dan minimnya anggaran dianggap menjadi penyebab minimnya pelayanan kesehatan dan makanan yang tidak layak.

Bagaimanapun, Kasubdit Pembinaan Kepribadian Ditjen Pemasyarakatan pada Kementerian hukum dan HAM, Zainal Arifin, mengungkapkan Ditjen Pemasyarakatan telah berusaha sebaik mungkin untuk memenuhi gizi dan pelayanan kesehatan di lapas.

"Kita sudah berusaha untuk memenuhi standar supaya mereka tidak kekurangan gizi. Sampai sekarang kami masih berhutang untuk makanan, karena peningkatan luar biasa untuk warga binaan," ujar Zainal.

"Anggaran perawatan kesehatan juga sama, kita sangat kekurangan anggaran kesehatan," imbuhnya.

Data menunjukkan dalam enam tahun terakhir, populasi lapas meningkat lebih dari dua kali lipat. Jika pada 2013 jumlahnya hanya 160.064 orang, pada 2019 jumlahnya melonjak menjadi 261.294 orang.

Tingkat hunian tertinggi tercatat di Lapas Kerobokan di Bali, di mana empat terpidana mati sempat ditahan, yaitu 512 persen.

Sementara Lapas Lowokwaru dan Cilacap yang masih menampung terpidana mati, memiliki hunian masing-masing 196 persen.

Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, atau KontraS, Yati Andriani, menilai kapasitas berlebih dan anggaran yang minim menjadi masalah struktural yang mendera lembaga permasyarakatan.

"Secara struktural memang ada problem besar dalam isu lembaga pemasyarakatan kita. Isunya beragam, mulai soal overcapacity , anggaran yang minim dan kapasitas sumber daya manusia di lapas," jelas Yati.

Pengambil keputusan, lanjut Yati, semestinya mengambil sikap terkait overcapacity dan konsep pemidanaan di Indonesia. Salah satu cara yang bisa ditempuh, adalah "tidak perlu lagi praktik hukuman mati karena dampaknya panjang juga.

"Nanti lapas yang akan menanggung itu sementara pemerintah tidak mau tahu apa yang terjadi di lapas," jelas Yati.

Efek jera sudah tidak relevan

Zainal menjelaskan, saat ini ada 274 terpidana mati yang tersebar di seluruh Indonesia. Paling banyak berada di Jawa Tengah dengan jumlah 99 terpidana mati.

Sementara dari seluruh terpidana mati, 90 di antara mereka merupakan terpidana mati kasus narkoba, 68 terpidana kasus pembunuhan, delapan terpidana kasus perampokan, satu kasus terorisme, satu kasus pencurian, satu kasus asusila dan sisanya adalah terpidana mati pidana lainnya.

Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta, Andika Prasetya, mengatakan, khusus di wilayah ibu kota, ada 26 terpidana mati, 92 persen-nya merupakan terpidana kasus narkotika.

"Dari 26 terpidana mati, dua kasus pembunuhan, sisanya 24 terpidana kasus narkotika," kata Andika.

Selama 10 tahun terakhir, jumlah terpidana hukuman mati telah meningkat pesat, terutama sejak "perang melawan narkotika" yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo, yang ia katakan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan tersebut.

Pada 2018, 81 persen hukuman mati dijatuhkan untuk kejahatan terkait narkotika, kejahatan lainnya adalah pembunuhan berencana (17 persen) dan terorisme (2 persen)

Namun, argumentasi efek jera hukuman mati bagi kejahatan narkotika, dianggap tidak lagi relevan oleh Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, atau KontraS, Yati Andriani.

"Argumentasi efek jera itu sudah tidak relevan, itu sudah tidak kontekstual dan sebagai negara demokratis yang sudah 20 tahun reformasi seharusnya semangat kita adalah pembinaan pemasyarakat dan bagaimana memberi ruang bagi mereka yang bermasalah untuk menjadi lebih baik. Itu kan semangat pemidanaan yang sebetulnya," kata Yati.

Namun kini yang terjadi, lanjutnya, setelah reformasi pada 1999 hingga kini, jumlah hukuman mati malah lebih tinggi ketimbang pada masa pemerintahan otokratis, pada 1945 hingga 1999. Salah satu alasan fenomena ini adalah hukuman tak pandang bulu bagi pelaku kejahatan narkotika.

Lebih dari 140 orang telah didakwa dengan perdagangan narkotika dan dijatuhi vonis hukuman mati sejak 2014. Sebagian besar terpidana mati karena kasus narkotika adalah warga negara asing.

Data yang diberikan oleh Ditjen PAS pada Juli 2019 mencatat 70 orang dari 268 orang dijatuhi hukuman mati adalah warga negara asing.

Jalan menuju penghapusan hukuman mati sempat tergambar dalam Rancangan revisi KUHP yang mengatur pidana mati diancamkan secara alternatif.

Artinya, hakim dapat menjatuhkan vonis hukuman mati dengan masa percobaan selama sepuluh tahun. Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, hukuman mati dapat diubah menjadi penjara seumur hidup.

Namun pegiat HAM merasa hal itu belum cukup, sebab, sejatinya, hukuman mati harus dihapuskan karena bertentangan dengan konstitusi dan hak hidup.