PDIP: Adakah Masa Depan Politikus Muda Tanpa Darah Soekarno?

Presiden Joko Widodo bersama Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Wapres Jusuf Kalla, Cawapres Terpilih Maruf Amin, dan Ketua Partai Gerindra Prabowo Subianto dalam Kongres V PDIP di Bali.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana

Pucuk pimpinan PDIP disebut hanya dapat diduduki oleh mereka yang merupakan trah atau memiliki darah Soekarno. Namun sejumlah anak muda tetap berminat bergabung ke partai yang memenangi tiga dari lima pemilu pasca reformasi ini.

Peluang dan masa depan seperti apa yang tersedia bagi politikus PDIP di luar kekerabatan Soekarno?

Lima tahun lalu, tak lama setelah menuntaskan pendidikan tinggi, Garda Maharsi secara resmi mendaftarkan diri menjadi kader PDIP. Alasannya, kata dia, adalah kedekatan ideologis.

Garda dan keluarganya mengagumi pemikiran Soekarno yang diistilahkan sebagai marhaenisme. Itu disebutnya sebagai pertimbangan pertama menjadi kader banteng.

Tahun 2014, ia diserahi posisi pada kepengurusan dewan anak cabang di Kecamatan Gamping, Sleman. Meski dalam lingkup yang begitu kecil, Garda telah memendam cita-cita tinggi: meniru jejak karier Joko Widodo, Tri Rismaharini, Ganjar Pranowo dan Hasto Wardoyo.

Empat nama terakhir adalah sebagian kader PDIP yang menempati jabatan di pemerintahan, baik wali kota, bupati, gubernur, bahkan presiden.

"Kalau ditanya visi saya menjadi apa, capaian merekalah yang membentuk cara berpikir saya. Itu adalah tujuan pengembangan diri saya di PDIP," ujar Garda.

Dan Garda mulai menapaki jenjang karier politiknya saat dicalonkan sebagai anggota DPR dari Dapil Lampung II pada pemilu lalu. Tapi, karena gagal ke Senayan, saat ini ia tetap beraktivitas di internal partai.

Garda yakin, beragam peluang politik lain akan terbuka satu persatu untuknya. "Dari tingkat pusat sampai anak cabang, kaderisasi berjenjang berjalan. Semuanya mengakomodasi anak muda," ujarnya.

`Kedekatan ideologis` kerap menjadi faktor bergabungnya anak muda ke PDIP. Ketua DPC Purworejo PDIP, Dion Agasi misalnya, meneruskan jejak ayahnya, Rukma Setyabudi, yang lebih dulu menjadi kader banteng.

Dion yang kini berusia 30 tahun merupakan Ketua Komisi C DPRD Purworejo, sementara ayahnya menjabat Ketua DPRD Jawa Tengah.

Yohana Rukmaningrum, caleg PDIP di Bantul, Yogyakarta, pada pemilu lalu, juga pernah membenarkan faktor itu kepada BBC Indonesia. Perempuan berusia 29 tahun itu masuk PDIP karena ibunya bertahun-tahun dekat dengan partai banteng.

Meski sekelompok anak muda secara berkala bergabung ke PDIP, mantan petinggi partai itu, Eros Djarot, menyebut hanya yang berasal dari keluarga Soekarnolah yang dapat melenggang ke pucuk pimpinan.

Eros, yang keluar dari PDIP tahun 2002, menyebut kesepakatan tidak tertulis itu telah menjadi wacana dan diperbincangkan sejak beberapa tahun lalu.

"Sudah pernah jadi keputusan bersama, seperti komitmen politik bahwa yang akan melanjutkan Mega adalah trah Soekarno," kata Eros.

Pada malam pertama Kongres V PDIP di Sanur, Bali, Kamis (08/08), BBC Indonesia menghampiri dan meminta konfirmasi pernyataan Eros kepada Prananda Prabowo. Namun putra Megawati itu menolak berbicara.

Dalam beberapa ajang resmi PDIP terakhir, Prananda kerap berada di rombongan `super penting` mendampingi ibunya. Ia hampir selalu terlihat duduk di deretan terdepan, bersama petinggi PDIP dan adiknya, Puan Maharani.

Setelah diangkat menjadi Ketua Umum PDIP untuk kelima kalinya, Mega membantah spekulasi tentang jabatan khusus bagi Prananda dan Puan, sebagai persiapan estafet kepemimpinan.

Puan pun mengklaim setiap kader PDIP memiliki kesempatan yang sama untuk menggapai karier tertinggi di internal partai.

"PDIP melihat rekam jejak kinerja setiap individu yang bekerja untuk partai. Jadi bukan memberi tempat tertentu kepada seseorang," kata Puan.

Bagaimanapun, Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI, Firman Noor, menilai suara aklamasi kader PDIP saat meminta Mega kembali menjabat ketua umum sebagai konfirmasi betapa besar pengaruh trah Soekarno di partai banteng.

Walau menyandang nama besar Soekarno, Prananda dan Puan disebut Firman tidak otomatis memiliki kapasitas menahkodai PDIP.

"Yang terjadi di PDIP sekarang adalah pengkristalan Mega dan trah Soekarno, sudah terlembaga bahwa mereka adalah citra PDIP saat ini dan ke depan.

"Namun dari faktor rekam jejak, kapasitas Prananda dan Puan belum teruji seperti Mega," kata Firman.

Maruarar Sirait, politikus PDIP yang kini duduk di DPR, menyebut ia dan seluruh kolega punya kesempatan yang sama untuk berkembang di partainya. Ia berkata, kriteria bagi calon pimpinan internal PDIP adalah karakter, prestasi, dan loyalitas.

"Partai ini sudah banyak memberikan pengalaman kepada kami. Regenerasi itu proses, harus diuji dengan tantangan politik," tuturnya.

Selama dua periode, sejak 2005, Maruarar diserahi jabatan urusan olahraga dan kepemudaan di DPP PDIP. Ia juga sempat masuk bursa calon menteri periode pertama pemerintahan Jokowi.

Tahun 2015 Maruarar tak lagi mendapat posisi di kepengurusan PDIP. Ia pun enggan menduga-duga soal kursi di kepengurusan baru.

Di sisi lain, petinggi PDIP lainnya, Djarot Saiful Hidayat, menegaskan pergantian pucuk pimpinan PDIP kemungkinan besar akan terjadi tahun 2024.

Politikus dan mantan kepala daerah yang bergabung ke PDIP tahun akhir dekade 1990-an ini berkata, Mega tengah mempersiapkan jalan bagi sang suksesor.

"Saya yakin Bu Mega punya cetak biru kepengurusan yang dipersiapkan untuk alih generasi pada 2024. Tahun itu pasti akan ada regenerasi, apalagi pemilih pemula sangat besar."

"Artinya PDIP terus membuka peluang untuk bergabungnya anak-anak muda," kata Djarot.