Kabinet Kerja Jokowi Jilid II Tersandera Elite Politik?

Presiden Joko Widodo berjalan bersama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) usai melakukan pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10). - Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO
Sumber :
  • bbc

Cara Presiden Jokowi menyusun kabinet dinilai lebih banyak masuk kepentingan elite politik dibandingkan periode sebelumnya. Bahkan, peneliti organisasi antikorupsi Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, menilai Jokowi telah tersandera elite politik dalam menentukan kabinet 2019 - 2024.

"Hitung-hitungan politiknya jadi lebih rumit bagi presiden. Termasuk juga dengan koalisi yang lebih besar, dari periode yang sebelumnya," kata Donal kepada wartawan Muhammad Irham yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Dibandingkan periode 2014 lalu, kata Donal, Presiden Jokowi bersama wakilnya, Jusuf Kala, melibatkan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dia menganggap, lima tahun silam saran dan masukan dari kedua lembaga ini diperhatikan untuk mendapatkan calon menteri yang memiliki rekam jejak yang baik serta berintegritas. Keterlibatan KPK dan PPATK juga sebagai langkah mencegah masalah korupsi di kemudian hari, ujar Donal Fariz.

"Tapi tidak untuk periode ini," katanya.

Menurutnya, kepentingan-kepentingan politik makin beragam setelah Jokowi bertemu sejumlah tokoh di luar pemerintahan, seperti Prabowo Subianto (Gerindra), Susilo Bambang Yudhoyono (Demokrat), dan Zulkifli Hasan (PAN).

Selain itu, politik transaksional juga sangat rentan dengan banyaknya kepentingan elit politik yang masuk dalam penyusunan kabinet ini, tambahnya.

"Ini menjadi kondisi yang menyulitkan bagi presiden untuk menyusun kabinet, karena berada dalam persimpangan di antara kepentingan publik dan kepentingan partai," kata Donal.

Penyusunan kabinet `lebih tertutup`

Sementara itu, Direktur Eksekutif Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi, menilai penyusunan kabinet Kabinet Kerja jilid II lebih tertutup. Padahal, sebelumnya, Jokowi-Jusuf Kalla membentuk tim yang bisa dipantau masyarakat.

"Presiden terlihat sangat tertutup untuk kemudian memunculkan nama-nama yang akan dimunculkan. Beda dengan 2014, yang memang lebih terbuka terhadap proses ini," katanya.

Begitu pun prinsip kehati-hatian lebih tampak saat penyusunan kabinet di 2014, terbukti dari kebijakan Jokowi melibatkan PPATK dan KPK, kata Veri.

Di sisi lain, Veri mengakui Presiden Jokowi justru lebih kuat posisinya saat ini. Buktinya, kata dia, Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri sampai terang-terangan meminta jatah menteri paling banyak saat Kongres di Bali, Agustus lalu.

Lobi-lobi "berbagi kue di dalam kabinet" juga lebih kentara dari penyusunan Kabinet Kerja jilid I. Hal ini terlihat dari sinyalemen pertemuan tokoh partai di luar pemerintah: Prabowo Subianto, SBY dan Zulkifli Hasan dengan Jokowi.

"Secara politik juga terlihat berbeda dengan sebelumnya. Hari ini presiden terlihat sangat powerful, sangat kuat," jelas Veri.

Jokowi `lebih otonom dan berpengalaman`

Politikus senior PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, mengatakan Jokowi bekerja secara diam-diam dalam menyusun kabinet kali ini demi menghindari kegaduhan. Kata dia, banyak tim di lingkungan Istana yang memberikan kajian dan rekomendasi terkait dengan kabinet.

"Ada banyak tim. Tapi tidak boleh ada di koran (media massa) untuk bikin opini publik. Karena dia mau menguji (hak) prerogratif itu. Jadi biarkan Jokowi menjalankan kerjaannya dengan caranya sendiri," katanya kepada BBC News Indonesia, Kamis (17/10).

Lebih lanjut, Eva mengatakan tak ada pendiktean dari elite politik saat Jokowi menyusun kabinetnya.

