Veronica Koman, Tersangka di RI, Dapat Penghargaan HAM di Australia

Veronica sendiri saat ini bermukim di Australia, tempatnya menimba ilmu untuk gelar magister hukum. - Facebook/Veronica Koman
Sumber :
  • bbc

Pengacara yang banyak menangani persoalan HAM di Papua, Veronica Koman, mendapat penghargaan dari The Australian Council for International Development (ACFID) saat dirinya masih berstatus tersangka, predikat yang disematkan Kepolisian Republik Indonesia kepadanya.

Penghargaan Sir Ronald Wilson Human Rights itu diterima Veronica pada Rabu (23/10).

CEO ACFID, Marc Purcell, mengatakan penghargaan yang diberikan kepada Veronica mewakili apa yang disebutnya sebagai kekuatan dan keberanian orang-orang yang membela HAM orang Papua Barat.

"Yang tidak akan diam dan terus bekerja sampai dunia menjadi tempat di mana HAM dilindungi dan dijunjung tinggi," ujar Purcell sebagaimana dilansir dari laman .

Veronica berharap penghargaan itu dapat meningkatkan kesadaran masyarakat Australia tentang apa yang disebutnya sebagai pelanggaran HAM di Papua.

Sementara, Direktur Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri RI, Achsanul Habib, mengatakan penghargaan itu tidak merefleksikan sikap resmi Australia kepada Indonesia karena penghargaan itu tidak diberikan pemerintah Australia.

"Kalau ada masyarakat sipil, organisasi (yang memberi penghargaan) silakan saja. Australia kan negara demokrasi dan Indonesia juga cukup matang kok untuk menyikapi sikap-sikap seperti itu, nggak ada masalah," ujar Achsanul.

Ia menambahkan, pemerintah mengimbau Veronica untuk mengikuti panggilan pemeriksaan polisi dan mengikuti proses hukum yang ada.

" Toh negara kita adalah negara yang terbuka, yang bersangkutan bisa bawa lawyer . Kalau ada perlakuan yang tidak objektif, yang bersangkutan bisa adukan ke Ombudsman, Komnas HAM, silakan saja terbuka," ujar Achsanul.

"Jadi jangan berpolemik di publik... Semua sama di mata hukum."

Pada September lalu, Kepolisian Daerah Jawa Timur menetapkan Veronica Koman sebagai tersangka dugaan provokasi dalam peristiwa di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, 17 Agustus lalu.

Kapolda Jatim, Irjen Luki Hermawan, mengatakan penetapan itu diputuskan setelah mendapati dugaan provokasi yang mengarah ke hoaks dalam unggahan Veronica di Twitter.

Veronica sendiri saat ini bermukim di Australia, tempatnya menimba ilmu untuk gelar magister hukum.

Berikut petikan wawancara BBC News Indonesia dengan Veronica Koman.

Bagaimana perasaan Anda mendapat penghargaan ini?

Merasa kaget, merasa honored, terhormat untuk menerima itu. Tapi pada saat yang sama juga saya merasa survivor`s guilt. Kayak, terjemahan literalnya, merasa bersalah sebagai penyintas karena sebenarnya kasus aku itu satu dari begitu banyak.

Yang mana itu satu rangkaian dari `pukulan balik` dari aparat, dari seratusan ribu orang turun ke jalan minta referendum.

Cuma yang paling dapat spotlight aku, makanya dari awal saya tidak menanggapi kasus saya. Meskipun tiap hari, sampai dua minggu lamanya lebih, Polda Jatim konpers segala macam. Karena saya tahu persis, kasus saya cuma satu dari segitu banyak.

Jadi, saya juga merasakan, waduh ini yang lain jauh lebih banyak yang lebih susah, tapi saya dapet ini.

Tapi, ya sudah, saya anggap ini kesempatan untuk raising awareness terutama di Australia soal pelanggaran HAM yang terjadi di Papua juga penyangkalan hak fundamental orang Papua terhadap penentuan nasib sendiri yang sudah sekian lama.

(Sebelumnya pada akhir bulan Agustus lalu, mantan Menkopolhukam Wiranto mengatakan tuntutan referendum tak tepat ) .

"Tuntutan referendum itu saya kira tak lagi harus disampaikan karena apa? NKRI sudah final," kata Wiranto.

"New York Agreement yang pernah dilaksanakan di tahun `60-an itu sudah mengisyaratkan bahwa Irian Barat waktu itu, sekarang Papua dan Papua Barat, sudah sah menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga NKRI sudah final, NKRI harga mati, termasuk Papua dan Papua Barat.")

Bagaimana penghargaan ini berpengaruh terhadap apa yang Anda perjuangkan untuk masyarakat Papua?

