NU Kecewa Mantan Jenderal TNI Jadi Menteri Agama

Fachrul Razi menjadi satu dari sedikit bekas perwira tinggi militer yang diserahi jabatan menteri agama. - ANTARAFOTO/Puspa Perwitasari
Sumber :
  • bbc

Penunjukan Fachrul Razi, bekas jenderal TNI Angkatan Darat, menjadi menteri agama mengecewakan Nahdlatul Ulama, ormas Islam yang selama ini paling kerap mendapatkan jatah mengisi kursi itu.

Program deradikalisasi institusi pendidikan keagamaan yang disebut menjadi salah satu target kerja menteri baru pun dipertanyakan. Namun Fachrul Rozi yakin mampu mengambil kebijakan yang tepat untuk kehidupan keagamaan masyarakat. Ia mengaku berpengalaman berceramah di depan umat.

Kekecewaan yang muncul setidaknya dikatakan Rumadi Ahmad, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU.

Rumadi menilai Fachrul Razi tak berpengalaman dalam isu pendidikan Islam di bawah Kementerian Agama, dari pesantren, madrasah, perguruan tinggi keagamaan Islam (Ma`had Aly) hingga satuan pendidikan diniyah formal. "Baik kalangan aktivis, pengurus, dan segala macamnya menunjukkan kekecewaan," kata Rumadi saat dihubungi, Rabu (23/10).

"NU dalam posisi menghormati keputusan yang diambil oleh presiden meskipun secara kelembagaan, ada perasaan kekecewaan," tuturnya.

Fachrul Razi merupakan bekas perwira tinggi militer. Jabatan tertinggi dalam kariernya adalah wakil panglima TNI tahun 1999 hingga 2000. Selama dua pilpres terakhir, ia berkampanye untuk Jokowi.

Fachrul adalah satu dari sedikit menteri agama kedua dari kelompok militer, setelah Alamsjah Ratu Prawiranegara tahun 1978 dan Tarmizi Taher pada 1993.

Sejarah mencatat, jabatan menteri agama belasan kali diduduki representasi NU. Lima menteri agama terakhir berasal dari ormas Islam ini.

Adapun, perwakilan Muhammadiyah dan politikus beberapa kali juga ditunjuk memimpin Kementerian Agama. Meski diragukan, Fachrul Razi yakin memiliki kapasitas untuk mengemban jabatan tersebut.

"Saya bukan menteri agama Islam, saya menteri agama Republik Indonesia yang di dalamnya ada lima agama," ujarnya usai dilantik di Istana Negara, Jakarta, Rabu siang.

"Saya suka ibadah, sering memberi ceramah, menjadi khotib, meski saya lebelnya bukan kiai. Tapi setiap ceramah, tema saya selalu Islam yang damai, toleransi, bagaimana memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa."

"Mungkin Pak Jokowi melihat, `kalau begitu Pak Fachrul bisa diharapkan banyak untuk menangkal radikalisme`," tuturnya.

Dalam sesi perkenalan menteri baru kepada publik, Jokowi menyebut radikalisme sebagai salah satu isu yang mesti ditangani Fachrul Razi. Namun Fachrul enggan menyebut persoalan itu sebagai tugas utama yang mesti ditanggulanginya. Bagaimanapun, ia merasa memiliki modal untuk membuat kebijakan deradikalisasi di institusi keagamaan.

"Saya melakukan bina intelijen di kodim dan kodam. Setiap ada benturan, saya selalu menyelesaikannya dengan pendekatan agama," ujarnya.

Merujuk data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), pada tahun 2016, setidaknya terdapat 19 pesantren yang terindikasi mendukung dan menyemai ajaran radikal.

September 2017, Pesantren Ibnu Mas`ud yang berkedudukan di Bogor dituding berhubungan dengan Hatf Saiful Rasul, anak Indonesia yang tewas sebagai militan ISIS di Suriah. Akibat isu itu, muncul wacana pembubaran pesantren tersebut, walau tudingan itu dibantah pengelola pesantren Ibdu Mas`ud.

Pengamat Terorisme, Al Chaidar, menilai menteri agama memang sepantasnya memimpin program deradikalisasi. Menurutnya, pemahaman keliru tentang agama merupakan faktor utama yang memicu seseorang menjadi radikal bahkan melakukan aksi terorisme. Chaidar mendorong Fachrul Razi memfokuskan program deradikalisasi ke pesantren dan madrasah.

"Kalau program ini bisa disuplai Kementerian Agama, saya kira akan luar biasa. Sedikit teroris dari pesantren, lebih banyak dari madrasah," kata Chaidar.

Persoalannya, menurut sejarawan NU, Abdul Mun`im, perspektif deradikalisasi militer dan pegiat keagamaan tradisional sangat berbeda. Ia memprediksi, kebijakan Fachrul Rozi terkait isu ini akan sekedar `meraba-raba`.

"Radikalisme bukan soal politik, tapi dimensi keagamaan. Selama ini aparat keamanan terlihat gamang mengatasi radikalisme. Makanya radikalisme marak bahkan berkembang di tubuh mereka sendiri," kata Abdul via telepon.

"Dimensi keagamaan radikalisme kurang mereka pahami, hanya politik dan ideologinya. Yang lebih banyak tahu itu orang agama, dan kami selama ini berjibaku sendiri menghadapi itu," tuturnya.

Sementara menurut Rumadi Ahmad, Fachrul Razi tidak bisa pukul rata menggelar program deradikalisasi di institusi pendidikan Islam. Ia khawatir bakal muncul banyak resistensi di tingkat akar rumput terhadap wacana Kementerian Agama

"Kalau tempatnya orang-orang moderat diberi program antiradikalisme, mereka pasti menolak. `Memangnya kami radikal?`" katanya.

“NU posisinya diam saja. Meskipun beberapa teman ngomong, `ya sudah, soal radikalisme, biar saja diurusi sendiri.` NU diam saja, ngurusin warga NU," ujar Rumadi.