Membawa Meme Lucu ke Ranah Politik Sesungguhnya Mudah, Ferguso

- Berbagai Sumber
Sumber :
  • bbc

Meme Ferguso adalah salah satu contoh menarik bagaimana hal yang dianggap receh bisa jadi alat politik yang serius. Ini bisa jadi peluang untuk membumikan isu-isu penting dan meningkatkan partisipasi politik, kata pakar.

Jika Anda rutin menggunakan media sosial, tidak semudah itu menghindari Ferguso, sebuah karakter dalam meme yang sering digunakan untuk tujuan beragam: dari menyampaikan opini, melawan opini, hingga menampik maksud buruk seseorang.

Tidak jelas memang, siapa sebetulnya sosok Ferguso. Berbagai ulasan mengklaim bahwa Ferguso adalah Pulgoso, anjing setia Marimar dalam telenovela berjudul sama. Tapi klaim ini dibantah oleh ulasan yang mengatakan Pulgoso dan Ferguso jelas-jelas dua nama yang berbeda. Sebagian ada juga yang menyebut bahwa sosok Ferguso itu memang asli dibuat-buat warganet.

Penggunaan nama Ferguso sesungguhnya tidak baru. Data analitik Spredfast menunjukan bahwa Ferguso sudah dipakai dalam percakapan sehari-hari Twitter jauh sebelum nama itu menjadi populer.

Percakapan terlama yang bisa ditemukan tentang Ferguso, bisa terlacak sejak 2010 dalam

Terlepas siapa itu Ferguso, satu hal yang pasti bahwa namanya selalu dikaitkan dengan telenovela yang populer di Indonesia era 1990-an. Pengguna media sosial misalnya sering menyebut nama ini dengan bersamaan berbagai karakter seperti Marimar, Pulgoso, Santiago, Esmeralda dan Gustafo dengan konteks percakapan sehari-hari.

Makin Populer lewat Tom & Jerry

Sampai sini, tidak ada yang istimewa soal meme Ferguso, sampai kicauan ini muncul:

Di sinilah Ferguso ditiru dan dimodifikasi menjadi sesuatu yang baru. Menggabungkan adegan-adegan Tom & Jerry dan dialog-dialog telenovela, meme tersebut pas menggambarkan emosi kita yang seakan berkata, "enak saja, saya lebih cerdik dari Anda" atau "huh, tidak semudah itu Anda bisa memanfaatkan saya."

Dan ini tidak hanya berlaku pada topik-topik `receh` ala tagar ‘Recehkan Twitter’, yang menjadi salah satu tagar paling populer tahun ini.

Berkat cuitan yang dibagikan lebih dari 11 ribu kali itu, Ferguso menjadi populer pada November 2018 dan kemudian digunakan untuk menyampaikan hal-hal yang lebih serius. Kicauan di bawah ini misalnya, menyoroti soal intoleransi yang cukup marak belakangan ini. "Padahal, semudah ini Ferguso," katanya.

Cuitan yang ini, menyoroti soal wacana `balik ke Orde Baru` yang dilontarkan Titiek Soeharto ketika dia mendukung Prabowo menjadi presiden dalam pemilu mendatang "Pikir lagi, Ferguso," serunya.

Nama Ferguso juga dipakai dalam debat jumlah peserta Reuni 212 di Monas, 12 Desember kemarin.

"Supaya tidak menimbulkan simpang siur jumlah peserta, tolong reuni tahun depan ngisi daftar hadir sesuai angkatannya. TTD Ferguso," kata @NUGarisLucu.

Untuk membalas opini ini, Ferguso lagi-lagi disebut. "Ini pasti massa bayaran! `Siapa yg mau dan sanggup mengeluarkan biaya untuk jutaan orang yg datang dari segenap penjuru Indonesia? Tidak semudah itu Jaenudin Naciro!` *karena Ferguso sudah terlalu mainstream," kata @AzzamIzzulhaq.

Meme: Alat Propaganda di Era Digital

Memanfaatkan momentum kepopuleran sebuah meme untuk `propaganda politik` memang sangat memungkinkan karena meme termasuk dalam budaya partisipatoris, di mana pengguna internet tidak hanya mengkonsumsi konten tapi juga menjadi menciptakan konten, kata pengajar dan peneliti di Pusat Kajian Komunikasi UI, Clara Endah Triastuti.

Tiap orang yang punya pendapat dan tujuan tertentu bebas-bebas saja memakai dan mengubahnya demi kepentingan pribadi. Di satu sisi, ini menjadi hal yang positif karena orang-orang menjadi nyaman membicarakan politik, lanjut Endah Triastuti.

Transformasi sebuah meme dari `hal yang receh` menjadi `politis` bukan hal baru. Meme soal jaksa agung Krimea Natalia Poklonskaya menjadi contoh. Awalnya, karena penampilannya yang menarik dan imut. Namun meme-meme soal Natalia kemudian digunakan oleh berbagai pihak di Ukraina untuk membicarakan konflik dengan Ukraina dengan Rusia.

"Pergerakan politik menurut saya sekarang berubah. Mereka yang melakukan propaganda politik mulai melihat pasar juga dan mulai mengubah bentuk-bentuk propagandanya. Jadi politik itu tidak diletakkan dalam ranah formal, tapi dalam ranah yang populer."

Dalam konteks yang lebih besar, Endah mencontohkan narasi `Thanos` dan `Winter is Coming `, yang dipopulerkan Jokowi di forum resmi. Ini menurutnya adalah adalah isu politik yang sengaja dirancang, dibentuk dan disajikan dalam bentuk budaya populer agar lebih bisa diterima.