Saya pikir ini jadi kesempatan, terutama di Australia. Jadi orang-orang yang tadinya tidak tahu apa yang terjadi di Papua, mungkin jadi mendengar `loh kenapa bisa ada orang Indonesia dapat penghargaan karena kerjanya tentang Papua?`

Memang ada apa di Papua? Dari situ pasti banyak yang kemudian menggali. Saya kira ini adalah kesempatan yang bagus untuk meningkatkan kesadaran publik di Australia tentang apa yang terjadi di Papua.

Penghargaan ini diberikan oleh pemerintah Australia di tengah kecaman pemerintah Indonesia terhadap Anda. Pemerintah bahkan mengklaim interpol sudah mencari Anda. Bagaimana Anda menanggapinya?

Dari awal kan memang saya yang tidak terlalu banyak komentar soal itu.

Apakah pernah terbersit di benak Anda untuk pulang ke Indonesia untuk menghadapi masalah hukum Anda?

Sebenarnya saya tidak kembali ke Indonesia karena saya akan lebih berguna bagi orang Papua kalau saya bisa tetap melaporkan apa yang terjadi di Papua.

Kalau, misalnya, sistem peradilan kita baik tentu dengan..lebih bisa...akan lebih mudah bagi saya untuk ikut di situ.

Tapi kan, ini Komnas HAM juga bilang ini kriminalisasi. Bukan hanya saya menganggap itu kriminalisasi. Bahkan PBB secara implisit menyatakan seperti itu. Untuk apa saya tunduk pada upaya kriminalisasi?

Sedangkan saya akan lebih berguna bagi orang Papua kalau saya bisa melaporkan apa yang terjadi di Papua ke luar, dalam arti Indonesia dan di luar Papua. Itu menurut saya akan lebih berguna bagi orang Papua.

(Sebelumnya, Polda Jatim telah menampik tudingan kriminalisasi kepada Veronica, tak lama setelah polisi menetapkan Veronica sebagai tersangka.

"Ini proses hukum ya, ada dia (Veronica) melakukan perbuatan yang melanggar hukum," ujar Kapolda Jatim, Irjen Luki Hermawan).

Sejumlah pihak menilai Anda telah mengkhianati bangsa dan negara melalui advokasi Anda tentang Papua. Bagaimana Anda menjawab tuduhan itu?

Menurut saya, yang pasti saya sama sekali tidak dendam, bahkan tidak marah kepada mereka, sama sekali tidak. Karena dulu saya pernah jadi seperti mereka. Dulu saya tidak tahu apa yang terjadi di Papua.

Justru, menurut saya, dengan munculnya debat tentang Papua itu bagus. Selama ini kan informasi tentang Papua difeeding-nya satu arah saja dari pemerintah, tidak ada informasi alternatif.

Ketika ada informasi alternatif itu menurut saya awal yang baru untuk informasi tentang Papua.

Anda juga dituduh berkonspirasi dengan pemerintah asing untuk membuat Papua lepas dari Indonesia. Bagaimana Anda menjawab tuduhan itu?

Itu menurut saya adalah orang-orang yang, pertama, memang tidak paham sejarah Papua bahwa perlawanan orang Papua sudah ada dari tahun 60`an bahkan sebelum itu.

Kedua, orang-orang itu berwatak kolonial karena ibaratnya ini, `Oh ini orang Papua, apakah mereka kelompok orang yang lebih bodoh kah atau apa? Tidak bisa berpikir sendirikah tentang sejarah mereka dan apa yang mereka mau untuk masa depan mereka? Penentuan nasib sendiri.` Itu kan berarti menganggap remeh.

Bagaimana komunikasi Anda dengan pemerintah Indonesia sejauh ini? Apa pernah mendapat panggilan dan sebagainya?

Tidak ada. Saya sebetulnya di Australia sini, saya belum pernah dapat surat panggilannya.

Bagaimana dengan paspor dan visa Anda?

Itu saya juga tidak tau gimana ceknya sudah dicabut apa belum paspornya. Saya juga kurang paham itu bagaimana.

Bagaimana beasiswa Anda yang sempat dipermasalahkan pemerintah?

Iya sempat. Yang muncul di media itu toh?

Tapi saya pikir negara demokrasi, masa semua yang terima beasiswa dari pemerintah itu harus nurut ketika terjadi pelanggaran HAM? Kan itu namanya... Maksudnya, masa negara mau mencetak domba-domba?

Ketika saya diwawancara pas penerimaan beasiswa kan mereka tahu saya pengacara HAM. Pengacara HAM mana sih yang kerjaannya muji-muji pemerintah?

Justru kan mengkritik supaya negara, bangsa menjadi lebih baik, lebih bermartabat, dan lebih bermoral dalam rangka penegakan hukum dan HAM.

