Jokowi Menang, Kubu Prabowo Tolak Hasil Pleno Rekap KPU Sumut ‎

Ketua Badan Pemenangan Provinsi Sumut, Prabowo-Sandi, Gus Irawan Pasaribu.
Sumber :
  • Putra Nasution

VIVA – Pasangan Jokowi-Maruf Amin keluar sebagai pemenang di Sumatera Utara. Namun, hal itu direspons Badan Pemenangan Provinsi (BPP) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dengan menolak hasil rekapitulasi penghitungan suara.

"Pelaksanaannya sudah cacat dari awal. Bagaimana mau kita akui," ujar Ketua BPP Prabowo-Sandi, Gus Irawan di Medan, Senin 20 Mei 2019.

Rekapitulasi penghitungan suara itu, berlangsung hingga tengah malam, Minggu 19 Mei 2019, sekitar Pukul 23.00 WIB. Hasilnya untuk Pilpres, Jokowi-Ma'ruf memperoleh 3.936.515 suara atau 52,32 persen. Angka ini mengungguli rivalnya, pasangan Prabowo-Sandi yang hanya memperoleh 3.587.786 suara atau 47,68 persen.

Gus Irwan yang juga menjabat sebagai Ketua DPD Gerindra Sumut, mengungkapkan para saksi dari pihaknya diinstruksikan agar tak meneken hasil rekap. Selain itu, diinstruksikan agar seluruhnya menarik diri dari proses rekapitulasi pada rapat pleno KPU Sumut.

Kecurangan lain yang ditemukan BPP, Gus Irawan mengatakan saat pencoblosan ternyata banyak yang tidak menerima formulir C-6 (undangan memilih) padahal sudah terdaftar di DPT.

"Saat mereka datang tanpa C-6, disuruh datang jam 12.00. Saat datang jam 12.00 malah petugas menyatakan surat suara sudah habis," ujarnya.

Untuk memantau kecurangan, BPP sebenarnya sudah membuat program dengana mentrace C1. "Setidaknya dari hampir 4.000 TPS yang kami trace muncul kekeliruan dan kesalahan," tutur Gus Irawan lagi.

Contohnya, ia menyebutkan  dalam UU dijelaskan bahwa satu TPS hanya boleh maksimal 300 pemilih tapi dari pantauan BPP ternyata ada TPS yang surat suaranya lebih 100.

"Padahal ketika warga yang tak dapat C-6 datang mereka bilang habis. Sesuai ketentuan harusnya Surat suara itu disiapkan sejumlah Pemilih ditambah 2 persen dari DPT," jelasnya lagi.

Dari hasil tracer tadi ditemukan banyak sekali TPS yang memiliki kertas suara melebihi dari ketentuan perundangan.

"Lalu kami teliti lagi form C-1. Di situ dijelaskan ada tiga jenis data pemilih yaitu daftar pemilih tetap (DPT), daftar pemilih tambahan (DPTb) dan DPK (daftar pemilih khusus)," ujarnya.

Pada awalnya pemilih terdaftar tidak ada yang masuk DPK, tapi nanti setelah pencoblosan ada DPK hingga 84 orang. "Ini kan terindikasi kecurangan. Lalu yang datang tanpa form C-6 mereka sebutkan surat suara sudah habis," lanjut Gus Irawan.

Bukti lain yang membuat Gus Irawan dan BPP Sumut menolak rekap KPU adalah kecurangan-kecurangan yang dibuktikan dengan video lalu viral. Misalnya perampasan C-1 oleh aparat desa yang didalam ada oknum polisi.

"Ini viral, namun yang ditangkap adalah orang yang memviralkannya. Bukan pelaku. Ibaratnya kalau ada pencuri, yang ditangkap itu orang yang melaporkan. Pencurinya tak diproses," kata dia.

Bahkan formulir DA-1 (rekap di kecamatan) pun ada banyak versi, versi A , versi B dan nanti finalnya beda lagi.Kecurangan ini terstruktur, sistematis dan masif. "Begitu banyak kecurangan terjadi. Bahkan yang kacau itu termasuk di Humbahas. Setelah selesai pleno dan hasil rekap rampung, ada warga protes ke Bawaslu," jelasnya.

Lalu Bawaslu perintahkan rekapitulasi ulang sehingga hasil akhirnya yang diterima. "Padahal dalam aturan tidak ada pleno ulang terutama diinisiasi Bawaslu untuk mengubah hasil final perhitungan suara," jelas Ketua Komisi VII DPR itu.

Kemudian, ia memberikan catatan kelemahan dalam pelaksanaan Pilpres 2019. Salah satunya terkait Situng KPU yang dinilai bermasalah. "Soal situng KPU juga bermasalah. Bagaimana mungkin suara yang diinput lebih dulu dari daerah jauh? Misalnya kita lebih cepat mengetahui hasil Pilpres di Nias daripada Medan. Secara logika mana daerah yang lebih mudah terjangkau," ujarnya. (ren)