Ribuan Lubang Tambang Terbengkalai di Ibu Kota Baru

Pegiat lingkungan menyebut terdapat nyaris 1800 lubang tambang di Kaltim. Sementara jumlah versi pemerintah hanya mencapai sekitar 500 lubang. - AFP/ROMEO GACAD
Sumber :
  • bbc

Setidaknya 36 orang, yang sebagian besar anak di bawah umur, meregang nyawa di lubang tambang bekas galian batu bara di berbagai wilayah Kalimantan Timur (Kaltim) sejak 2011.

Pegiat lingkungan menyebut saat ini 1.735 lubang tambang dibiarkan menganga oleh perusahaan, meski mereka secara hukum wajib mereklamasi bekas galian setelah eksplorasi.

Namun pemerintah mengklaim hanya menemukan sekitar 500 lubang tambang di provinsi yang bakal menjadi tuan rumah ibu kota baru itu.

Kini pemerintah berencana mengubah ratusan lubang tambang yang sebagian berjarak selemparan batu dari permukiman warga itu menjadi lokasi wisata.

Saat wacana itu dirembuk di level pemerintahan dan pemindahan ibu kota ke Kaltim juga akan segera berjalan, keluarga anak-anak yang tewas di lubang tambang masih terus mencari keadilan.

Kardi masih belum rela cucu pertamanya, Natasya Aprilia Dewi, menghembuskan napas terakhir di usia yang sangat belia.

Beberapa hari jelang Lebaran, 29 Mei silam, anak berumur 10 tahun itu tenggelam di lubang tambang sedalam puluhan meter di Kecamatan Palaran, Kota Samarinda.

Dini hari itu usai salat subuh, kata Kardi, Natasya bersama sejumlah kawannya bermain di lubang tambang yang biasa disebut danau oleh warga setempat.

Padahal Natasya tak bisa berenang, kata Kardi. Begitu mendapat kabar dari tetangga bahwa Natasya tenggelam, Kardi langsung tunggang langgang ke lubang tambang.

"Di sana saya lihat cucu saya sudah mengambang di danau. Begitu saya angkat ke tepi, dia muntah darah," kata Kardi kepada BBC Indonesia beberapa waktu lalu.

Saat mengisahkan kembali cerita pilu itu, mata Kardi nanar. Jari-jarinya memutar-mutar rokok kretek. Nada bicaranya terkadang meninggi.

Kardi berkata, setelah dilarikan ke rumah sakit, Natasya sempat sadarkan diri dan berbincang dengan sanak familinya. Namun jelang sore, Natasya koma dan tak pernah siuman lagi.

"Saya syok. Orang tuanya tidak sadarkan diri. Mereka mengamuk," ujar Kardi.

"Saya tidak tahu itu lahan siapa. Kalau lubang itu tidak ditutup, pasti kejadian ini akan ada lagi. Saya orang kecil, mau nuntut siapa? Mau salahkan siapa?" tanyanya.

Kepergian Natasya juga meninggalkan luka mendalam bagi ibunya, Purwanti. Tapi berbeda dengan Kardi, ia enggan mempersoalkan peristiwa itu lebih jauh.

"Pikiran saya tidak karuan. Malam itu kami masih tidur bareng. Sorenya dia sudah tidak ada," kata Purwanti.

"Itu jelang Lebaran. Dia ajak kami ke Ramayana, tapi ayahnya bilang hari Rabu saja. Ternyata Rabu sore itu dia meninggal."

"Saya minta dimimpikan anak saya, ingin sekali, tapi tidak ada. Mungkin di sana kehidupannya sudah lebih nyaman," ujarnya.

Saat berita ini terbit, belum ada satu orang pun yang dipidana atas kejadian tersebut.

Purwanti adalah generasi ketiga transmigran di Samarinda. Seperti dirinya, sebagian besar warga Kecamatan Palaran adalah anak-cucu pendatang yang dipindahkan pemerintahan Orde Baru dari Jawa. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai peladang.

Natasya bukan korban jiwa terakhir di lubang tambang Kaltim. Agustus lalu, pemuda bernama Hendrik Kristiawan (25 tahun) kehilangan nyawa di bekas galian batu bara yang urung direklamasi di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara.

