Dicap PKI, Keluarga Penyintas 65 Didiskriminasi dan Dihina Anak Kafir

- BBC News Indonesia
Sumber :
  • bbc

Usianya menjelang 17 tahun, ketika dia mengetahui ayah-ibunya adalah eks tahanan politik 1965 - rahasia yang disembunyikan rapat-rapat oleh ke dua orang tuanya selama belasan tahun.

"Saya syok, saya marah. Kenapa saya? Kenapa harus keluarga saya?" cetus Pipit Ambarmirah, perempuan kelahiran 1981.

Lebih dari 25 tahun kemudian, ketika saya menemuinya di rumahnya di pinggiran Yogyakarta, awal Oktober lalu, ingatan itu masih tergambar jelas dalam benaknya. Tidak lama setelah rahasia masa lalu orang tuanya terbongkar, hidupnya seperti berubah.

"Tiba-tiba saya merasa menjadi orang yang berbeda," ujarnya.

Nyaris setiap tahun dicekoki film propaganda G30S/PKI versi pemerintah Orde Baru, Pipit yang beranjak dewasa mendapat gambaran menyeramkan tentang Partai Komunis Indonesia (PKI), utamanya terkait pembunuhan sejumlah perwira tinggi TNI di Lubang Buaya, Jakarta.

Konsekuensinya, "saya pun ikut membenci PKI."

Dalam atmosfer seperti itulah, Pipit dihadapkan kenyataan pahit bahwa ayah dan ibunya pernah dibuang ke Pulau Buru dan ibunya ditahan di kamp Plantungan di Kendal, Jawa Tengah, karena dicap sebagai anggota PKI - tanpa pernah diadili.

Di benaknya saat itu, kedua orangtuanya - Leo Mulyono dan Deborah Oni Ponirah - mirip momok menakutkan, seperti yang digambarkan dalam film G30S/PKI.

"Saya syok, saya kemudian menarik diri, saya merasa rendah diri."

`Saya ditangkap karena menari Genjer-Genjer`

Deborah Oni Ponirah, kelahiran 1948, biasa disapa Ibu Oni, adalah ibu kandung Pipit. Saat berusia sekitar 17 tahun, Oni adalah tipikal remaja yang aktif berorganisasi, utamanya di bidang tarik suara dan menari.

Ketika suasana politik memanas, dan isu ancaman kudeta oleh apa yang disebut sebagai Dewan Jenderal berhembus kencang di Yogyakarta pada pertengahan 1965, Oni, yang saat itu baru saja lulus SMP, tertarik ikut-ikutan di organisasi Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) - onderbouw PKI.

Yogyakarta dan sekitarnya, seperti tercatat dalam sejarah, dikenal sebagai wilayah yang secara politik dikuasai PKI.

Dalam lautan perang urat syarat antara kelompok kiri dan kanan, Oni seperti terhanyut di dalamnya. Kala itu, dia ikut dalam berbagai kegiatan kesenian, yang di antaranya difasilitasi PKI.

"Saat itu bulan Agustus (1965), saya mulai latihan tari Genjer-Genjer untuk pentas di alun-alun (yogyakarta)," ungkapnya kepada BBC News Indonesia, awal Oktober lalu, di kediamannya.

Lagu Genjer-Genjer, yang kerap dinyanyikan bersama tarian, populer pada 1950-an dan 1960-an. Tapi setelah peristiwa yang disebut G30S, lagu ini dianggap identik dengan PKI dan sempat dilarang diputar pada masa Orde Baru.

Lagu berbahasa Using, yang diciptakan Muhamad Arif, seniman Banyuwangi pada 1940-an, dianggap sebagai lagu milik Partai Komunis Indonesia (PKI), setelah peristiwa G30S.

Propaganda Orde Baru menyebut Genjer-Genjer adalah lagu PKI dan "lagu pembunuhan" enam jenderal di Lubang Buaya, Jakarta, seperti digambarkan dalam film Pengkhianatan G30S/PKI.

Belakangan terungkap, , untuk menggambarkan penderitaan dan kemiskinan rakyat.

Tentu saja, Oni tak berpikir sampai ke sana. Dia semata-mata melakoninya karena menyukai dunia seni. Dan lebih dari 50 tahun kemudian, Oni mencoba mengingat-ingat lagi kejadian itu, dia tetap tak tahu-menahu tentang motivasi di balik pementasan itu.

"Saya tidak tahu untuk apa (tarian), mungkin saya bodoh... Pokoknya kalau ada yang ngajak soal kesenian, saya ikut," ungkapnya, mengenang.

Dengan rambut yang masih dikuncir dua ke belakang, saat itu, dia pun tak memahami apa yang terjadi pada dini hari dan subuh pada 1 Oktober 1965 di Jakarta - pembunuhan tujuh jenderal TNI-AD.

