RKUHP: Masih Ada Pasal 'Ngawur' yang Bikin Parah Korban Perkosaan

DPR berhenti mempublikasikan hasil pembahasan RKUHP ke publik sejak 30 Mei 2018. - ANTARA FOTO
Sumber :
  • bbc

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dijadwalkan akan disahkan pada 24 September disebut masih memiliki sejumlah pasal kontroversial, sehingga dianggap justru akan "memperparah" nasib korban perkosaan yang hamil.

Salah satu kasus antara lain seorang perempuan berusia 16 tahun yang menjadi korban perkosaan tujuh laki-laki di Padang, Sumatera Barat, sebagaimana dikonfirmasi Polres Padang Pariaman, kepada BBC Indonesia.

Perempuan itu disebut mengalami perkosaan berulang-ulang sedari Februari hingga April tahun ini.

Korban, yang dilaporkan tengah mengalami trauma berat itu, kini tengah mengandung lima bulan.

"Dia tidak sekolah lagi, sudah berhenti. Dia mengundurkan diri karena hamilnya sudah kelihatan," ujar Kasat Reskrim Polres Padang Pariaman, AKP Lija Nesmon.

Regulasi yang ada saat ini, yakni Undang-Undang Kesehatan, tidak mengizinkan korban perkosaan seperti perempuan itu untuk menggugurkan kandungan yang usianya lebih dari enam minggu.

"Kondisi yang ada saat ini justru diperparah dengan kehadiran pasal pidana aborsi di dalam RKUHP", ujar peneliti Institute of Criminal Justice Research (ICJR) Indonesia, Maidina Rahmawati.

Versi RKUHP terakhir tanggal 15 September 2019 masih memuat ketentuan mengenai sanksi bagi orang yang menggugurkan kandungannya, tanpa pengecualian kondisi darurat medis dan korban perkosaan.

RKUHP hanya memuat pengecualian bagi para dokter yang melakukan penguguran kandungan, tapi tidak pada perempuan yang melakukan aborsi.

Tak hanya bagi perempuan, Maidina mengatakan RKUHP memuat pasal-pasal `ngawur` yang berpotensi menjerat kelompok adat, pasangan sesama jenis, hingga kelompok agama minoritas.

Pasal 304 RKUHP, misalnya, mengatur tentang tindak pidana terhadap agama, yang berpotensi menjerat penganut agama minoritas di Indonesia.

ICJR juga menyorot pasal-pasal yang berpotensi menghalangi kebebasan berpendapat dan berekspresi, seperti yang terkait dengan penghinaan terhadap presiden dan tindak pidana terhadap proses peradilan (contempt of court).

Pembahasan diam-diam

Ratusan orang yang tergabung dalam sejumlah organisasi masyarakat hingga mahasiswa berkumpul di depan gedung DPR untuk meminta anggota dewan menunda pengesahan RKUHP, yang dijadwalkan akan dilaksanakan pada 24 September 2019.

"Saya mendorong DPR RI untuk menunda RKUHP dan dikaji ulang bagaimana ini bisa membela korban perkosaan dan perempuan yang harus menggugurkan kandungan karena kondisi medis," ujar Rachel, anggota Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di atas mobil komando.

Sementara itu, peneliti Institute of Criminal Justice Research (ICJR) Indonesia, Maidina Rahmawati, mengkiritisi pertemuan tertutup antara DPR dan pemerintah untuk membahas RKUHP (14-15 September 2019).

Menurut anggota Panja RKUHP, Arsul Sani, pertemuan itu dilakukan di Hotel Fairmont, Jakarta.

"Asas keterbukaan tidak pernah dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Kita tidak alergi dengan KUHP baru, tapi prosesnya harus terbuka, harus bisa diakses publik karena menyangkut hajat orang banyak," kata Maidina.

DPR, kata Maidina, juga telah berhenti mempublikasikan hasil pembahasan RKUHP sejak 30 Mei 2018.

Maka, para pegiat hukum pidana, yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP, ujarnya, selalu kesulitan mencari naskah terbaru RKUHP.

Namun, Arsul Sani membantah tudingan itu. Ia mengatakan yang dilakukan oleh pemerintah dan anggota dewan bukanlah pembahasan.

"Ini kan rapat perumusan. Rapat yang harus terbuka kan rapat pembahasan, debat. Kalau merumuskan kan sudah selesai," ujar Arsul.

Lagipula, tambah Arsul, rapat itu dilakukan pada akhir pekan, maka tidak bisa dilakukan di gedung DPR.

Ia mengatakan secara politik hukum, isi RKUHP sudah disepakati, dan hal itu yang perlu diketahui publik.