Samboja adalah lokasi yang dipilih pemerintah untuk menjadi ibu kota baru Indonesia. Wilayah itu bersebelahan dengan Sepaku, kecamatan di Kabupaten Penajam Paser Utara, yang juga bakal menjadi pusat negara.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat, sejak 2011 korban tewas di lubang tambang tersebar di Samarinda (21 orang), Kutai Kartanegara (13), Kutai Barat (1) dan Penajam Paser Utara (1).

"Angka-angka itu tidak kecil. Ini pelanggaran HAM berat, meski Komnas HAM belum berani menyatakan itu," kata koordinator Jatam wilayah Kaltim, Pradarma Rupang.

"Ini pembunuhan terstruktur akibat kelalaian industri dan pemerintah memastikan keselamatan publik," ujarnya menuding.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 4/2014 menyebut reklamasi bekas galian tambang sebagai upaya menata dan memulihkan kualitas lingkungan agar kembali berfungsi sesuai peruntukannya.

Seluruh perusahaan pemegang izin usaha pertambangan, baik yang bersifat umum atau khusus, wajib mereklamasi lahan yang mereka gali dalam setiap tahapan operasional.

Lahan yang telah pulih harus mereka kembalikan ke pejabat penerbit izin: bupati, wali kota, gubernur atau menteri.

Rupang menuding, tidak sedikit perusahaan yang melanggar jarak minimal pertambangan dengan permukiman, yaitu 500 meter.

Setelah pertambangan selesai, kata Rupang, ribuan lubang bekas galian ditinggalkan begitu saja oleh perusahaan. Lubang itu digenangi air hujan sehingga membentuk danau. Sebagian besar lubang tambang dibiarkan terbuka, tanpa pagar maupun rambu-rambu zona bahaya.

BBC News Indonesia menyaksikan lubang bekas galian yang menjadi lokasi tewasnya Natasya Aprilia Dewi tidak ditutup pagar serta tidak ada sama sekali rambu-rambu peringatan.

Warga sekitar lubang tambang di Kaltim kerap memancing dan berenang di bekas galian itu. Bahkan ada pula yang beternak ikan di atasnya.

Kesimpulan yang diambil Komnas HAM kala itu antara lain tentang pelanggaran hak-hak dasar warga negara dalam kasus kematian di lubang tambang.

Komnas HAM juga menyebut pemerintah pusat, daerah, dan penegak hukum belum berupaya serius memaksa perusahaan mereklamasi bekas galian batu bara.

Hasil kajian yang bernada serupa juga ditemukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Melalui Tim Koordinasi dan Supervisi Minerba, KPK beberapa kali menilik persoalan lubang tambang di Kaltim.

"Masalah ini rumit. Jelas tidak ada kepatuhan," kata Penasehat KPK, Mohammad Tsani Annafari. Ia ikut dalam kajian lapangan terakhir KPK ke Kaltim, Agustus lalu.

"Awalnya, saat kami ikut menertibkan izin usaha pertambangan, banyak yang tidak disertai jaminan reklamasi. Itu kan menyalahi aturan, tapi kenapa tetap diterbitkan?" ujarnya.

Kewajiban perusahaan menyetor jaminan reklamasi berupa uang tertera dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 7/2014. Beleid itu mengatur tentang pelaksanaan reklamasi dan pascatambang pada kegiatan usaha pertambangan minerba.

Menurut peraturan itu, jika perusahaan tak memberikan jaminan reklamasi, mereka dapat dijatuhi sejumlah sanksi. Tingkatan hukuman terentang dari peringatan tertulis hingga penghentian sementara, sebagian atau seluruh kegiatan pertambangan.

Hukuman terberat dalam aturan itu adalah pencabutan izin usaha pertambangan, baik yang bersifat umum maupun khusus, pada tahap eksplorasi dan operasi produksi.

Hingga Juli lalu, terdapat 3.120 perusahaan yang belum memberi jaminan reklamasi di berbagai wilayah Indonesia, menurut data Kementerian ESDM. Lebih dari setengahnya, merupakan pemegang IUP yang diterbitkan pemerintah daerah.

Kerumitan yang disebut Tsani merujuk pada klaim tentang sebagian lubang tambang yang dianggap sebagai ekses pertambangan tak berizin alias ilegal.