Yang selalu dia ingat, "ada penangkapan" terhadap teman-teman di sekolah dan di kampungnya di Yogyakarta, kira-kira sebulan setelah G30S.

"Guru saya juga diambil dan dibawa ke Wirogunan," katanya. `Diambil` di sini berarti ditangkap dan kelak sebagian besar mereka yang dituduh komunis itu ditahan tanpa diadili dan tanpa ada kejelasan kapan akan dibebaskan - juga ada yang dibunuh.

Dan petaka itu akhirnya menimpa dirinya ketika langit Yogyakarta berubah gelap. Jarum jam saat itu menunjuk pukul sembilan malam, 25 November 1965.

Pintu rumah orang tuanya di Kampung Suryo, Yogyakarta, diketuk seseorang. Sebelumnya, pagi harinya, orang tuanya telah memberitahunya bahwa pimpinan rukun tetangga dan seorang anggota CPM (polisi militer) mencarinya.

"Mereka membawa saya pakai (mobil) jeep," ungkapnya, dalam kalimat yang datar. "Saya sendirian."

Oni meminta izin untuk membawa jaket, tetapi ditolak, karena menurut penjemputnya, "Enggak usah bawa apa-apa, soalnya hanya diperiksa, lalu pulang."

Ucapan ini ternyata omong kosong belaka. Oni, yang saat itu masih berusia 17 tahun, harus kehilangan masa remajanya, karena sejak malam itu hingga 14 tahun kemudian dia harus mendekam di berbagai rumah tahanan, di antaranya di kamp Plantungan di Kendal, Jateng, hingga dibebaskan pada 1979.

Tapi peristiwa horor yang sulit dilupakannya adalah saat dirinya diinterogasi di salah-satu lantai di Gedung Jefferson di Jalan Diponegoro, Yogyakarta.

Pada hari kedua liputan, BBC News Indonesia mengajak Oni dan suaminya, Leo Mulyono (eks tapol yang dihukum sekitar 10 tahun, tanpa diadili, di Pulau Buru), ke teras depan gedung bekas perpustakaan milik pemerintah AS, yang terlihat tidak terawat itu.

Pasangan suami istri yang menikah pada 1980 itu tidak keberatan diajak ke gedung yang menjadi lokasi interogasi orang-orang yang dituduh anggota PKI pada pasca Oktober 1965.

Diinterogasi tiga orang ("dua diantaranya bawa tongkat," katanya), Oni dicecar pertanyaan "apakah dirinya tahu Lubang Buaya?" dan "apakah dia anggota Gerwani?".

Disinggung pula kehadirannya dalam tarian massal Genjer-genjer - yang terakhir ini, dia tidak membantahnya.

Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), didirikan 1950, disebutkan memiliki hubungan yang kuat dengan PKI, tetapi di sisi lain organisasi itu dianggap pula sebagai organisasi independen. Setelah 30 September 1965, Gerwani dilarang oleh rezim Orba.

Setelah berakhirnya rezim Orba, bermunculan narasi baru tentang Gerwani yang dalam perjalanannya dianggap menaruh perhatian pada masalah-masalah sosialisme dan feminisme, termasuk reformasi hukum perkawinan.

Kembali lagi ke Oni. Dihajar berulang kali dengan tongkat kayu hingga berdarah di salah-satu telinganya, Oni tetap menolak paksaan untuk mengaku sebagai anggota Gerwani.

"Saya memang bukan Gerwani, dan belum pernah dicap apa-apa," dia mengulang lagi jawabannya saat itu.

Nyaris ditelanjangi, Oni termasuk beruntung, setelah muncul seseorang pria tua - yang diingatnya sebagai "bapak jaksa" - di ruangan interogasi dan segera menyelamatkannya. "Jangan, dia masih kecil, dia tidak tahu apa-apa."

Oni tak melupakan kalimat ini. Dia akhirnya `selamat`. Belakangan, setelah dibebaskan 14 tahun kemudian, Oni berusaha menemui sang jaksa tersebut, tapi tidak pernah kesampaian. "Saya mau mengucapkan terima kasih."

Mengapa Oni dan Leo merahasiakan status eks tapol 65?

Ayah Pipit, Leo Mulyono, kelahiran 1945 di Blora, Jateng, merahasiakan petaka yang dialaminya di hadapan anak-anaknya. Alasannya, dia khawatir anak-anaknya terimbas "dosa PKI" yang ditimpakan rezim Orde Baru kepadanya.

"Saya tidak cerita, karena takut situasinya saat itu. Dulu ada kebijakan `Bersih Lingkungan`," kata Leo, yang pernah menjadi anggota CGMI, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi mahasiswa yang terkait PKI, pada pertengahan 1960-an.

