Jokowi di Periode Kedua, Optimisme dan Pesimisme Masyarakat 50:50

Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma`ruf Amin memberikan keterangan pers usai pelantikan keduanya di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (20/10) - ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/pras
Sumber :
  • bbc

Presiden Joko Widodo resmi memulai periode keduanya, yang kali ini didampingi Wakil Presiden Ma`ruf Amin, pada Minggu (20/10). Apa kata masyarakat atas dimulainya pemerintahan Jokowi-Ma`ruf ini?

Optimisme sekaligus pesimisme dirasakan Sumarsih, ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan, korban penembakan Tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998.

Baginya, perjuangan untuk menegakkan keadilan atas kematian sang putra akan terus berlanjut, meskipun komitmen penegakan hukum kasus-kasus pelanggaran HAM berat dalam visi misi Jokowi-Ma`ruf dianggapnya tak nampak.

Sementara itu, Hisar Butar Butar berharap Jokowi dan para pembantunya menghargai wilayah adat yang telah secara turun temurun mereka rawat dan jadikan mata pencaharian.

Hisar adalah salah satu warga yang menentang pemerintah dalam upaya yang mereka sebut pengambilan paksa tanah adat di Desa Sigapiton, Toba Samosir, Sumatera Utara, yang akan dibangun untuk mendukung fasilitas wisata Danau Toba.

Di sisi lain, para pendukung Jokowi di Solo dengan gegap gempita merayakan pelantikan sang presiden di Surakarta. Sebagian mengaku tak sabar melihat gebrakan apa lagi yang akan dilakukan mantan wali kota mereka itu.

Seperti apa testimoni sekaligus ekspektasi mereka atas pemerintahan Jokowi lima tahun ke belakang dan ke depan?

Sumarsih , ibu korban Tragedi `98: `Optimis dalam berjuang, pesimis dalam harapan`

Sumarsih menolak menyaksikan pelantikan Jokowi dan Ma`ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang ditayangkan seluruh stasiun televisi pada Minggu (20/10).

Ibu dari Wawan - mahasiswa korban penembakan dalam Tragedi Semanggi I tahun 1998 lalu - itu belum mendapatkan apa yang ia tuntut lebih dari 20 tahun terakhir: keadilan bagi sang anak.

"Janji kampanye Pak Jokowi lima tahun lalu yang tidak dibuktikan adalah komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu," ujarnya kepada BBC News Indonesia.

Yang ia maksud di antaranya "Tragedi Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, penghilangan orang secara paksa, kemudian kerusuhan 13-15 Mei 98, Talangsari Lampung, Tanjung Priuk dan Tragedi 65".

Sumarsih juga menyebut komitmen untuk menghapus impunitas - kejahatan tanpa hukuman - sebagai janji palsu mantan wali kota Solo itu.

Namun yang membuatnya amat kecewa yaitu ketika Jokowi mengangkat mantan menteri pertahanan dan keamanan/panglima angkatan bersenjata, Wiranto, sebagai salah satu pembantunya di dalam kabinet.

"(Wiranto) orang yang diduga bertanggung jawab di dalam tragedi 1998, khususnya di dalam tragedi penembakan para mahasiswa," ucap Sumarsih.

Ia terakhir kali bertemu Presiden Jokowi pada 31 Mei 2018, ketika ia dan sejumlah keluarga korban kasus-kasus pelanggaran HAM berat diundang ke Istana Kepresidenan, Jakarta. Setelahnya, menurut Sumarsih, belum ada perkembangan berarti dalam upaya penegakkan HAM.

"Saya optimis di dalam melangkah, di dalam berjuang, tetapi memang saya pesimis di dalam harapan," imbuhnya.

Ia menganggap visi-misi Jokowi-Ma`ruf jauh berbeda dengan visi-misi Jokowi-JK dalam isu hak asasi manusia. Pasalnya, dalam visi-misi periode pemerintahannya yang kedua, Jokowi tidak menyinggung upaya penegakkan HAM, dan hanya menyebut upaya perlindungan, pemajuan dan pemenuhan HAM.

"Bagi saya pribadi, yang dimaksud dengan penegakkan HAM adalah membawa kasus-kasus pelanggaran HAM berat ke meja pengadilan, sebagaimana Indonesia menyatakan diri sebagai negara hukum."

Harapannya memperoleh keadilan bagi sang anak pada periode kedua Presiden Jokowi adalah bahwa Jokowi dapat memilih jaksa agung yang baik dan berani.

"Berani menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, karena selama ini, kasus-kasus yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM itu selalu dikembalikan dari Kejaksaan Agung ke Komnas HAM dengan berbagai alasan," pungkasnya.