"Jangan ada kekhawatiran didikte ketum (ketua umum parpol), enggak ada itu. Karena ketum sendiri, seperti Bu Mega mengimbau enggak bisa dikte. Karena (Megawati) menghormati hak prerogratif itu," katanya.

Eva juga meminta masyarakat bersabar dengan komposisi kabinet kerja Jokowi jilid II. Pengumumannya akan dilakukan saat pelantikan 20 Oktober atau sehari setelahnya.

"Kita tunggu saja, hasil keputusan yang dilakukan dengan metode Pak Jokowi itu di pengumuman kabinet," katanya.

Hal senada dikatakan Tenaga Ahli Utama bidang Komunikasi Politik, Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin. Ia menolak Jokowi dikatakan tersandera elite politik dalam menyusun kabinet.

Ia juga mengatakan, Presiden Jokowi tidak lagi melibatkan PPATK dan KPK karena sudah berpengalaman di periode sebelumnya.

"Daripada menyerahkan kepada orang lain, kenapa tidak beliau sendiri," kata Ali Ngabalin kepada BBC News Indonesia.

Lebih lanjut, Ngabalin mengatakan komunikasi antara Jokowi dengan elite partai penyeimbang, Prabowo Subianto, SBY dan Zulkifli Hasan tak akan merugikan semua pihak, termasuk partai koalisi pendukung pemerintah.

"Supaya maksudnya mengkomunikasikan lebih indah, lebih enak didengar. Lebih asik membicarakannya, jangan juga mereka tersinggung, atau (merasa) tidak dilibatkan," katanya.

Pada akhirnya, kata Ngabalin, pilihan Gerindra, Demokrat atau pun PAN untuk berada di luar pemerintahan atau berkoalisi tetap penting untuk menjaga keseimbangan dalam kenegaraan.

"Dan untuk kepentingan bangsa dan negara mereka juga siap ada di luar kabinet, karena melakukan kontrol kepada pemerintah, itu adalah sesuatu yang mulia," katanya.

Lobi-lobi politik susun kabinet

Pertemuan Prabowo, SBY dan Zulkifli Hasan di Istana Kepresidenan menjadi "kode keras" lobi-lobi politik berlangsung jelang pelantikan presiden, Minggu, 20 Oktober 2019. Pertemuan yang digelar dalam waktu terpisah itu diakui Jokowi dalam rangka "peluang masuk kabinet".

"Kita bicara itu (peluang Demokrat masuk koalisi), tapi belum sampai sebuah keputusan," kata Jokowi usai bertemu Ketua Umum Partai Demokrat, SBY di Istana, Kamis, (10/10).

Pada kesempatan yang sama, Jokowi juga mengatakan peluang susunan kabinet yang sudah selesai masih bisa berubah.

"Ya mungkin ada pertimbangan masih bisa berubah," kata Jokowi.

Berselang satu hari, Jumat (11/10), Jokowi bertemu Prabowo Subianto --rival dua kali berturut-turut dalam Pilpres, di Istana Negara.

"Tapi urusan satu ini (koalisi) belum final. Kami tadi sudah berbicara banyak mengenai kemungkinan Partai Gerindra untuk masuk ke koalisi kita," kata Jokowi, Jumat (11/10).

Prabowo pun menyatakan siap bergabung, jika partainya dibutuhkan dalam pemerintahan.

"Kami siap membantu kalau diperlukan. Kalau umpama kita tidak masuk kabinet, kami tetap akan loyal di luar sebagai check and balances. Sebagai penyeimbang," katanya.

Keinginan Gerindra merapat dalam koalisi juga ditunjukkan dari safari Prabowo Subianto dengan elite politik parpol koalisi.

Mulai makan bareng hidangan khusus nasi goreng buatan Ketum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, sampai santap malam bersama Ketum NasDem, Surya Paloh. Prabowo juga melakukan safari politk dengan elite dari parpol pemerintah lainnya, yaitu PKB, PPP, dan Golkar.

Beberapa hari usai pertemuan dengan Presiden RI ke-6 itu, giliran Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan datang ke Istana Negara, Senin (14/10). Dalam pertemuan itu, Jokowi mengakui telah membahas peluang koalisi.