Ayah Leo, Siryatman, adalah pimpinan PKI di tingkat kampung di Blora, Jateng. "Bapak saya hilang setelah Oktober 65 dan tidak pernah diketahui kuburannya," katanya, lirih.

Leo sendiri menjadi anggota CGMI saat awal kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia, ASRI Yogyakarta, pada pertengahan 1965. Dia juga kenal dekat dengan para seniman yang tergabung dalam Sanggar Bumi Tarung dan Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra di kota itu.

Dalam huru-hara di Yogyakarta setelah 30 Oktober 1965, saat usianya beranjak 20 tahun, dia sempat ditahan di berbagai rumah tahanan, termasuk di Ambarawa, sebelum dibuang ke Pulau Buru, Maluku, lebih dari 10 tahun.

"Di Pulau Buru, nama saya tidak dipakai, tapi pakai nomor 3041," akunya. Dia ditempatkan di barak dua.

Dia lantas teringat, anak sulungnya, Pipit, pernah bertanya seputar G30S ketika masih di bangku SMP. Leo menahan diri dan meminta anaknya "mengikuti sejarah yang diajarkan di sekolah."

Oni, sang ibu, lebih menjelaskan lebih detil bahwa saat itu Pipit bertanya `Pak, PKI itu jahat banget ya?`. "Tapi bapak tidak mau bercerita sebelum Pipit nantinya tahu sendiri."

`Bertemu sesama anak penyintas, saya menjadi kuat`

Belakangan, ketika menjadi mahasiswa di Fakultas Pertanian, UGM, Pipit akhirnya mengetahui bahwa ayah-ibunya adalah eks Tapol 65, melalui kesaksian teman-teman orang tuanya. Tapi awalnya dia tidak berani bertanya langsung kepada orang tuanya.

Setelah rezim Orba runtuh dan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi presiden, Pipit lebih leluasa bertanya kepada ayah dan ibunya tentang `masa lalunya` itu. Sikap penolakannya pun berangsur-angsur menghilang.

Interaksi ayahnya dengan para aktivis mahasiswa yang menaruh perhatian terhadap penyintas `65, juga perlahan-lahan membentuk cara berpikir baru pada diri Pipit dalam melihat kejadian itu.

"Jadi saya tidak bertanya lagi, karena bapak mengisahkannya kepada mahasiswa," ujarnya

Semula tidak mau-tahu terhadap nasib penyintas `65, Pipit kemudian memilih melibatkan diri dalam isu tersebut, setelah bertukar pikiran dan mendengarkan langsung pengalaman sesama anak penyintas.

"Saya bertemu sesama anak korban (penyintas) `65, kami seperti senasib," kata Pipit kepada BBC News Indonesia. "Di situ saya malah menjadi dikuatkan. Saya tidak sendirian menjadi anak korban."

Belakangan, melalui aktivitasnya di Fopperham (Forum Pendidikan dan Perjuangan Hak Asasi Manusia), yang bergerak pada isu HAM dan penanganan korban konflik 1965, Pipit berkenalan dengan Supriyadi, yang juga anak penyintas `65, lalu menikah.

`Saya dipanggil anak kafir, anak PKI`

Setelah dibebaskan dari Pulau Buru pada akhir 1979, ayah Pipit, Leo Mulyono, merasa "asing" saat kembali ke kampungnya di Yogyakarta.

Dia teringat momen ketika digelar pemotretan untuk pembuatan kartu tanda penduduk (KTP), dia diminta pindah ke tempat khusus lantaran latar belakang eks tahanan politik.

"Ini mas Leo bekas tapol," katanya menirukan ucapan salah-seorang pengurus RT setempat. Ucapan itu didengar banyak orang, sehingga mereka menjadi tahu `masa lalunya`.

"Semua orang kampung jadi tahu semua," katanya agak masygul.

Oni Ponirah, ibunda Pipit, setelah bebas, juga merasa "banyak orang-orang di kampungnya yang menjauhinya".

"Banyak teman-teman, tetangga, tidak akrab lagi seperti dulu," ungkapnya. Tentu saja, dia marah atas situasi seperti itu.

Burhan `Kampak`, Ketua Front Anti Komunis Indonesia, FAKI, di Yogyakarta: `Kalau mau dibina, masa lalu kita anggap selesai`

Burhan `Kampak`, kini berusia 79 tahun, masih bersemangat ketika menyinggung apa yang disebutnya sebagai peristiwa "membunuh atau dibunuh" di Yogyakarta pasca Oktober 1965.

Memimpin Front Anti Komunis Indonesia, FAKI, di Yogyakarta, sosoknya menjadi sorotan, setelah majalah Tempo edisi awal Oktober 2012 menulis tentang "Pengakuan algojo 1965".

