Ironi di Balik Pengesahan UU Sumber Daya Air dan SBPB

Mahasiswa menolak revisi UU KPK dan rancangan KUHP yang dinilai bertentangan dengan demokrasi dan HAM. Namun, beberapa RUU terkait sumber daya - Antara
Sumber :
  • bbc

Selama beberapa hari terakhir, DPR menggelar sidang paripurna guna mengesahkan sejumlah rancangan undang-undang. Revisi KUHP yang kontroversial memang ditunda, namun, beberapa RUU terkait sumber daya lain yang dinilai merugikan rakyat, seperti UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (SBPB) dan UU Sumber Daya Air (SDA), terlanjur disahkan.

DPR menyetujui permintaan pemerintah untuk menunda pengesahan sejumlah undang-undang, yakni RKUHP, RUU Permasyarakatan, RUU Pertanahan dan RUU Minerba menyusul aksi unjuk rasa para mahasiswa di berbagai kota, termasuk di Jakarta, Selasa, 24 September 2019 yang sempat diwarnai bentrokan.

Namun, di hari yang sama, yang bertepatan dengan Hari Tani Nasional, DPR mengesahkan UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan. Pengesahan beleid ini dilakukan di tengah unjuk rasa mahasiswa di luar gedung parlemen.

Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengungkapkan pengesahan ini menjadi ironi di tengah peringatan Hari Tani, sebab beleid ini berpotensi mengkriminalisasi dan merugikan petani.

"Pengesahan undang-undang bagi kami di jaringan petani menyakitkan dan mencederai petani, karena banyak pasal-pasal yang berpotensi mengkriminalisasi petani dan banyak pasal yang tidak mengakomodir hasil [putusan] MK tahun 2012," ujar Andreas yang juga Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia, kepada BBC News Indonesia, Rabu, 25 September 2019.

"Petani sangat resah saat ini melihat ketidakberpihakan DPR dan pemerintah terhadap petani," lanjutnya.

Undang-undang ini merupakan revisi dari UU No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Beleid ini digugat uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh koalisi lembaga swadaya masyarakat karena beberapa kali terjadi kasus kriminalisasi petani pemulia benih.

MK kemudian memutuskan pada 2012 bahwa UU ini bertentangan dengan UUD 1945 karena dinilai diskriminatif dan dijadikan alat untuk mengkriminalisasikan petani pemulia tanaman dalam melakukan pencarian, mengumpulkan, dan mengedarkan benih.

Namun dalam perkembangannya, pemerintah dan DPR malah sepakat mengesahkan UU SBPB yang didalamnya berisi upaya mengatur dan membatasi petani, khususnya petani kecil. Misalnya, pasal 29 yang mengatur tentang pengedaran benih hasil pemuliaan.

Pasal 29 Ayat (3) menyebutkan, varietas hasil pemuliaan petani kecil dalam negeri sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) hanya dapat diedarkan secara terbatas dalam satu wilayah kabupaten/kota.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menjelaskan, aturan ini intinya untuk melindungi petani kecil.

"Mereka bisa mengedarkan benih dalam lingkup kelompok dalam satu kota/kabupaten. Kalau (peredaran benih) ke luar namanya bukan lagi petani, tetapi pengusaha besar," ujar Amran usai pengesahan undang-undang di gedung parlemen.

Namun, menurut Dwi Andreas, pembatasan ini dinilai bertentangan dengan putusan MK yang memperbolehkan peredaran benih oleh petani kecil di seluruh wilayah hukum Indonesia. UU ini akan memberi jalan bagi korporasi benih dan petani kecil semakin tersingkir.

"Padahal jaringan petani itu kan tidak hanya di satu wilayah, petani tersebar di mana-mana. Petani selalu berjejaring dengan petani lainnya di lintas kabupaten, maka tak heran jika petani saling menukar benih," kata dia.

Dwi Andreas mencontohkan kriminalisasi terhadap petani menimpa Tengku Munirwan, petani asal Aceh yang terjadi baru-baru ini mengembangkan bibit padi IF8.

Petani ini dijadikan tersangka dan langsung ditahan karena dituding menjajakan bibit padi unggul IF8 yang belum tersertifikasi.

"Padahal teman-teman di sana memiliki dasar yang sangat kuat, tapi kok malah jadi tersangka dan amat kami sesalkan itu dilakukan atas perintah orang di pemerintahan, bukan karena misalnya ada perusahaan benih terganggu atau itu akan mengurangi pangsa pasar mereka," jelasnya.

Munirwan ditetapkan sebagai tersangka setelah Polda Aceh mendapat laporan dari Kementerian Pertanian terkait peredaran benih padi IF8 tanpa label di Kabupaten Aceh Utara.

Komersialisasi air

Peraturan ini menjadi salah satu dari beberapa peraturan perundangan terkait sumber daya alam yang dibahas DPR dan dikritik publik karena dinilai tidak berpihak kepada masyarakat kecil. Sebelumnya, DPR juga telah mengesahkan RUU tentang Sumber Daya Air pada pekan lalu.

Regulasi ini mengatur banyak hal, mulai pemanfaatan air, perizinan, hingga ancaman pidana bagi mereka yang melanggar. Dalam UU tersebut, bagi mereka yang menggunakan air untuk usaha tanpa izin bisa dijerat pidana dan denda Rp1 miliar hingga Rp5 miliar.

Periset Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA) Sigit Budiono memandang undang-undang tersebut berpeluang memicu komersialisasi air dan belum melindungi hak rakyat atas air.

Pengesahan RUU Sumber Daya Air akan mengisi kekosongan setelah Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2015 lalu.

Dalam putusan uji materi MK beralasan bahwa undang-undang itu belum menjamin pembatasan pengelolaan air oleh pihak swasta sehingga bertentangan dengan UUD 1945.

Namun, Sigit memandang dalam undang-undang yang baru, pengaturan hak asasi atas air diletakkan setara dengan hak usaha sehingga kompleksitas pemenuhan air disederhanakan semata persoalan pelibatan swasta dalam sistem penyediaan air minum (SPAM).

"Masih ada peluang untuk mengkomersialisasi air lewat SPAM yang sebenarnya adalah tanggung jawab negara dalam pemenuhan atas layanan air, itu dikategorikan sebagai kebutuhan usaha," ujar Sigit.

"Bahasanya adalah kebutuhan usaha untuk pemenuhan SPAM, itu menjadi salah satu prioritas dalam hak atas air itu sendiri. Itu sebenarnya mencampurkan pengusahaan atas air dengan hak atas air itu sendiri, yang menurut MK tidak boleh digabung," lanjutnya.

Namun, ketika menyampaikan pendapat akhir ketika UU itu akhirnya disahkan, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan bahwa RUU ini merupakan manifestasi dari komitmen pemerintah dan DPR dalam menegaskan pemaknaan penguasaan negara terhadap air.

"RUU tentang Sumber Daya Air ini mengatur tentang pengelolaan sumber daya air di Indonesia secara utuh," kata Yasonna dalam keterangan tertulis.

Menurut Yasonna, undang-undang ini juga telah mengakomodasi kebutuhan dan dinamika yang terjadi saat ini, yakni jaminan kebutuhan pokok minimal sehari-hari sebesar 60 liter per orang per hari, pengelolaan sistem irigasi sebagai satu kesatuan sistem (single management), serta perkuatan pengawasan dalam pengelolaan sumber daya air.