Rocky Gerung Sebut Harusnya Ketua BPIP Orang PKS

Rocky Gerung
Sumber :
  • VIVA/Syaefullah

VIVA – Pengamat politik, Rocky Gerung mengkritik keberadaan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Menurut dia, lembaga tersebut terlalu eksklusif dengan menempatkan putri proklamator Soekarno di dalamnya. Harusnya PKS.

"Jadi kekacauan kita seolah-olah Pancasila dimonopoli oleh satu jenis, satu tipe berpolitik, itu Teuku Umar. Saya cek misalnya, Ketua BPIP harus Megawati Seoekarnoputri," kata Rocky dalam diskusi di acara Indonesia Lawyers Club tvOne, Selasa malam 30 Juli 2019. 

Rocky mengatakan, posisi-posisi dan jabatan strategis di Badan Pancasila itu kurang majemuk. Harusnya, pemimpin di badan yang baru dibentuk oleh Presiden Jokowi itu, diisi oleh kader-kader seperti Partai Keadilan Sejahtera.

"Kalau mau majemuk, kenapa tidak Mardani Ali Sera mardani Ketua BPIP, PKS Ketua BPIP. Supaya ada affirmative action dan cross-cutting loyalities di dalam masyarakat," tuturnya.

Rocky pun menyebut, eksklusivitas pada lembaga itu menunjukkan Presiden Jokowi sebetulnya tidak paham tentang kemajemukan. Ia pun mengapresiasi terhadap forum ILC selama ini yang menurutnya sudah memberi ruang membahas persoalan-persoalan tersebut ke publik.

"Jadi mengangkat Ketua BPIP secara sangat ekslusif itu justru menunjukkan bahwa Presiden tidak ngerti tentang kemajemukan," kata dia.

Sebelumnya, Rocky Gerung menyoroti soal keberadaan aksi 212. Ia memandang banyak pihak termasuk elite-elite politik salah memandang keberadaan kelompok 212. Kelompok yang belakangan aktif sebagai gerakan politik itu, dinilai bukan sekadar pendukung salah satu calon kontestasi Pemilu.

Rocky menyatakan, gerakan 212 yang pernah populer pada Pilkada Jakarta adalah sebuah teks sosial. Berbagai kelompok disatukan untuk berimajinasi tentang bangsa ini.

Rocky pun mengingatkan, agar Presiden Jokowi memahami keberadaan kelompok 212 dengan utuh. Secara tidak sadar, kata dia, publik sudah memberi cap buruk kepada kelompok tersebut.

"Saya ingin Presiden membaca teks sosial kita sebagai catatan historis. Supaya, dia tidak menjadi corong dari kepongahan global, atau kedunguan lokal dalam membaca politik. Itu yang bikin jengkel hari ini. Jadi, sinopsis kita diarahkan untuk menganggap 212 ini musuh negara," katanya.