Burhan disebut sebagai salah-seorang algojo, tukang jagal orang-orang PKI di Yogyakarta dan sekitarnya.

Dalam wawancara khusus dengan BBC, Minggu (06/10) lalu di kediamannya, Burhanuddin ZR, mengutarakan dirinya siap "bersaudara setanah air" dengan eks Tapol 1965, jika mereka tidak lagi menyebarkan komunisme.

"Kalau dia masih mau dibina (menerima Pancasila, NKRI), mereka menjadi saudara setanah air. Masa lalu sudah selesai," kata Burhan.

Berikut petikan wawancaranya:

Sebagian besar penyintas kasus 65, anak keturunannya masih mendapatkan stigma dan diskriminasi, bahkan dosa turunan?

Kalau dia masih mau dibina, menjadi saudara setanah air , masa lalu ya sudah selesai. Tapi kalau tidak bisa dibina, tetap mengadak a n perlawanan, saya binasakan. Titik, tidak ada komanya.

Tidak sedikit orang-orang yang tidak bersalah, tidak tahu-menahu tentang G30S, dibunuh atau ditahan, pada pasca Oktober1965, termasuk di Yogyakarta?

Pembunuhan kita lakukan karena dalam keadaan perang, karena mereka (PKI) mau merebut kekuasaan.

Tapi ada pengadilan (terhadap pimpinan teras PKI) , tapi tidak semuanya, karena anggotanya sekian juta orang. Berapa tahun akan selesai? Yang diadili tokoh-tokohnya, yang lainnya ` ya sudah ` .

Para penyintas 65 meminta pemerintah menyelesaikan kasus kekerasan pasca 1965. Para pegiat HAM juga meminta mengakui dan menyesalkan?

Soal minta maaf, itu tidak benar. Kita yang benar kok diminta minta maaf pada yang salah. Harusnya mereka yang mengakui kesalahannya.

Barulah kalau minta maaf, kita maafkan. Sudah selesai. Tapi dia tidak minta maaf, selalu mengatakan yang benar.

Anda seringkali mengatakan ada indikasi kebangkitan PKI. Apa buktinya?

Mereka bersuara, anak-anak atau keturunannya tokoh PKI ngomong, padahal tidak tahu persoalan (kasus 65) . Kalau dia sudah dewasa saat peristiwa itu terjadi, baru tahu kenyataannya. Sekarang ada upaya untuk membelokkan sejarah. Ini yang harus diwaspadai.

Itu keinginan mereka. Mereka mau mencuci diri. Keluarganya yang ditahan dan sebagainya sebagai orang yang tidak bersalah, lalu dia menganggap sebagai korban. Jadi dia berusaha memutarbalikkan sejarah. Kami tidak mau kenyataan sejarah itu diputarbalikkan.

Anak keturunannya tidak kami anggap bersalah, kalau dia sudah berhenti tidak melakukan kegiatan untuk menyebabrkan informasi yang salah perihal peristiwa G30S PKI.

Mereka menyuarakan perspektif sejarah yang selama ini tidak diberi tempat dalam sejarah...

Kalau benar, kita dukung. Kalau tidak benar, akan kita hadapi. Apa yang mereka hadapi, akan kita bubarkan. Pemutaran film Senyap, film Buruh, itu tidak benar.

Komunis itu keyakinan, ideologi, dan dia memutarbalikkan peristiwa G 30S yang tidak senyatanya, dan membenarkan tindakan PKI saat itu.

Rekonsiliasi antara penyintas dan orang-orang yang disebut sebagai pelaku, sudah pernah digelar. Apa komentarAnda?

Bagus kalau rekonsiliasi yang murni, jujur, itu baik. Tapi di balik itu jangan ada satu kegiatan yang merugikan kami yang dulu melawan k omunis.

Rekonsiliasi sudah terjadi secara alamiah sekitar 80-an, semua tahanan Komunis oleh Kopkamtib dilepaskan, dikembalikan ke masyarakat.

Kami menerima welcome, silakan (balik ke masyarakat ), asal tidak melakukan kegiatan untuk mengembangkan komunis.

Semua proses rekonsiliasi berjalan alamiah. Kalau tidak kenapa ET dihilangkan. Tapi kenapa mereka tidak boleh masuk TNI? Kenyataannya masih ada keturunan PKI diam-diam menyebarluaskan kebencian terhadap negara.

Tapi bukankah Anda tahu mereka ditahan, dibuang, dan dibunuh tanpa diadili?

Bagus kalau memang tak bersalah, tapi saya yakin kalau tidak bersalah tanpa alasan, pemerintah tidak melakukan penyekapan. Saya yakin, itu cerita mereka untuk menyucikan diri.