"Masa mau tahu juga perumusan titik, koma, dan segala macam (dalam RKUHP)? Apakah pakai kata `terhadap` atau `atas`. Itu kan nggak usah," ujarnya.

Arsul Sani mengatakan yang sekarang perlu dirampungkan hanya bagian redaksional dan penjelasan RKUHP saja.

DPR terlihat `terburu-buru`

Dekan Fakultas Hukum Atma Jaya Jakarta, yang juga pengajar hukum pidana, Asmin Fransiska, menyarankan DPR untuk menunda pengesahan RKUHP dan melihat lagi kualitas rancangan regulasi itu.

Ia melihat DPR ingin meninggalkan warisan pada periode ini dengan mengesahkan RKUHP.

"Ini seakan-akan, secara kuantitas, mereka terburu-buru dengan banyak hal. Padahal kualitasnya jelas nggak terlalu baik bahkan melanggar hak-hak lain, terutama Hak Asasi Manusia (HAM)," ujar Asmin.

Jika memang RKUHP disahkan, ujarnya, hal itu berpotensi menciptakan masalah-masalah baru karena ada pasal-pasal dalam RKUHP yang tidak selaras dengan UU yang ada sekarang.

Contohnya, kata Asmin, peraturan mengenai narkotika.

Ia mengatakan KUHP, yang diwariskan dari zaman pemerintahan Hindia Belanda, memang sudah harus diperbarui, tapi konten RKUHP benar-benar harus diperhatikan agar tidak berpotensi menimbulkan masalah di masa mendatang.

Aksi tolak RUU PKS

Berbeda dengan RKUHP, para aktivis mendesak DPR untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) secepatnya.

RUU ini dianggap penting karena akan melindungi korban pelecehan seksual. Namun, masih ada pula kelompok yang menentang RUU tersebut.

Kepada BBC Indonesia, wartawan Julia Alazka melaporkan bahwa puluhan pengunjuk rasa dari berbagai organisasi di Bandung dan sekitarnya menggelar demonstrasi di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro Kota Bandung, Senin 16 September 2019.

Massa yang tergabung dalam Aliansi Ruang Riung ini menyerukan penolakan terhadap RUU PKS yang mereka sebut "sangat berbahaya" karena mereka yakin, regulasi itu akan melegalkan seks bebas dan LGBT.

"Jadi bapak ibu sekalian bahwa RUU PKS sangat berbahaya untuk moralitas bangsa, sangat berbahaya untuk Indonesia. Jadi hari ini kami menyatakan bahwa kami, menolak RUU PKS untuk disahkan," ujar orator di mobil komando.

Peserta aksi, Diva Oktaviani, mengaku telah mempelajari naskah akademik RUU PKS. Ia menilai dalam RUU itu ada istilah-istilah yang multitafsir dan mengarah pada LGBT. Namun, ada juga peserta yang mengaku belum membaca draf RUU PKS.

"Sekarang orang-orang yang mau berzinah dilegalkan, prostitusi dilegalkan. LGBT mau dilegalkan, kan sudah jelas-jelas itu dilarang oleh agama. Kita kan negara yang berazaskan agama, makanya kita tolak," kata seorang massa aksi, Ratna.

Ketika ditanya pasal mana saja yang melegalkan seks bebas dan LGBT, Ratna menjawab: "Kalau pasalnya enggak hapal, cuma kita secara umum tahunya seperti itu," ujarnya.

Jawabannya persis dengan Yunizar. "Ini emak-emak lah orang awam, jadi secara naluri saja kita berbicara," kata Yunizar.

Begitupun kata Hesti, yang mengaku ikut aksi karena tidak sesuai dengan budaya Indonesia dan akidah umat Islam.

"Kalau secara keseluruhan pasal per pasalnya saya belum pernah baca, tapi secara dari keseluruhan, itu enggak banget diterapkan di Indonesia," kata dia.

Sri Mulyati, Ketua Pengurus Yayasan SAPA, organisasi yang mengawal pengesahan RUU PKS, menilai orang-orang yang menolak tidak paham substansi RUU PKS.

Menurutnya, justru aturan itu melindungi orang dari perilaku yang merendahkan harkat dan martabat perempuan. Sri berpandangan RUU PKS harus segera disahkan sebagai payung hukum bagi korban kekerasan seksual.

"Jumlah korban kekerasan seksual makin banyak tapi payung hukum yang ada belum cukup melindungi berbagai bentuk kekerasan seksual yang dialami korban," kata Sri.

Selama 2018, Yayasan SAPA mencatat ada 152 kasus kekerasan seksual dari 324 kasus kekerasan terhadap perempuan di wilayah Jawa Barat.