Marsela , warga Dayak korban karhutla: `Laksanakan putusan Mahkamah Agung`

Marsela Arnanda tengah mengambil hari beristirahat dari rutinitas membantu upaya pemadaman api kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada saat pelantikan Jokowi-Ma`ruf berlangsung di Jakarta (20/10).

Marsela adalah relawan Youth Act Kalimantan sekaligus warga Dayak yang vokal menyuarakan kekhawatirannya akan nasib Kalimantan yang hampir setiap tahun ditelan kabut asap karhutla sejak lebih dari 20 tahun lalu.

"Kebakaran hutan Kalimantan masih terjadi sampai sekarang, seharusnya kita bisa belajar dari tragedi 2015, baik penanggulangan maupun pencegahan," ujarnya tegas.

Tragedi 2015 yang dimaksud adalah kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan yang menghanguskan sekitar 2,6 juta hektar hutan dan lahan dan menyebabkan 19 orang meninggal dunia.

Meski ia mengkritik keras pemerintahan Jokowi yang menurutnya tidak tanggap dan sigap menanggulangi karhutla setiap tahunnya, Marsela masih menyimpan optimisme bahwa pada periode keduanya, Jokowi bisa memperbaiki situasi.

"Kami tetap optimis karena beliau merupakan presiden yang kami rasa masih dapat mudah dijangkau oleh masyarakatnya," ungkap Marsela.

Secara spesifik, ia berharap Jokowi dan Ma`ruf serius melakukan sejumlah hal yang dapat segera menanggulangi kebakaran hutan dan lahan yang hampir setiap musim kemarau selalu terjadi.

"Satu, disahkannya RUU Masyarakat Adat, kedua, Presiden Jokowi untuk melaksanakan putusan MA (Mahkamah Agung) terkait karhutla Kalimantan, lalu ketiga, mengutamakan pembangunan berbasis kearifan lokal ataupun sustainable development (pembangunan berkelanjutan)," pungkasnya.

Warga Syiah Sampang: `Nggak ada rasa nyaman hidup di pengungsian`

Telah lebih dari tujuh tahun Abdul Hadi dan keluarganya tinggal di Rusunawa Puspa Agro di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Selama itu pula ia tidak kerasan.

Abdul Hadi adalah satu dari ratusan warga Syiah asal Sampang, Madura, yang terusir dari kampung halaman mereka dan hingga kini terpaksa tinggal di pengungsian.

"Nggak ada rasa nyaman kalau kita tuh hidup selalu di pengungsian," ujarnya, "Rasa nyaman itu kalau kita pulang, hidup di kampung halaman."

Kegelisahan itu juga diungkapkan Tajul Muluk, salah seorang pemuka Syiah yang juga mengungsi di rusunawa yang sama. Ia merasa kehidupan ia dan komunitasnya di pengungsian serba tak jelas.

"Nasib kami juga terkatung-katung tidak jelas, dan kami juga memikirkan anak, keturunan kami nanti ke depan. Setelah kami mungkin tidak ada, bagaimana kalau masalah-masalah toleransi ini nggak bisa diselesaikan?" ungkapnya kepada wartawan Roni Fauzan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (20/10).

Tajul berharap kepemimpinan Presiden Jokowi di periode keduanya ini membawa perubahan bagi mereka, terlebih menurutnya, kali ini Jokowi memerintah bersama tokoh Islam sekaligus mantan ketua Majelis Ulama Indonesia.

"Kami berharap Bapak Jokowi dengan Bapak Ma`ruf Amin bisa membawa Indonesia ini ke masa depan yang lebih baik, terutama berkenaan dengan masalah toleransi di negeri ini," ujar Tajul.

Ia berharap agar pemerintah dapat mempertemukan kelompoknya dengan tokoh-tokoh Islam lain untuk dapat mendiskusikan masalah yang ia dan kelompoknya hadapi di Sampang.

"Masalah ini bukan masalah mudah, karena tentunya ini masalah kesalahpahaman yang terjadi pada kami.

"Harapan terdekat ya mudah-mudahan pemerintah segera melakukan langkah-langkah yang konkrit tentang penyelesaian (konflik) Sampang ini," tutupnya.

Hisar Butar Butar, warga Sigapiton , Sumut: `Hak masyarakat adat diabaikan`

Hisar Butar Butar ingat betul ketika ia dan warga Desa Sigapiton, Toba Samosir, Sumatera Utara mencoba menghalangi proyek milik Badan Pengelola Otorita Danau Toba (BPODT) di atas lahan yang mereka klaim tanah adat mereka.