Terhadap lubang tambang jenis ini, kata Tsani, penegak hukum semestinya turun tangan menindak pelaku.

"Persoalan yang sering terjadi, pemegang IUP mengklaim tidak pernah menggali lubang dan menuduh tambang rakyat atau yang liar," ujarnya.

Pernyataan serupa juga dikatakan juru bicara Pemprov Kaltim, Syafranuddin. Ia berkata, pemerintah sulit menambal lubang tambang yang statusnya tidak jelas.

"Ada kabar, yang tidak direklamasi itu tambang liar. Pemerintah bisa saja bertanggung jawab, tapi bagaimana cara mencari sumber dananya. Kalau tambang umum kan ada uang jaminannya," ujarnya.

Namun merujuk hasil pemantauan Jatam, sebanyak 1.735 lubang tambang di Kaltim merupakan ekses dari eksplorasi dan produksi yang dilakukan 60% pemegang IUP.

Bagaimanapun, KPK mewanti-wanti agar pemerintah tidak mereklamasi lubang tambang menggunakan uang negara, terutama yang dampak aktivitas tak berizin.

Dalam sidak ke sejumlah lahan pemegang IUP di Kaltim, Agustus lalu, Tsani menyebut KPK mengendus upaya pemerintah mereklamasi beberapa lubang tambang dengan anggaran negara.

"Kalau digali secara ilegal, berarti lubang tambang itu alat bukti kejahatan atau tempat kejadian perkara," kata Tsani Annafari.

"Kalau perkaranya belum diselesaikan tapi lubangnya ditutup dengan anggaran pemerintah, itu sama saja merusak alat bukti. APBN bukan untuk memperbaiki hasil kejahatan," tuturnya.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menggagas reklamasi dua lubang tambang di Samarinda. Program itu diklaim akan menjadi contoh pemulihan lahan bekas pertambangan di Kaltim.

Keterangan tersebut diutarakan Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Karliansyah, melalui pesan singkat.

Karliansyah berkata, dua lubang yang akan direklamasi berada di Kecamatan Palaran dan Kecamatan Makroman.

Lubang tambang di Kecamatan Palaran, menurut Karliansyah, merupakan bekas galian PT Insani Bara Perkasa (IBP), sementara yang di Makroman adalah ekses pertambangan PT Lana Harita Indonesia (LHI).

"Detail engeneering design sudah selesai atas bantuan PT Kaltim Prima Coal. Biaya pemulihan sepenuhnya ditanggung perusahaan yang bersangkutan (IBP dan LHI)," kata Karliansyah.

"KLHK ingin menunjukkan kalau semua dimulai dengan perencanaan yang bagus, hasilnya pasti bagus."

"Kami berharap dengan contoh ini, pemda bersama perusahaan tambang di daerah akan segera mereplikasinya," ujar Karliansyah.

Di sisi lain, Pemprov Kaltim menganggap lubang tambang yang urung dipulihkan dapat beralihfungsi menjadi lokasi wisata. Tujuan wacana itu adalah meraup uang untuk menggenjot penerimaan asli daerah.

Dalam catatan Jatam, lubang tambang yang digarap PT IBP dan PT LIH di Kecamatan Palaran dan Kecamatan Makroman menjadi lokasi kematian sejumlah warga Kaltim. Namun tudingan itu tak berakhir di meja hijau.

Bagaimanapun, kata Tsani Annafari dari KPK, pemindahan ibu kota ke Kaltim semestinya menjadi pemicu pemerintah untuk segera menuntaskan persoalan lubang tambang yang menahun.

"Keberadaan ibu kota seharusnya jadi faktor penambah, tidak lucu di ibu kota ada kerusakan lingkungan seperti itu," ujarnya.

Kalaupun ibu kota baru batal dibuka, Tsani menyebut pemerintah tetap tak bisa lari dari tanggung jawab memastikan perusahaan memulihkan galian bekas tambang.

Sementara pegiat lingkungan Pradarma Rupang menganggap sinis kaitan ibu kota baru dan beragam lubang tambang di Kaltim.

"Pemindahan ibu kota bisa menjadi kado bagi para pengusaha. Itu agenda yang bisa mereka tunggangi," ujarnya.