Penyusunan Kabinet Jokowi, PBNU: Kami Merasa Terpanggil Jika Diminta

Presiden Joko Widodo disambut Ketua PBNU Said Aqil Siradj saat HUT ke-73 NU di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta, Minggu 27 Januari 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU menanggapi polemik yang sempat beredar di tengah publik, terkait penyusunan menteri kabinet pemerintahan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin.

Petinggi PBNU menegaskan, tak menyetor nama ke Jokowi. Berbeda, jika diminta Jokowi untuk mengajukan nama.

Sekretaris Jenderal PBNU, Helmi Faisal Zaini menyatakan, merasa terpanggil jika memang dibutuhkan.

"Kami merasa terpanggil, jika diminta Pak Jokowi untuk ikut dalam proses ini. Tentu kami siap," kata Helmi melalui keterangan tertulis yang diterima vivanews, Senin 5 Agustus 2019.

Ia menjelaskan, PBNU secara organisasi menilai, tantangan ke depan bagi pemerintahan Jokowi dan Ma'ruf terdapat pada tiga isu utama. Tiga isu yaitu tantangan radikalisme, terorisme, ekonomi masyarakat, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.

"Bagi PBNU, tiga tantangan tersebut ke depan perlu ditingkatkan upaya-upaya untuk mengatasinya baik dari hulu hingga hilirnya supaya lebih serius. Harus dicari formula dan juga langkah yang cepat dan konkret dalam mengatasinya," ujarnya.

Terkait masalah radikalisme, menurut dia, pendekatan yang harus dilakukan dengan penguatan pemahaman keagamaan.

Kata dia, PBNU menilai upaya memerangi penyebaran radikalisme serta hoaks di era teknologi informasi seperti sekarang ini harus menjadi isu yang penting.

Menurutnya, negara selama ini belum efektif menggunakan sumber daya dan perangkat yang ada untuk menjawab tantangan perubahan di era digital.

"Pemerintah juga belum berhasil membangun kontra narasi terhadap hoaks, radikalisme, dan terorisme," katanya.

Kemudian, menyangkut isu ekonomi, dia menyebut isu utama ekonomi terletak pada tingginya disparitas ekonomi. Menurutnya, pemerintah harus mencari cara untuk mempersempit kesenjangan tingkat ekonomi masyarakat saat ini.

"Isu utamanya adalah soal disparitas yang terjadi di mana satu persen orang kaya Indonesia menguasai sekitar 40 persen aset negara," jelasnya.