"Ya ada (peluang koalisi), tapi belum final. Belum rampung," kata Jokowi.

Sebelumnya PAN keluar dari pemerintahan, dan memberi dukungan ke Prabowo Subianto di Pilpres 2019. Beberapa politikus PAN sempat menyatakan partainya tetap beroposisi hingga 2024 mendatang.

Nasib elektabilitas Gerindra jika berkoalisi

Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Kuskridho Ambardi, menilai elektabilitas Gerindra sedikit banyak berpengaruh jika mengambil posisi bergabung dengan koalisi. Ini sangat bergantung dari kinerja menterinya, kalau memang dapat jatah.

"Performance menteri itu akan mempunyai dampak elektoral, satu. Kedua, apakah panggung menteri itu akan dilaksanakan maksimal," kata Dodi, sapaan Kuskridho Ambardi kepada BBC Indonesia.

Hal lain yang ikut mempengaruhi adalah konsistensi Prabowo Subianto terhadap janjinya.

"Kepemimpinan itu sangat mempengaruhi. Nah, citra seperti apa yang muncul setelah bergabung, itu yang nanti akan jadi pertimbangan pemilih," lanjut Dodi.

Hal ini juga akan berlaku terhadap partai-partai yang selama ini berada di luar pemerintahan dan hendak bergabung dengan koalisi Jokowi.

Wakil Ketua Umum Gerindra, Arief Poyuono, mengaku partainya minta jatah lima menteri kepada Jokowi. Permintaan ini sebagai syarat partai berlambang Garuda ini menjadi bagian dari pemerintah.

"Kita mintanya lima. Mungkin dikasih tiga," katanya melalui sambungan telepon.

Arief mengakui pilihan bergabung dengan koalisi pendukung Jokowi akan berpengaruh terhadap suara partainya kelak. Tapi, menurut dia, elektabilitas akan bergantung dari regenerasi kader sebagai mesin partai.

Dampak positifnya Gerindra bergabung dengan kolisi pro-Jokowi, kata Arief, masyarakat bisa mengukur menteri-menteri dari partainya itu.

Kebijakan-kebijakan yang dibuat menteri dari Gerindra menjadi ukuran kemanfaatan kepada masyarakat.

"Tapi kalau kerjanya juga tidak benar. Cuma kerjanya maling, nyolong uang negara, siap-siap Gerindra akan hancur elektabilitasnya," katanya.

Koalisi dan penyeimbang harus sama kuat

Upaya para elite parpol penyeimbang untuk merapat ke koalisi, kata Direktur Eksekutif KoDe Inisiatif, Veri Junaedi, bakal menyulitkan jalannya pemerintahan yang lebih baik.

"Kalau semua partai itu menjadi partai pendukung pemerintah, tidak ada oposisi, siapa yang kemudian akan mengontrol kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah," katanya.

Semestinya, tambah Veri, untuk menjalankan pemerintahan presidensial, kekuatan antara koalisi dan partai penyeimbang sama-sama kuat.

"Ketika parlemen membuat kebijakan semena-mena, ada presiden yang akan mengontrol. Begitu juga ketika presiden akan mengeluarkan kebijakan, maka ada DPR yang akan mengontrol," lanjutnya.

Namun, menurut Wakil Ketua Umum Gerindra, Arief Poyuono, tak ada persoalan parpol penyeimbang masuk ke koalisi pendukung Jokowi. Sebab, kata dia, kontrol terhadap kerja pemerintah tetap berada di DPR.

"Tidak ada legislatif pro pemerintah. Karena legislatif kan dipilih langsung oleh rakyat. Maka rakyatlah yang mengontrol pemerintahan itu melalui DPR," katanya.

Di Indonesia juga tak dikenal dengan istilah oposisi. Kata Arief, idealnya peran DPR dalam mengawasi pemerintah juga tak bisa diintervensi partai politik.

"Justru ketika DPR-nya tidak melakukan kontrol maka bisa terjadi kesepakatan-kesepakatan yang berarah negatif. Misalnya, untuk bersama korupsi besar-besaran," katanya.

Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Jakarta, Wijayanto, menilai tidak semuanya seideal itu.

Anggota DPR memiliki peran sebagai pengawas, tapi juga mereka tunduk terhadap kebijakan partai. Kata Wijayanto banyak parpol penyeimbang yang bergabung dengan koalisi, dikhawatirkan membuat pemerintahan berjalan absolut, tak bisa dikendalikan.

Ini kemunduran demokrasi, kata Wijayanto. Gejalanya sudah tampak saat pengesahan Undang Undang KPK yang secara bulat ditentukan DPR dan pemerintah, tanpa mempertimbangkan masukan publik.

Produk kebijakan ini sebelumnya diprotes melalui gelombang aksi demonstrasi dan pernyataan sikap mahasiswa, civitas akademika, tokoh masyarakat hingga masyarakat sipil. UU KPK diyakini bisa melemahkan lembaga antirasuah.

Namun, aksi unjuk rasa tetap membuat DPR dan pemerintah bergeming. Satu-satunya harapan publik, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) sebagai langkah membatalkan UU KPK. Tapi sampai aturan ini berlaku Kamis (17/10), tak ada tanda-tanda Jokowi akan mengeluarkan Perpu.

"Konsolidasi di antara elit ini, sudah terjadi jauh-jauh hari, sejak revisi UU KPK. Dan kemudian berlanjut, waktu itu paripurna mengesahkan juga UU MD3, di mana pimpinan MPR itu ada 10 ketua dan wakil ketua, sehingga semua mendapatkan kursi," katanya.

Rawan putar balik ke Orde Baru

Di dalam revisi Undang Undang MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) jumlah pimpinan MPR ditambah semula lima menjadi perwakilan dari fraksi. Artinya jatah kursi pimpinan MPR tidak lagi diperebutkan melalui mekanisme pemilihan tapi sudah otomatis mewakili fraksi.

Hal ini apa yang disebut Wijayanto sebagai oligarki kekuasaan, "Yang terdiri dari orang yang berkuasa dan bersama-sama berusaha untuk mempertahankan kekuasaanya. Mereka mensabotase prosedur demorasi yang ada, supaya tetap bisa survive sebagai segelintir penguasa."

"Jadi sepertinya kita melihat gejala adanya kemunduran demokrasi di Indonesia. Tapi bisa saja terjadi putar balik. Ibarat mobil putar balik kemudian ngebut menuju ke masa lalu. Orde Baru jilid II," lanjut Wijayanto.

Saat ini, kata Wijayanto, saluran aspirasi publik perlahan tersumbat. Parpol penyeimbang sudah tidak bisa optimal mengkritisi pemerintahan. Media massa kebanyakan sudah dikuasai pemilik modal yang berafiliasi dengan pemerintah.

Kritik melalui media sosial berpotensi diserang balik dengan pasukan buzzer. Aksi unjuk rasa akan menghadapi tekanan dari aparat keamanan, kata Wijayanto.

Berdasarkan catatan Freedom House, Indeks Kebebasan di Indonesia terus menurun periode 2016 - 2019. Indeks ini menggunakan skala 0 - 100, di mana semakin mendekati angka 100 Indeks Kebebasan suatu negara semakin baik.

Pada 2016 skor Indeks Kebebasan di Indonesia sebesar 65, dan bertahan sampai 2017. Pada 2018 turun menjadi 64 dan kembali melorot pada 2019 menjadi 62.

Hak politik dan kebebasan sipil di Indonesia disebut makin turun lantaran sejumlah persoalan yaitu korupsi, kriminalisasi aktivis, diskriminasi terhadap kelompok minoritas hingga persoalan di Papua.

"Situasi kebatinan demokrasi kita, apa pun yang dimaui elite, publik tidak punya pilihan, selain harus menerima. Nah ketika mau protes, retriksi begitu banyak terjadi," kata Wijayanto.

*Artikel ini merupakan bagian keempat dari serial tulisan menjelang pelantikan Joko Widodo-Ma`ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih pada 20 Oktober mendatang.