Ada penyintas berumur 17 tahun, dan dituduh terlibat G30S dan ditahan lebih dari 14 tahun. Bukankah ini tidak manusiawi?

Tidak bersalah kan menurut penilaian dia. Saya tidak percaya kalau dia tidak bersalah. Lalu dia ditahan dan dipenjara.

Mesti melalui interogasi dan yang melakukan interogasi ini tidak sembarangan orang untuk bisa menilai bahwa orang ini telah melakukan kegiatan anti NKRI lewat pemberontakan G30SPKI.

Kalau PKI berontak, maka semua anggotanya akan mendukung. Entah umur 17 tahun atau umurnya 20 tahun.

Tidak mungkin kalau dia tidak mengetahui apapun. Dia anggota partai. Ada yang bukan anggota PKI tapi anggota IPPI, Ikatan pemuda pelajar Indonesia yang underbouw PKI.

Apakah Anda sudah siap melakukan rekonsiliasi dengan eks tapol 1965?

Saya beritahu ya, ada keluarga di sini, dulu komunis, keluaran P ulau Buru. Cucunya ikut saya. Saya pelihara sampai SMP.

Ibunya dosen guru besar Fakultas Farmasi UGM, ayahnya seorang dokter, dia ikut saya . Bayangkan dia cucu orang komunis.

Saya dengan eyang-eyangnya (kakek-neneknya) sudah berhubungan baik, karena mereka sudah tidak ikut-ikutan.

Saya bersahabat. Tiap tahun anak-anaknya datang ke sini untuk silaturrahmi. Saya bisa menerima, asal tidak melanjutkan dan saya melihat dia tidak lagi melanjutkan. Itu saya anggap cucu saya.

Oni lantas teringat salah-seorang tetangganya yang disebutnya ikut berperan "melaporkan" kepada aparat militer sehingga ditahan belasan tahun tanpa diadili. "Rasanya saya marah."

Walaupun awalnya marah, dan berusaha menanyakan ulang tentang dugaan itu, toh keinginan Oni tidak pernah kesampaian, sehingga tetangganya itu meninggal dunia. Lalu dia sekeluarga juga pindah ke tempat yang baru. "Saya kemudian tidak berurusan lagi."

Cap ET (eks tapol) pada KTPnya dan suaminya juga membuat dapur rumahnya sulit mengepul. Rencana suaminya bekerja ke luar negeri akhirnya menjadi berantakan lantaran inisial ET.

"Bapak (Leo) akhirnya kerja serabutan, padahal tambah anak dan tambah kebutuhan," ungkapnya, getir.

Oni juga sulit melupakan apa yang dialami anak sulungnya, Pipit, yang seringkali dicemooh `anak kafir, anak PKI` ketika di bangku SMP. Suatu saat, Pipit mengeluhkan hinaan seperti itu kepada bapaknya.

Rumekso Setyadi, peneliti di Syarikat Indonesia: `Kepahlawan Orba dibangun dari heroisme melawan komunis`

Sejumlah aktivis muda NU menindaklanjuti dan mengembangkan nilai-nilai rekonsiliasi yang dikenalkan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur terkait kasus kekerasan 1965 pada awal 2000an.

D imotori Imam Aziz dan rekan-rekannya di Yogyakarta , anak-anak muda NU membentuk organisasi bernama Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat - disingkat menjadi Syarikat .

Dalam perjalanannya, mereka melakukan penelitian, pendampingan terhadap penyintas, dan berusaha menjembataninya dengan orang-orang NU - yang sebagian disebut sebagai pelaku, tetapi juga sekaligus korban.

"Ini yang masih kita terus rawat, walaupun tahun demi tahun para korban , k alau dulu kita mengenal 10 orang, sekarang tinggal satu atau dua orang ," kata Rumekso Setyadi, salah-seorang peneliti di Syarikat pada awal 2000 .

Berikut petikan wawancaranya dengan BBC News Indonesia dengan Rumekso Setyadi:

Syarikat Indonesia adalah salah-satu lembaga yang mengawali membangun rekonsiliasi dengan penyintas 65. Apa hal terbaru yang dilakukan Anda dkk?

Ini yang masih kita terus rawat, walaupun tahun demi tahun para korban, kalau dulu kita mengenal 10 orang, sekarang tinggal satu atau dua orang.

Secara struktural negara belum mampu menyelesaikan itu semua, walaupun pada 2015, sudah ada upaya yang sangat baik, ketika Menkopolhukam Luhut Panjaitan menginisiasi Simposium Tragedi 1965.

Itu mirip dengan ending besar Syarikat yang kita bayangkan, yaitu kita mempertemukan semua orang yang terlibat pada waktu itu, bercerita tentang narasi sejarah menurut versinya masing-masing, dan ini dibuka ke publik.