Kalau sekarang baru diungkit, saya kira itu agak-agak disayangkan juga.

Jika bisa Anda gambarkan, bagaimana perasaan Anda saat ini dengan berbagai tuduhan yang Anda hadapi? Adakah rasa takut?

Takut pasti ada. Tapi kalau bergaul dengan orang Papua, itu ketakutan itu hilang. Benar. Itu menular makanya kan kayak yang ada di acceptance speech saya, pas saya terima award, saya bilang orang Papua itu yang mengubah hidup saya.

Mereka orang paling berani yang pernah saya temui, orang paling tangguh, kemudian tetap, terus lanjut berjuang. Aura dan energi seperti itu menular.

Di titik mana Anda memutuskan terlibat melakukan advokasi tentang masyarakat Papua?

Sebenernya bener-bener titik balik itu kejadian Paniai 2014, yang anak SMA ditembak mati, belasan orang terluka. Ditembak saja oleh aparat di lapangan.

Saat itu saya di LBH Jakarta, sudah menangani kasus-kasus HAM.

Ini ada kejadian begini kok nggak ada yang marah ya? Saya mulai bertanya dan saya mencari tahu lebih banyak tentang Papua dan di situlah mulai jadi fokus soal Papua.

Karena di Jakarta saja diskursus soal Papua saat itu sangat kurang dan itu betul-betul mengetuk hati ibaratnya.

Kebetulan Paniai itu juga menjadi janji Jokowi di kampanye pilpres yang pertama. Sesudah dilantik dia beberapa kali kunjungan ke Papua, janji-janjinya juga menyelesaikan kasus di Paniai.

(Komnas HAM telah menyebut bahwa kasus di Paniai termasuk kasus pelanggaran HAM berat.

Mantan Menkopolhukam Luhut Panjaitan sempat menyatakan yakin akhir tahun 2016.

Apakah Anda sudah berkomunikasi dengan pemerintah Australia terkait upaya pemerintah Indonesia mencari Anda?

Belum. Saya belum pernah kontak atau dikontak pemerintah Australia.

Apa yang Anda harapkan dari pemerintah Australia mengenai kasus ini?

Saya pikir karena Australia itu kan negara pemimpin di Pasifik dan salah satu tetangga terdekat Indonesia.

Saya pikir harus ada upaya lebih dari pemerintah Australia untuk... intinya berbuat lebih, minimal, di mana sama sekali tidak ada hubungannya dengan kedaulatan pemerintah, yaitu buka akses bagi jurnalis dan penuhi janji sejak dua tahun lalu untuk membiarkan Dewan HAM PBB masuk kunjungi Papua.

Apalagi Indonesia baru masuk Dewan HAM PBB. Menurut saya permintaan itu tidak berlebihan.

(Sebelumnya, pemerintah mengatakan jurnalis Indonesia dapat bebas meliput ke Papua.

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri membantah bahwa ada larangan bagi Dewan HAM PBB untuk masuk ke Papua.

Direktur Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri RI, Achsanul Habib mengatakan pemerintah dan Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (KT HAM PBB) masih membahas waktu kunjungan yang tepat.

Sebelumnya, .

Awal tahun ini, Wakil juru bicara OHCHR, Ravina Shamdasani, dalam keterangan tertulis kepada BBC News Indonesia mengatakan "pada prinsipnya Indonesia telah setuju untuk memberikan akses ke Papua.")

Apakah penentuan nasib sendiri adalah jalan terbaik menurut Anda?

Hak atas penentuan nasib sendiri itu adalah hak fundamental. Kalau di Hukum Internasional hierarkinya dia bernorma Jus Cogens, itu artinya super norma, norma yang tidak bisa ditawar-tawar, sejajar dengan hak tidak digenosida, bebas dari perbudakan.

Selain itu hak atas penentuan nasib sendiri juga punya norma namanya Erga Omnes, setiap negara, individu di dunia wajib mewujudkan hak tersebut. Itu adalah HAM. Jadi kenapa kita tabu membicarakan masalah itu?

(Sebelumnya, anggota tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Aisah Putri Budiatri, menilai yang harus dilakukan pemerintah adalah melakukan dialog dengan semua elemen di Papua untuk mencari solusi bersama atas masalah-masalah yang terjadi di Papua.

"Saya nggak bicara referendum atau langkah-langkah lain. Dengan dialog itu, nanti ketahuan langkah apa yang bisa dilakukan. Karena kita kan nggak tau apa yang sebenarnya diingini oleh pemerintah pusat dan masyarakat papua.

"Belum tentu juga (mereka menuntut) referendum, bisa juga yang lain. Kita kan nggak bisa menebak itu.")

Apakah Anda akan meminta perlindungan dari Australia?

Saya belum tau sih jujur saja. Masih tunggu keadaan dulu.