UU KPK Mulai Berlaku, Kasus Besar yang Sedang Diusut Bisa Tenggelam?

Anggota Wadah Pegawai KPK membawa nisan bertuliskan RIP KPK saat melakukan aksi di gedung KPK Jakarta, Selasa (17/09). - ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Sumber :
  • bbc

Kamis (17/10) ini, revisi undang-undang KPK yang menuai pro dan kontra mulai diberlakukan.

Penerapan beleid kontroversial tersebut diduga akan membuat kasus-kasus korupsi, termasuk kasus korupsi besar, yang kini sedang ditangani KPK berpotensi tak terungkap.

Hal itu diungkapkan oleh Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Oce Madril, yang menyoroti bahwa berdasarkan undang-undang yang baru, kasus yang sudah ditangani selama dua tahun atau lebih dapat dihentikan oleh KPK melalui Surat Perintah Penghentian Perkara atau SP3.

"Tentu ini membuka kemungkinan ke depan ada perkara-perkara yang dihentikan dengan cara mengeluarkan SP3. Undang-undang baru itu membuka peluang diterbitkannya surat penghentian penyidikan bagi kasus-kasus dua tahun atau lebih," kata Oce kepada BBC News Indonesia, Rabu (16/10).

Merujuk data Indonesian Corruption Watch (ICW), sedikitnya ada 17 kasus korupsi besar yang saat ini sedang ditangani KPK, termasuk kasus KTP elektronik, kasus bailout Bank Century, BLBI dan proyek pembangunan di Hambalang yang sudah bertahun-tahun ditangani lembaga antirasuah itu.

Namun, Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, menegaskan, meski undang-undang baru berlaku, proses penanganan kasus masih merujuk pada undang-undang KPK lama yang diterbitkan pada 2002 silam.

Pasalnya, hingga kini belum ada aturan turunan sebagai petunjuk teknis undang-undang itu. Apalagi, hingga kini Presiden Joko Widodo belum membentuk Dewan Pengawas.

Tiga OTT berturut-turut

Beberapa jam sebelum revisi undang-undang KPK diberlakukan, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Walikota Medan Dzulmi Eldin atas dugaan praktik `setoran` di sejumlah dinas di Medan.

Selain terhadap Dzulmi Edin, pada hari yang sama, KPK melakukan OTT terhadap Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Wilayah XII Refly Ruddy Tangkere. Dia dijerat lantaran diduga menerima suap terkait dugaan suap proyek jalan di Kalimantan Timur.

Sehari sebelumnya, komisi antirasuah itu juga menangkap Bupati Indramayu, Supendi, atas keterlibatannya dalam kasus dugaan suap proyek di Dinas Pekerjaan Umum Indramayu.

Ini adalah hasil dari operasi senyap yang dilakukan KPK selama dua hari berturut-turut sejak awal pekan ini.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengungkapkan gencarnya KPK melakukan operasi senyap belakangan mengindikasikan "tingkatan orang melakukan tindakan koruptif memang menjadi-jadi".

"Hal itu karena, mungkin saja, KPK sedang lemah dan berkonsentrasi menghadapi revisi Undang-Undang KPK, sehingga mereka banyak melakukan tindakan koruptif," jelas Feri.

OTT yang dilakukan pada Rabu (16/10) dini hari itu menjadi OTT ke-21 yang dilakukan KPK sejak awal 2019. Sementara, Dzulmi Edin menjadi kepala daerah kesembilan yang terjerat kasus korupsi.

Oce Madril dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada mengungkapkan berbagai kasus korupsi yang menjerat kepala daerah menunjukkan tidak ada perubahan yang dilakukan pemerintah terkait tata kelola di daerah.

"Selain itu, kepala daerah kita masih menggunakan cara-cara koruptif untuk memerlukan sejumlah keuntungan tertentu, termasuk untuk kepentingan politik," ungkapnya.

Merujuk data KPK, OTT yang dilakukan terhadap Wali Kota Medan, Dzulmi Eldin, merupakan OTT ke-128 yang dilakukan KPK sejak 2005.

Kabiro Humas KPK Febri Diansyah menyebut dari jumlah tersebut, 126 OTT sudah masuk ke tahap penyidikan.

Dia menambahkan, 444 orang tersangka kasus korupsi hasil dari OTT kini sedang diproses KPK.

"OTT ini memang tidak disukai oleh para pejabat korup. Karena sifatnya yang seketika terjadi tanpa bisa diperkirakan oleh mereka. Dan proses penyidikan hingga persidangan juga cepat dan terukur. Kesempatan menghilangkan atau mengaburkan bukti juga lebih sulit," ujar Febri seperti dikutip dari detik.com.

OTT akan semakin sulit?

UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menjadi landasan hukum implementasi OTT.

Namun Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan, Indonesian Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, memandang undang-undang yang baru dianggap melemahkan KPK, karena akan mempersulit KPK dalam melakukan OTT ke depan.

Pasalnya, penyadapan hingga penggeledahan harus melalui izin Dewan Pengawas yang diamanatkan undang-undang tersebut.

"Izinnya akan sulit, karena OTT base -nya adalah penyadapan dan penyadapan harus melalui Dewan Pengawas, terlalu birokratis dan tidak cepat," ujar Kurnia.