Dan kalau bisa menjadi dokumen sejarah negara , maka sejarah yang dibuat oleh pemerintah adalah sejarah dari sejarah masing-masing versi, tidak hanya satu versi.

Apa yang terjadi apabila kasus 65 tidak diselesaikan dan dibiarkan?

Ini luar biasa dari para korban 1965. Mereka selalu menjaga harapan. Kalaupun tidak diselesaikan pada saat sekarang, mereka masih punya harapan mungkin diselesaikan pada generasi berikutnya.

Hal ini bisa terjadi k arena jarak keterlibatan dengan peristiwa, terutama aktor-aktor dalam peristiwa itu, masih sangat dekat.

Dan para penyintas selalu menjaga harapan itu tetap ada, walaupun sebenarnya para penyintas itu harusnya menuntut. Harapan itu ada pada kita atau generasi yang merasa ada yang salah dengan bangsa ini.

Tuntutan para korban itu harus ketemu dengan harapan dari semua elemen yang ada di Indonesia. Tidak hanya di generasi NU yang itu pun tidak mainstream, alias yang alternatif.

Ini harus menjadi harapan oleh semua orang Indonesia. Baru ini bisa diselesaikan. Tanpa itu diselesaikan, dan harapan itu tidak pernah menjadi harapan semua orang Indonesia, ya, nonsense . Saya kira ini akan menjadi diskursus saja di tiap periode.

Jika penyelesaian struktural masih sulit dilakukan saat ini, apa langkah pemerintah yang masih bisa dimungkinkan?

Menurut saya, melakukan klarifikasi sejarah, bahwa sejarah yang ditulis oleh Orde Baru itu hanya memunculkan sejarah heroisme membasmi atau melawan komunis. Kepahlawan Orde Baru dibangun dari bangunan heroisme melawan komunis.

Sehingga, tidak ada narasi di luar kepahlawanan. Tidak ada narasi siapa korbannya.

Nah, yang kita butuhkan, adalah narasi dari mereka yang dianggap salah dan kalah ini dalam sejarah kita. Apakah tidak boleh suara atau sejarah mereka ada dalam sejarah nasional kita? Seharusnya sejarah kita merangkum dari semua aspek dan individu yang ada.

Sejarah nasional kita dibangun dengan monolitik. Hanya satu suara yaitu yang menang.

Sekarang minimal setelah pasca Orde Baru yang terjadi tidak harus dengan kontra narasi, bahwa narasi Orba harus dibalik dari yang dulu menjadi pahlawan, kemudian dibalik menjadi pecundang atau pesakitan.

Tetapi struktur narasi dan mental sejarah Orba, masih hidup. Yang seharusnya , pasca Orba, apa yang menjadi kejahatan Orba itu sama diperlakukan apa yang dulu terjadi di tahun 65 yan g oleh Orba disebut sebagai kejahatan PKI. Yang ditandai tidak ada yang berubah dari narasi sejarah Orde Baru.

Tapi revisi kurikulum oleh tim yang dibentuk oleh otoritas kependidikan kita, yaitu pusat kurikulum, justru dipermasalahkan, karena dianggap sebagai narasi yang mengaburkan sejarah.

Artinya tidak ada yang berubah. Struktur Orba masih ada. Struktur sebagai pahlawan dari 65. Padahal Orba setelah Reformasi dianggap sebagai orde yang salah atau orde yang gagal.

Masih adanya penolakan terbuka dan kadang dibumbui aksi kekerasan terhadap narasi sejarah alternatif terkait kasus 65, apa artinya ini?

Kalau yang kita ajak bicara adalah orang yang mendapatkan keuntungan pasca 65, saya kira mereka menjadi anti rekonsiliasi.

Mereka masih menguasai diskursus tentang sejarah nasional kita bahwa heroisme itu mesti dibangun.

Heroisme itu menganggap bahwa kepahlawanan untuk membasmi atau menumpas 65 itu adalah suatu kewajiban yang itu harus dipertahankan, yang itu juga tidak boleh didegradasi, kalau bisa malah dirayakan.

Semakin dirayakan akan semakin bagus. Makanya makin dirayakan dengan memutar film-film dengan narasi waktu itu, itu akan memperkuatnya. Makanya indikatornya, ketika narasi sejarah Orba lahir kembali, artinya Orde Reformasi ini sebenarnya pengulangan lagi.

Walaupun sudah ada diskursus narasi sejarah alternatif yang lain, tetapi itu pun tidak kemudian membesar, untuk menggeser narasi negara. Karena narasi negara punya aparatus, punya sistem pendidikan, punya pendidikan negara yang selalu bisa diulang.