BPODT adalah badan yang menjalankan proyek pembangunan jalan dari The Nomadic Kaldera Toba Escape ke Batu Silali, sebagai upaya untuk mendukung pembangunan pariwisata Danau Toba - proyek yang diusung Presiden Jokowi.

"Apreasiasi saya, sangat mendukung kinerja beliau, terutama dalam rangka pembangunan," ujar Hisar kepada Roki Suriadi Pasaribu, staf advokasi Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM).

Meski mengapresiasi, petani berusia 43 tahun itu menganggap Jokowi telah abai terhadap hak-hak masyarakat adat setempat.

"Karena memang sudah dicanangkan ini sebagai destinasi pariwisata nasional, bahkan internasional. Jadi, hak-hak masyarakat ini (sebenarnya) sudah diabaikan," ujarnya.

Saat ditanya apa harapannya terhadap Jokowi di periode kedua pemerintahannya, Hisar berkata, "Masalah pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah di daerah kami, kami sangat mendukung. Cuma hak-hak masyarakat tolong diperhatikan.

"Terutama tanah adat kami supaya tetap dilestarikan. Kalau memang ini harus dikerjakan, dibangun, kami welcome , cuma tolong dihargai apa perjanjian-perjanjian yang diharapkan oleh masyarakat Sigapiton," ujarnya.

Warga Jayapura: `Jangan sekadar kunjungan`

Hana Wakman menghargai itikad baik Presiden Joko Widodo selama lima tahun terakhir yang sudah lebih dari sepuluh kali menyambangi tanah Papua. Hana sendiri merupakan warga Sentani, Jayapura, Papua.

"Kita bersyukur karena lima tahun kemarin Bapak Jokowi lebih banyak kunjungan ke Papua," ujarnya kepada wartawan Engel Wally yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (20/10).

Meski demikian, ia minta Jokowi tidak hanya fokus pada pembangunan infrastruktur di tanah cenderawasih.

"Harapan kita bukan sekadar kunjungan terus cuma perhatikan infrastruktur jalan dan jembatan," tuturnya, "tetapi lebih lagi ke organisasi-organisasi khusus untuk perempuan, yang notabenenya di Indonesia ini kan perempuan banyak persoalan, tapi selalu diam."

Suara Hana senada dengan Agustinus Ferre, sesama warga Sentani, yang meminta Jokowi turut fokus mengembangkan sumber daya manusia Papua.

"Kami minta juga buka peluang untuk khusus anak-anak Papua untuk jadi PNS (pegawai negeri sipil) di kementerian apa pun yang ada di Indonesia ini," ujarnya.

Di samping itu, ia juga berharap Jokowi dapat menemui lebih banyak masyarakat di wilayah lain di Papua.

"Dia harus punya waktu banyak dengan masyarakat di Papua, karena keadaan di Papua tidak sama dengan daerah lain," ujarnya, "Khusus bisa datang ke daerah-daerah terpencil lagi."

Pendukung Jokowi di Solo: `Kita menunggu gebrakan baru lagi`

Sudah sejak siang ratusan warga Solo berkumpul di kawasan Ngarsopuro pada hari Minggu (20/10). Mereka sengaja berkumpul untuk menyaksikan bersama-sama pelantikan Presiden Jokowi dan wakilnya, Ma`ruf Amin, melalui layar besar di sana.

Pasangan Jokowi-Ma`ruf memang menang telak di Surakarta saat pilpres lalu. Keduanya mengantongi 82,23% suara, meninggalkan Prabowo-Sandi hanya 17,77%.

Tepuk tangan meriah lantas bergemuruh saat Jokowi mulai menyampaikan pidato awal masa pemerintahannya yang kedua dari gedung DPR/MPR di Senayan, Jakarta.

"Optimis, harus selalu optimis," kata Heru, salah seorang warga yang mendukung Jokowi pada pemilihan presiden lalu, kepada wartawan Fajar Sodiq yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

"Karena dari pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur lima tahun terakhir Jokowi sudah luar biasa, apalagi kita menunggu gebrakan-gebrakan baru lagi lima tahun ke depan," ungkapnya sumringah.

Semangat yang sama ditunjukkan Sri Bajriah, warga Solo yang berprofesi sebagai buruh cuci keliling.

"Bagus, pembangunan juga maju," ungkapnya.

Meski demikian, Sri punya beberapa harapan khusus untuk sang presiden.

"Harapan saya untuk memperhatikan rakyat kecil, terus BPJS itu kabar-kabarnya naik (tarif preminya), saya harap tidak mundak (naik)," katanya, "Kasihanilah rakyat kecil yang ikut BPJS."