Frasa Istri pada UU Keistimewaan Yogya Dinilai Diskriminatif

Seorang warga menampikan logo Kesultanan Yogyakarta beberapa waktu lalu.
Sumber :
  • ANTARA/ Yudhi Mahatma

VIVA.co.id - Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X, hadir dalam sidang gugatan uji materi (judicial review) Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis, 17 November 2016.

Pasal yang diuji adalah Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU KDIY). Gugatan dimohonkan warga yang mengatasnamakan Masyarakat Yogyakarta. Mereka terdiri abdi dalem Keraton Ngayogyakarta, perangkat desa, pegiat antidiskriminasi hak asasi perempuan, dan mantan Ketua Komnas Perempuan.

Pasal 18 ayat 1 huruf m UU KDIY berbunyi: "Calon gubernur dan calon wakil gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat: m. menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain, riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak."

Masyarakat Yogyakarta mempersoalkan frasa istri pada pasal itu karena dinilai diskriminatif. Pasal itu menimbulkan penafsiran seolah harus laki-laki untuk menjadi calon gubernur Yogyakarta.

Sultan ingin pasal itu dihilangkan demi menghindari multitasfir yang dinilai potensial mengancam keistimewaan Yogyakarta. "Seharusnya tidak perlu diatur adanya syarat menyerahkan daftar riwayat hidup dalam pengisian jabatan calon gubernur dan wakil gubernur DIY sebagaimana diatur dalam pasal tersebut," ujarnya.

Menurutnya, aturan dalam pasal itu tidak tepat diterapkan dalam pengisian jabatan kepala daerah DIY. Soalnya Kasultanan Ngayogyakarta dan Adipati Kadipaten Paku Alaman sudah dikenal seluruh rakyat setempat.

"Termasuk DPRD Provinsinya, jelas telah mengenal dan mengetahui track record dan profil siapa Sultan dan Adipati yang bertahta di Yogyakarta," kata Sultan.

Aturan itu, kata Sultan, lebih tepat diterapkan dalam konteks pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung atau tidak langsung. Alasannya, para calon kepala daerah yang bersaing mungkin saja tidak diketahui profil dan latar belakang kehidupannya.

"Lewat aturan itu maka memudahkan para calon kepala daerah untuk diperkenalkan kepada rakyat dan DPRD daerahnya masing-masing," kata Sultan.

Ketidakpastian hukum

Sultan juga menilai, norma pada pasal itu menimbulkan ketidakpastian hukum karena terkesan membatasi bahwa pemegang tahta adalah harus seorang laki-laki. Menjadi masalah jika calon sultan atau wakilnya belum atau tidak memiliki istri.

"Ini potensial masalah tersendiri yang bisa digunakan oleh pihak yang berburu kekuasaan untuk melebarkan urusan internal (Keraton Yogyakarta) menjadi berada di luar Keraton dengan menggunakan kata 'istri', frasa 'saudara kandung', bahkan kata 'anak'," ujar Sultan.

Jika ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY tetap dipertahankan, menurut Sultan, sebaiknya diubah agar tidak menimbulkan polemik dan kontroversi.

"Pasal ini telah menimbulkan polemik dan problem karena memunculkan berbagai macam penafsiran yang cenderung mengakibatkan terjadinya ketegangan politik DPRD dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat," kata Sultan.

Kedudukan hukum

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Nono Sampono, yang juga hadir memberikan keterangan dalam sidang itu berpendapat bahwa uji materi yang dilayangkan Masyarakat Yogyakarta tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing yang kuat.

Alasannya, tidak ada kerugian yang berdampak langsung pada pemohon. Berdasarkan silsilah dan sejarahnya, orang yang menduduki tahta Kesultanan Ngayogyakarta ditentukan berdasarkan garis keturunan.

Menurut Nono, dalam UU yang sama, pasal 18 Ayat 1 huruf c, dinyatakan salah satu persyaratan calon gubernur dan wakil gubernur adalah bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon wakil gubernur.

"Jadi calon gubernur dan wakil gubernur Yogyakarta merupakan satu kesatuan dengan Kesultanan Ngayogyakarta, yang berfungsi mengayomi kehidupan masyarakat dan menjaga warisan budaya bangsa secara turun-temurun," kata Nono.

Nono pun tidak sependapat bahwa frasa istri itu diskriminatif sebagaimana dinilai pemohon uji materi. Menurut dia, norma yang sudah diatur pada pasal yang digugat wajar dan objektif.

"Mengingat silsilah dan periode pemerintahan dari Sri Sultan Hamengkubuwono pertama, Pangeran Mangkubumi, hingga Sri Sultan Hamengkubuwono X, KGBH Mangkubumi menganut asas patrilineal (patriarki)," ujarnya.