Dan punya simbol-simbol untuk kepahlawanan, membangun narasi dengan upacara bendera di mana heroisme dibangun di sana. Saya kira kalau itu bersangkutan dengan 65 dan kemudian heroisme itu masih diawetkan dengan cara apapun, itu menjadi indikator bahwa Orba itu tidak hilang. Tapi masih berkembang di masyarakat.

"Kalau sudah besar, kamu akan mengerti. Makanya, sekarang sekolah yang pintar, agar nanti mengerti semuanya," ungkapnya menirukan kalimat Pak Leo.

Pipit pun mengisahkan pengalamannya. Setelah orang tuanya dibebaskan dari tahanan, mereka dikenai wajib lapor dan mengikuti program Santiaji Pancasila selama beberapa tahun.

Santiaji Pancasila adalah salah satu program indoktrinasi bagi para tapol tahun 1965 karena dianggap memiliki paham yang menyimpang. Ayah dan ibunya harus datang ke kantor kecamatan untuk mengikuti program itu.

"Waktu itu ibu saya enggak bisa berangkat, karena dia melahirkan adik saya yang bungsu," ungkapnya. Rupanya, ketidakhadiran ibunya melahirkan kemarahan pejabat terkait setempat.

Dengan terpaksa, ibunya kemudian berangkat melapor ke kantor militer setempat,sambil menggendong adiknya yang baru dilahirkan.

Situasinya relatif berubah ketika Gus Dur menjadi presiden, yang disebut Pipit "melegakan para penyintas" antara lain karena kebijakannya mencabut tanda ET di setiap KTP eks tapol 65.

Namun demikian dalam perjalanannya, Pipit menerima laporan bahwa KTP para penyintas 65 masih "ditandai" untuk membedakan dengan KTP lainnya. "Jadi sebenarnya tetap dibedakan," katanya.

Dalam interaksinya dengan lembaga pendamping penyintas `65, Syarikat Indonesia, Pipit mendapatkan informasi adanya buku bersampul kuning yang berisi data para penyintas di sebuah kecamatan di wilayah Yogyakarta.

"Saya sempat syok," katanya. Dari data dari dalam buku itulah, otoritas kecamatan melarang para penyintas untuk pindah ke tempat.

"Di buku itu, dari informasi yang saya peroleh, bukan hanya mencatat nama penyintas, tapi juga menikah dengan siapa, anaknya berapa, dan anaknya sekolah di mana," tambahnya.

"Berarti nama saya juga tercatat di buku itu," ujar Pipit. "Jadi apa yang berubah? Tidak ada yang berubah bagi kami."

Kiprah perempuan penyintas: `Itu healing buat saya`

Dihadapkan situasi seperti itu, Pipit memilih untuk terus melangkah. Kira-kira 13 tahun silam, setelah sempat bergabung dengan organisasi Syarikat Indonesia, Pipit mendampingi para ibu penyintas di Yogyakarta yang berusaha mengorganisasi diri.

Momentumnya setelah Syarikat Indonesia menggelar acara mempertemukan para penyintas 65 se-Jawa dan Bali di Yogyakarta.

"Dalam pertemuan itu para penyintas menyadari, mereka sangat berbahagia saat saling bertemu, mereka seperti senasib sependeritaan," katanya. Di sinilah cikal bakal terbentuknya Kiprah Perempuan (kiper) yang dipimpinnya langsung.

Sejak awal dia melibatkan ibunya dalam setiap pertemuan Kiper. Semula ibunya lebih banyak diam, namun lama-kelamaan akhirnya bisa membuka diri.

"Dia mau terbuka, kemudian perlahan-lahan mau menceritakan apa yang dialaminya, apa yang dirasakan, kesakitan, kebahagiaan, kesenangan," tuturnya.

Ibu Oni pun mengaku dirinya banyak memperoleh manfaat melalui interaksinya dengan sesama penyintas, termasuk menyalurkan kesenangannya untuk menyanyi.

"Saya suka nyanyi. Kalau saya susah, saya nyanyi, nanti terhibur sendiri," katanya. Dia juga merasa lebih gampang untuk menyuarakan apa yang dia rasakan.

Tapi, anda sebagai anak dari penyintas 65, apa yang Anda peroleh dari aktivitas di Kiper? Kali ini pertanyaan saya ajukan kepada Pipit. "Itu healing (menyembuhkan) buat saya."

"Karena saya kemudian belajar banyak hal dari ibu-ibu yang luar biasa ini," tambahnya.

"Di situ saya belajar tentang kekuatan mereka untuk bertahan hidup."

"Saya juga banyak belajar bagaimana mereka bisa tanpa putus asa dengan segala hal yang mereka alami, padahal tekanan mereka sangat luar biasa," katanya lagi.

