RKUHP: Wartawan, Warganet hingga Dukun Santet Terancam Penjara

DPR berhenti mempublikasikan hasil pembahasan RKUHP ke publik sejak 30 Mei 2018. - ANTARA
Sumber :
  • bbc

Sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) disebut hanya merupakan salinan KUHP buatan Belanda yang tidak dievaluasi terlebih dahulu.

Pemerintah dan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah sepakat untuk membawa Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) ke Rapat Paripurna dalam Rapat Kerja (18/09).

RKUHP itu dijadwalkan untuk disahkan tanggal 24 September 2019, meski sejumlah aktivis telah menyuarakan sejumlah pasal bermasalah dalam RKUHP itu.

Sejumlah pasal yang disebut "janggal" oleh para aktivis juga lolos, tanpa keberatan pemerintah maupun fraksi-fraksi di DPR.

Pemidanaan pemilik unggas `jalan-jalan`

RKUHP, misalnya, mengatur bahwa orang yang membiarkan unggasnya berjalan di lahan yang telah ditaburi benih atau tanaman orang lain dipidana dengan denda paling banyak Rp10 juta.

Diatur pula bahwa ternak itu dapat dirampas untuk negara. Dalam bagian yang sama diatur pula bahwa setiap orang yang berjalan di lahan tersebut dapat didenda dengan jumlah yang sama.

Selain itu, RKUHP juga mengatur pidana bagi gelandangan, orang yang mengadakan pesta di jalan raya tanpa izin, hingga orang yang mengadakan pawai yang berujung huru-hara.

Anugerah Rizki Akbari, pengajar pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, mengatakan pemerintah sebagai pengusung RKUHP gagal melakukan evaluasi terhadap KUHP buatan Hindia Belanda yang mengatur aturan serupa.

"Tampaknya tidak ada evaluasi mendalam terhadap pasal-pasal yang tidak lagi kita butuhkan. Atau pasal-pasal (di KUHP) yang tidak pernah ditegakkan dalam praktiknya," ujar Anugerah.

Ia mengatakan pasal-pasal dalam KUHP buatan Belanda tidak terlalu banyak disisir oleh pembuat KUHP jika tidak menarik perhatian publik.

"Arah (hukum pidana) masih membingungkan. Evaluasi (KUHP buatan Belanda) nggak pernah ada dan pasal yang `aneh-aneh` itu masuk," ujarnya.

Pidana pelaku santet

RKUHP mengatur hukuman penjara bagi orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, menawarkan, atau memberikan bantuan kepada orang lain yang mengakibatkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang.

Dalam KUHP Belanda, pengaturan yang mirip dengan `pasal santet` ini ada dalam Pasal 545 mengenai `ahli nujum`.

Dekan Fakultas Hukum Atma Jaya Jakarta, yang juga pengajar Hukum Pidana, Asmin Fransiska, mempertanyakan relevansi pasal itu.

"Itu kan usang sekali. Tapi masih tetap ada, dipaksakan. Saya enggak kebayang nanti ngajarin santet (ke mahasiswa) itu kayak apa," kata Asmin.

Senada dengan itu, Peneliti Institure for Criminal Justice Reform, Maidina Rahmawati mempertanyakan kajian yang melatarbelakangi dipertahankannya pasal tersebut.

"Sebatas mana (tindakan itu)? Di pembahasan (RKUHP) juga nggak ada contoh kondisi apa yang memenuhi pasal itu," kata Maidina.

Memberi minuman bagi orang mabuk

RKUHP mengatur bahwa setiap orang yang menjual atau memberi minuman yang memabukkan kepada orang yang mabuk dapat dipenjara paling lama satu tahun. Peraturan ini tidak berubah dari isi KUHP buatan Belanda.

Peneliti Institure for Criminal Justice Reform, Maidina Rahmawati, mengatakan peraturan mengenai minuman keras pada praktiknya diatur oleh peraturan daerah.

Hal itu, ujarnya, menandakan pasal tersebut dicantumkan tanpa pertimbangan matang;

"(Pembuat RKUHP) menyalin tanpa terlebih dahulu mengevaluasi," ujar Maidina.

Lebih kolonial dari RKUHP Belanda

Sementara sejumlah pasal disebut hanya menyalin KUHP lama, Maidina mengatakan RKUHP tersebut malah bersifat lebih ‘kolonial’.

Ia mencontohkan peraturan RKUHP yang memberi kewenangan kepada kepala desa untuk melaporkan pasangan yang dituding melakukan kumpul kebo di wilayahnya.

Ia mengatakan peraturan itu akan memicu `overkriminalisasi`, terutama pada pasangan miskin atau masyarakat adat yang tidak memiliki dokumen perkawinan yang resmi.

"Bisa dibilang lebih kolonial karena akhirnya dia (RKUHP) menyasar ruang privat yang harusnya tidak dipidana. Yang dulu di masa kolonial aja nggak menyerang ruang privat, masa sekarang yang punya negara merdeka akhirnya menyasar ruang privat sih?" ujarnya.

Ia menambahkan pasal mengenai penghinaan presiden yang dihidupkan kembali di RKUHP, meski sudah dicabut MK, menegaskan sifat kolonial itu.

Berseberangan dengan itu, dalam Rapat Kerja DPR dan Menkumham Yasona Laoly (18/09), anggota tim perumus RKUHP, Profesor Muladi mengatakan misi dari RKUHP itu adalah melakukan `dekolonialisasi` hukum pidana yang telah berlaku selama 100 tahun.

"Kita turut berdosa telah mengajarkan secara bertahun-tahun hukum kolonial ini," ujarnya.

Meski begitu, Muladi mengatakan pemerintah perlu bersiap-siap jika kedepannya ada pihak yang mengajukan uji materi UU itu ke Mahkamah Konstitusi karena ada peraturan yang dianggap tidak konstitusional.