Ramai RUU Ketahanan Rumah Tangga Atur BDSM, Ini Kata Seksolog

Ilustrasi bercinta/seks.
Sumber :
  • Freepik/ijab

VIVA – Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga ramai dibicarakan belakangan ini. Sejumlah pihak merasa negara terlalu jauh ikut campur dalam ranah privat warga negaranya. 

Salah satu pasal yang ramai menjadi perbincangan ialah Pasal 26 B yang menyebut bahwa "Dalam penyelenggaraan ketahanan keluarga, setiap suami istri yang terikat perkawinan yang sah berhak untuk: menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan, penyimpangan seksual, dan penyiksaan seksual".

Sementara itu, penyimpangan seksual yang dimaksud beberapa di antaranya ialah sadisme dan masochisme. Lantas, bagaimana tanggapan seksolog terkait hal tersebut?

Psikolog sekaligus seksolog, Zoya Amirin, M.Psi., FIAS menyebut bahwa ada sejumlah panduan untuk mendiagnosis gangguan mental, sadisme dan masochisme ke dalam penyimpangan seksual. Namun, di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat muncul komunitas BDSM, atau Bondage/Discipline, Dominance/Submission, Sadism, dan Machosism yang berusaha agar hal tersebut bisa lebih diterima. 

Zoya mengatakan bahwa hal yang harus digarisbawahi dalam hubungan BDSM yakni semua aktivitas yang dilakukan harus atas dasar konsensual. Dalam hubungan tersebut juga dikenal adanya safe words.

"Mereka punya safe words, misal apapun itu sudah terlampau sakit harus berhenti artinya sudah tidak merangsang tapi menyakitkan," kata Zoya saat dihubungi VIVA, baru-baru ini. 

Bahkan di Amerika Serikat, lanjut Zoya, ada pelatihan tersendiri terkait BDSM. Dan dalam kelompok tersebut, sangat menghargai privasi dan persetujuan. 

"Jadi itu sih basic-nya, jadi kalau buat saya kalau pemerintah mau membuat aturan seperti ini ya lucu. Apakah semua penyimpangan seksual seperti ini mau dibuat jadi Undang Undang? Kenapa enggak percayakan ke psikolog dan psikiater, kami kan tahu bagaimana menangani itu," kata dia.

Menurutnya semua itu juga telah diatur dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders sebagai penyimpangan. Sehingga ia mempertanyakan apakah hal tersebut untuk perlu dimasukkan ke dalam Undang Undang. Sementara, Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang menurut Zoya lebih penting hingga kini masih mandek.

"Kenapa negara enggak melindungi rakyatnya dari lemparan sperma, ada begal payudara, (itu) tidak ada undang undang pelecehan seksual sama sekali," kata Zoya.

Zoya melanjutkan, bahwa semestinya negara melindungi hak-hak dan privasi warga negaranya. Ia juga menegaskan bahwa negara terlalu jauh masuk ke dalam ranah privasi. 

"Harusnya negara itu lebih fokus bagaimana supaya pelecehan seksual itu bisa ditindak, dan apa yang negara bisa lakukan," kata dia.