Interaksinya dengan para ibu penyintas ini ("mereka seperti ibu saya sendiri," katanya), makin menguatkan cara pandangnya dalam melihat kasus 65 dengan menitikberatkan pada kepentingan korban.

"Saya seharusnya melakukan ini sejak dahulu," imbuh Pipit.

`Kembalikan kami seperti warga negara pada umumnya`

Di ujung wawancara dengan Pipit, ibunya, serta ayahnya, saya menanyakan apakah mereka masih berharap kepada pemerintah untuk menyelesaikan persoalan dugaan pelanggaran HAM berat pada pasca Oktober 1965.

Seperti diketahui, sampai sejauh ini permasalahan ini seperti terkatung-katung, walaupun sudah menjadi salah-satu agenda penting Reformasi 1998.

Penyelesaian di luar jalur hukum, melalui pembentukan Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR), yang pernah disiapkan oleh pemerintah, menjadi tidak jelas setelah Mahkamah Konstitusi membatalkannya sekian tahun silam.

Belum lagi adanya penolakan dari kelompok-kelompok Islam, dan sebagian unsur dalam TNI, yang membuat Simposium Nasional Tragedi 65 menjadi kehilangan momentum.

"Kami tidak tuntut apa-apa, hanya kepingin kami dianggap seperti orang lain. Disamakan," kata ibu Oni, yang sudah memasuki usia 72 tahun, dengan nada lirih.

"Kembalikan kami seperti warga negara pada umumnya. Hilangkan cap-cap yang membuat kami seperti terhimpit. Wong kami sanggup jadi warga negara yang baik," tambahnya.

Berkali-kali Oni menekankan bahwa dia tidak ingin dikasihani, dengan pemberian bantuan, misalnya. "Kalau mau makan, ya, harus bekerja. Saya enggak pengin dikasihani."

Tentang ketakutan sebagian masyarakat terhadap eks tapol, Ibu Oni balik bertanya: "Yang ditakutkan itu apa? Sudah banyak yang mati kok."

Kini dia merasa tak perlu memikirkan apa yang bisa dilakukan pemerintah terhadap dirinya dan penyintas lainnya. " Usia saya sudah 72 tahun, dan bapak (suaminya) sudah 75 tahun."

Adapun Leo - ayah Pipit - mengaku dirinya tak lagi memendam dendam. Semua sudah saya lalui, katanya. Dia tak terlalu berharap pemerintahan Jokowi mampu menyelesaikan kasus 65.

"Saya cuma ingin generasi muda mengetahui sejarah yang benar terkait 65."

Di tempat terpisah, Pipit Ambarmirah mengaku "banyak" harapan yang dia gantungkan kepada pemerintah. "Tapi minimal pengungkapan kebenaran (terkait kasus 65)."

Dia mengharapkan pula agar pemerintah memberikan ruang-ruang diskusi yang aman bagi penyintas untuk bercerita.

"Karena dengan ruang diskusi yang makin terbuka, itu juga akan mengubah pandangan banyak orang," ujar Pipit.

Menurutnya, mereka yang selama ini tidak tahu tentang kekerasan pasca Oktober 1965, karena mereka mengetahuinya hanya dari satu sisi saja.

"Sisi yang `ini` tidak boleh diceritakan, sehingga mereka salah memahami peristiwa itu," katanya.

"Biarkan cerita-cerita ini (dari perspektif penyintas) pada 65 juga didengarkan oleh masyarakat. Jadi ada banyak cerita. Selama ini kan hanya satu cerita yang ditonjolkan."

Pipit, melalui Kiper, terus berusaha menyuarakan suara-suara para ibu penyintas, lalu mendokumentasikannya, sebagai salah-satu perspektif sejarah 65, terutama kepada generasi muda.

"Biar mereka tahu ada sejarah lain 65, yang itu benar-benar terjadi dan dialami, dan memang belum ada penyelesaiannya."

Di hadapan dua anaknya, yang masih duduk di bangku SD, Pipit pun kadang-kala melibatkannya dalam kegiatan para ibu penyintas.

Itulah sebabnya, dia tak kaget ketika anak sulungnya bertanya langsung kepada kakeknya yang pernah dibuang ke Pulau Buru.

"Kakek pernah dipenjara ya? Kenapa? Suharto jahat ya?" Dari pertanyaan seperti itulah, Pipit kemudian memberikan perspektif sejarah yang mungkin saja berbeda dengan yang akan diperoleh anak-anaknya kelak di bangku sekolah.

"Saya juga menyiapkan anak-anak saya, dia bakal menjadi bagian mendapatkan dosa turunan, kalau situasi belum berubah. Dia harus siap untuk itu."