Senada dengan Kurnia, Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi, menyebut semakin panjangnya birokrasi dan semakin banyaknya pihak yang terkait, maka penyadapan yang dilakukan setelah Undang-Undang ini diterapkan "menyulitkan proses" dan " menghambat kewenangan KPK"

"Sedangkan dalam praktik tangkap tangan yang diperlukan adalah ketelitian dan kecepatan untuk mengambil keputusan. Ini akan lebih sulit dan menjadi penghambat pelaksanaan kewenangan KPK," ujar Fajri.

Sementara, menurut Oce Madril, dengan adanya undang-undang KPK yang baru "akan lebih memanjakan para koruptor" karena ke depan OTT akan lebih sulit dilakukan.

"Dan kita tahu yang diungkap dengan cara OTT adalah transaksi suap, yang pembuktiannya cukup sulit. Sehingga, ke depan, transaksi suap akan marak terjadi. Karena satu-satunya cara untuk mengungkap korupsi dalam bentuk suap adalah dengan operasi tangkap tangan dan itu melalui penyadapan," jelas Oce.

`KPK berada di bawah tekanan`

Selain itu, kewenangan baru KPK yang bisa menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam jangka waktu dua tahun itu dinilai Oce Madril bisa membuat KPK kesulitan menangani kasus besar dan justru membuat KPK berada di bawah tekanan.

"Tentunya dibukanya peluang itu akan membuat KPK dibawah tekanan karena tentu setelah ini akan banyak pihak yang meminta dan mendesak KPK agar menghentikan perkara-perkara yang lebih dari dua tahun dan itu belum selesai," kata Oce.

Kekhawatiran yang sama diungkapkan oleh Kurnia Ramadhana dari ICW yang menyebut penghentian kasus yang penanganan kasusnya melebihi dua tahun itu akan "berimplikasi buruk pada kelembagaan KPK".

"Kita bisa melihat kasus yang dibawah tahun 2017, ada lebih dari 10 kasus besar yang ditangani KPK dan memang harus dipahami bahwa tidak tepat memberikan tengat waktu dalam penerbitan SP3 karena kan setiap perkara tingkat kerumitannya berbeda," ujarnya.

Dia mencontohkan, kasus-kasus korupsi besar yang saat ini sedang ditangani KPK antara lain kasus KTP elektronik dengan kerugian negara Rp 2,7 triliun. Selain itu, ada kasus BLBI dengan kerugian negara Rp 4,8 triliun, dan ada kasus besar lain seperti bailout Bank Century.

"Kalau kita bicara tangkap tangan kan konstruksi perkaranya sangat mudah. Dengan modal penyadapan sudah terbukti di persidangan. Tapi kalau kasus-kasus besar yang berkaitan soal perbankan misalnya, itu kan membutuhkan waktu yang cukup panjang," imbuh Kurnia.

Namun, Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, menegaskan, meski undang-undang yang baru mulai berlaku, proses penanganan kasus masih merujuk pada undang-undang KPK lama yang diterbitkan pada 2002 silam.

Pasalnya, hingga kini belum ada aturan turunan sebagai petunjuk teknis undang-undang itu. Apalagi, hingga kini, Presiden Joko Widodo belum membentuk Dewan Pengawas.

"Jadi kalau ditanya sampai dengan undang-undang itu perlengkapannya ada kami akan tetap memakai undang-undang 2002, artinya apa yang disebut orang OTT berhenti, tentu tidak terus kasus yang lama berhenti, kita akan terus lanjut," ujar Saut.

Dia pula mengimbau masyarakat agar "tidak ragu" dengan penanganan kasus-kasus korupsi, terutama kasus korupsi besar, pascapenerapan undang-undang baru.

"Kasus-kasus besar itu, itu semuanya prudent. Kalau kia bicara BLBI itu kan sudah jelas putusan Budi Mulia, kalau bicara [kasus] Century, kita akan [ajukan] PK nanti."

"Kita masih tetap semangat," tegasnya.

Presiden diharapkan tetap terbitkan Perppu KPK

Berkaca pada kontroversi terhadap undang-undang KPK hasil revisi, koalisi masyarakat sipil mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) yang diharapkan dapat menunda produk hukum itu.

Usai bertemu dengan jajaran Ketua dan Wakil Ketua MPR, Jokowi hanya diam dan tersenyum ketika disinggung perihal perubahan UU KPK yang akan berlaku efektif mulai hari ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Namun, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menjelaskan penerbitan Perpu setelah undang-undang itu berlaku, masih dimungkinkan.

"Hemat saya presiden sedang menunggu pelantikan tanggal 20 karena mungkin presiden mempertimbangkan relasi politiknya dengan partai yang menolak Perpu," ujar Feri.

Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi menyayangkan keengganan Jokowi untuk "mengoreksi proses yang berjalan secara tidak benar" dalam pembentukan revisi UU KPK.

"Ini langkah yang tidak terlalu populer di kalangan publik dan saya pikir ini harus jadi alarm besar, bahwa harapan reformasi sudah mulai dilemahkan," ujar Fajri.

Sementara itu, kalangan mahasiswa beberapa waktu lalu memang pernah memberikan ultimatum kepada Jokowi.

Jika kepala negara tidak mengeluarkan Perppu KPK sampai 14 Oktober 2019, mereka berjanji akan menggelar aksi demo dengan skala lebih besar.