Korupsi di Bawah Rp1 Miliar Dilimpahkan ke Kepolisian dan Kejaksaan

Demo di Malang, menentang revisi UU KPK. - Antara
Sumber :
  • bbc

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak akan bisa menangani kasus suap yang melibatkan penyelenggara negara dengan nilai di bawah Rp1 miliar sampai ke penuntutan karena kasus semacam itu perlu dilimpahkan ke kepolisian dan kejaksaan.

Langkah ini dinilai pegiat antikorupsi sebagai hal yang akan membuat publik putus asa terhadap pemberantasan korupsi karena kepolisian dan kejaksaan masih mendapat catatan merah tiap tahun dari Ombudsman Republik Indonesia terkait pelayanan publik.

Pelimpahan kasus di bawah Rp1 miliar ke kepolisian dan kejaksaan ini diatur dalam revisi UU KPK yang baru disahkan dalam rapat Paripurna DPR ke-9, Selasa 17 September 2019.

Anggota Komisi Hukum DPR, Masinton Pasaribu mengatakan, langkah ini untuk membantu KPK yang terbatas sumber dayanya.

"Sehingga KPK dengan SDM yang terbatas bisa mengembankan perannya dalam pengungkapan korupsi besar. KPK untuk memberdayakan institusi penegak hukum yang sudah ada, seperti kepolisian dan kejaksaan," kata Anggota Komisi Hukum DPR, Masinton Pasaribu kepada BBC Indonesia, Rabu, 18 September 2019.

Masinton juga menegaskan penanganan kasus korupsi di bawah Rp1 miliar oleh kepolisian akan diawasi secara ketat oleh KPK.

"Secara teknis penanganan perkara hingga penuntutan itu akan diserahkan ke kepolisian dan kejaksaan dengan supervisi KPK," kata politikus PDI Perjuangan itu.

Namun, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati menilai langkah ini akan mematikan fungsi dan peran KPK dalam memberantas korupsi. Asfinawati mengatakan sebagai lembaga yang lahir di tengah maraknya korupsi di era Orde Baru, KPK kini sudah tak berguna lagi.

"Saya pikir cepat atau lambat, kita akan kembali ke sebelum tahun 1998, di mana korupsi merajalela dan publik bahkan sudah putus asa lagi terhadap isu korupsi, karena mereka pikir (KPK) tidak ada gunanya," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati kepada BBC Indonesia, Rabu, 18 September 2019.

Menurut Asfinawati salah satu pertimbangan kelahiran KPK di masa reformasi karena publik kurang percaya terhadap lembaga penegak hukum seperti kepolisian, peradilan hingga kejaksaan.

"Konteksnya begitu dan tidak ada satu pun dari kita yang bisa mengatakan korupsi sudah nol persen di tubuh penegak hukum," tambah Asfinawati.

Terkait dengan kinerja kepolisian dan kejaksaan, kata Asfinawati, bisa dilihat dari laporan Ombudsman RI pada 2018 lalu.

Ombudsman RI menerima 1.020 laporan masyarakat terkait pelayanan publik bidang hukum yang meliputi kepolisian, kejaksaan, peradilan dan Kementerian Hukum dan HAM. Dalam laporan tersebut kepolisian menjadi lembaga penegak hukum paling banyak dilaporkan masyarakat terkait pelayanan publik.

Hal ini berkaitan dengan penanganan perkara yang berlarut, penyimpangan prosedur, tidak memberikan pelayanan, tidak kompeten dan penyalahgunaan kewenangan.

Laporan Ombudsman ini juga menyebutkan menerima laporan terkait kejaksaan dengan temuan penundaan kasus yang berlarut dan penyalahgunaan wewenang oleh sejumlah pihak kejaksaan.

"Itu untuk kasus biasa, bukan kasus korupsi. Bagaimana kalau kasus itu di bawah Rp1 miliar dan menarik perhatian publik? Dia tidak lagi di KPK. Publik harus puas dengan apa yang terjadi di kepolisian dan kejaksaan," kata Asfin sarkas.

Kepolisian siap hadapi limpahan kasus korupsi KPK

Selama ini, KPK kerap menangani kasus korupsi di bawah Rp1 miliar, khususnya kasus suap yang melibatkan penyelenggara negara.

Kasus terbaru termasuk mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Romahurmuziy yang diduga menerima uang Rp325 juta dalam perkara jual-beli jabatan. Dengan revisi UU KPK, nantinya kasus-kasus seperti ini akan langsung diserahkan penyidikannya ke kepolisian dan penuntutannya ke kejaksaan.

Juru Bicara Mabes Polri, Dedi Prasetyo mengatakan lembaganya siap untuk menerima limpahan kasus korupsi di bawah Rp1 miliar dari KPK.

"Penyidik polisi kan juga mantan penyidik KPK. Sudah sangat siap. Mulai dari tingkat polda hingga tingkat Mabes sudah sangat siap itu," katanya, Rabu, 18 September 2019.

Dedi menambahkan sampai saat ini sinergi kepolisian dengan KPK sudah sangat baik. Ia juga menjamin lembaganya akan menangani kasus-kasus korupsi limpahan dari KPK dengan akuntabilitas dan transparan.

"Pasti itu. Polisi akan tetap profesional dalam melakukan penegakan hukum," kata Dedi.

Sementara itu juru bicara Kejaksaan Agung, Mukri masih belum membalas pesan singkat dan sambungan telepon dari BBC Indonesia untuk menanggapi hal ini.

Kepercayaan publik makin luntur

Di dalam Pasal 11 revisi UU KPK ketentuan penanganan korupsi yang `mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat` dihapus DPR dan pemerintah.

Menurut mantan Wakil Ketua KPK, Haryono Umar pasal ini tidak terlalu berpengaruh terhadap KPK. Sebab, kasus yang meresahkan masyarakat dan diambilalih KPK penanganannya baru sekali muncul saat ia menjabat pimpinan KPK.

"Itu ada kasusnya satu di Jawa Timur, dan masyarakat turun ke jalan. Nah, akhirnya diambil alih kasusnya oleh KPK. Kalau umpama itu dihapuskan tidak terlalu berdampak ke KPK. Kan masih banyak kasus di atas 1 miliar yang terkait dengan penyelenggara negara," kata Haryono.

Namun, menurut Ketua YLBHI, Asfinawati ketika klausul ini dihapus, kepercayaan publik terhadap KPK akan makin luntur.

Kasus korupsi yang ditangani KPK dan mendapat perhatian masyarakat antara lain korupsi KTP elektronik, korupsi simulator SIM, impor daging sapi, suap perizinan tambang dan lahan, sampai korupsi impor bawang putih. Dalam kasus ini terdapat penyelenggara negara sebagai pelakunya.

"Yang ini bukan korupsi yang mengawang-awang, tapi korupsi untuk pangan. Hal-hal yang akan memengaruhi langsung hajat hidup rakyat. Karena masyarakat akan merasa, kok kasus-kasus saya tidak ditangani KPK. Lama-lama dukungan kepada KPK akan mengecil." kata Asfin.

"Kalau publik merasa tidak ada hubungan antaran kerja KPK dengan masalah korupsi yang mereka hadapi, maka bisa diperkirakan dukungan itu akan melemah. Atau bahkan hilang lama-lama," tambahnya.

Namun hal ini dibantah pengusung revisi UU KPK, Masinton Pasaribu. Kata dia, klausul penanganan korupsi yang `mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat` akan tetap ada dalam semangat KPK.

"Itu tetap dan menjadi bagian dari penekanan KPK, dalam penegakkan hukumnya," katanya.