Revisi UU KPK: Posisi Presiden Jokowi 'Penyelamat atau Pembunuh KPK'

- Eddy Purwanto/NurPhoto via Getty Images
Sumber :
  • bbc

Surat inisiatif DPR untuk merevisi Undang Undang No. 32/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah di meja Presiden Joko Widodo. Keputusan pengubahan regulasi kini berada di tangan Presiden Jokowi.

"Saya sudah cek, surat itu sudah sampai di meja presiden," kata Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Ali Ngabalin, kepada BBC Indonesia, Senin 9 September 2019.

Berdasarkan aturan, Presiden Jokowi memiliki waktu setidaknya 60 hari untuk memberikan sikap terhadap usulan revisi UU KPK. Sementara, DPR tetap pada keyakinan meminta Presiden Jokowi untuk mengirim surat balik untuk membahas revisi UU KPK.

Namun, Ngabalin menambahkan, Presiden Jokowi akan mempelajari usulan DPR untuk merevisi UU KPK.

"Makanya presiden membutuhkan waktu untuk baca, telaah, kemudian mengajak menteri terkait untuk membahas terkait dengan revisi rancangan undang undang yang diajukan oleh DPR," katanya.

Di tengah proses ini, desakan masyarakat yang menolak revisi UU KPK terus menggelembung.

Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Lalola Easter memposisikan Presiden Jokowi sebagai penyelamat atau pembunuh KPK, tergantung dari sikap yang akan disampaikan nanti lewat surat presiden (Surpres). Surpres yang dikeluarkan Jokowi menentukan revisi UU KPK berlanjut atau tidak.

"Iya, tinggal seperti itu. Kalau mau tidak dilanjutkan sama sekali, memang presiden yang ambil sikap untuk menerbitkan surat presiden, sehingga tidak ada perwakilan dari eksekutif dalam pembahasan itu," katanya kepada BBC Indonesia melalui sambungan telepon, Senin 9 September 2019.

Lalola menambahkan, sampai saat ini dukungan dari masyarakat menolak revisi UU KPK sudah cukup solid. "Kalau masyarakat sipil, sudah terkonsolidasi dalam berbagai bentuk," katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Gita Putri Damayana menilai usulan revisi UU KPK cacat administrasi.

Berdasarkan Pasal 45 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan penyusunan RUU harus dilakukan berdasarkan Prolegnas. Sementara, revisi UU KPK belum masuk dalam prolegnas.

PSHK meminta Presiden Jokowi memperhatikan hal ini. Sebab, pada janjinya, presiden menginginkan perbaikan peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih.

"Kalau misalnya presiden ikut serta dalam dinamika yang berlangsung sekarang di DPR, bukan kah presiden punya kontribusi membuat prosedur perundang-undangan menjadi semakin semrawut?" tanya Gita dengan nada retorik.

Sebelumnya, Pimpinan KPK menolak revisi UU KPK. Penolakan ini juga disampaikan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) seluruh Indonesia, LSM, mantan ketua KPK, akademisi hingga tokoh masyarakat seperti Buya Syafii Ma`arif.

Petisi untuk Presiden Jokowi

Selain pernyataan sikap, penolakan juga disalurkan melalui petisi `Indonesia bersih, presiden tolak revisi UU KPK!`. Masyarakat yang telah menandatangani petisi melalui Change.org sejak Kamis 5 September hingga Senin 9 September 2019) mencapai lebih dari 31.000.

Petisi ini mengajak masyarakat untuk mendorong Presiden Jokowi menolak usulan revisi UU KPK oleh DPR.

Pembuat petisi penolak revisi UU KPK meyakini revisi tersebut bisa melemahkan fungsi dan kerja komisi antikorupsi ini ke depan. Ruang gerak pengawasan KPK dalam penyadapan, penggeledahan dan penyitaan akan terhambat karena semua harus izin melalui Dewan Pengawas KPK, tulis petisi tersebut.

Personel KPK juga hanya diperbolehkan dari kepolisian, kejaksaan dan penyidik PNS, sehingga nanti tidak ada lagi penyidik independen di `Gedung Merah-Putih`. Penuntutan kasus wajib berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung yang diyakini membuat proses penyidikan berbelit-belit.

Terakhir, KPK diperbolehkan menghentikan penyidikan dan penuntutan.

"Penghentian penyidikan dan penuntutan akan membuka peluang untuk adanya intervensi, padahal pengadilan merupakan lembaga yang tepat untuk menguji kebenaran hasil-hasil penyidikan dan penuntutan tersebut," tulis petisi bertajuk `Indonesia bersih, presiden tolak revisi UU KPK!` di situs Change.org.

DPR jalan terus di tengah penolakan

Akan tetapi, anggota Komisi Hukum DPR, Masinton Pasaribu, mengklaim masyarakat yang mendukung revisi UU KPK lebih banyak dari yang menolak.

"Nah, yang setuju revisi itu sangat banyak, cuma itu silent. DPR ini kan dipilih rakyat," kata politikus PDI Perjuangan saat ditemui BBC Indonesia di Gedung DPR, Jakarta, Senin.

Masinton melanjutkan, revisi UU KPK bukan dalam rangka melemahkan kewenangan KPK, tapi memperbaiki sistem.

"Kalau hari ini, publik tidak lagi melihat bahwa mengkritik KPK itu bukan bagian dari pelemahan, tapi bagian dari perbaikan sistem," ungkap pengusung revisi UU KPK ini.

Sementara itu, Anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani merespon santai penolakan masyarakat terhadap revisi UU KPK.

"Ini kan negara demokratis, wajar saja ada yang menerima dan menolak," katanya.

Capim KPK ‘dikunci’ 

Mulai Senin, Komisi Hukum DPR menyeleksi 10 nama calon pimpinan (Capim) KPK. Dalam sepekan ini, DPR menargetkan sudah bisa menyeleksi lima nama untuk diserahkan kepada Presiden Jokowi.

Dalam proses seleksi ini, kata Arsul, DPR berencana menanyakan sikap Capim KPK terhadap revisi UU KPK, dan menindaklanjutinya dalam bentuk pernyataan yang ditandatangani dengan materai.

"Seorang calon yang di fit and proper test itu biasanya menandatangani surat pernyataan, cuma biasanya standar. Kali ini fit n proper test itu plus komitmen," katanya.

Arsul menambahkan `kontrak politik` dengan DPR ini dilatarbelakangi dari pimpinan-pimpinan KPK sebelumnya yang dia yakini tidak konsisten terhadap komitmen.

"Kami sudah merasakan pada periode sebelumnya itu, terjadi perubahan sikap (pimpinan KPK). Tanpa alasan yang jelas. Semata-mata tidak mau kehilangan popularitas di mata elemen masyarakat sipil dan ruang publik," tambah Arsul.

Komisi Hukum DPR akan memberi kebebasan bagi capim KPK menentukan sikap terhadap revisi UU KPK: setuju, tidak setuju atau tidak menjawab, kata Arsul.

Tapi ada konsekuensinya jika capim KPK tidak setuju dengan revisi UU KPK. "Dia akan kehilangan kepercayaan dari DPR," katanya.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif PSHK, Gita Putri Damayana menilai `kontrak politik` ini justru menihilkan peran dari DPR yang bertugas sebagai pengawas dan pembuat kebijakan. "Saya tidak mengerti hubungan antara revisi UU KPK dengan capimnya," katanya.

Gita melanjutkan, sejauh ini revisi UU KPK juga belum dibahas dan mendapat respons dari presiden di samping cacat administrasi.

"Bagaimana mau kunci orang dari situ? Dan praktik kunci mengunci ini tidak lazim," katanya.