Prabowo Yakin Korupsi Diatasi dengan Naikkan Gaji, Bagaimana Faktanya

Pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto (kiri) dan Sandiaga Uno mengikuti debat pertama Pilpres 2019, di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis, 17 Januari 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

VIVA – Calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto yakin dengan meningkatkan penghasilan aparatur sipil negara dan aparat pemerintah, korupsi bisa ditekan. Dia pun menjabarkan caranya untuk menyediakan anggaran untuk wujudkan hal itu.

Dalam Debat Pilpres di Jakarta malam ini, Prabowo mengungkapkan, akan meningkatkan rasio penerimaan pajak RI untuk membiayai peningkatan penghasilan aparatur negara.

"Saya akan tingkatkan tax ratio yang sekarang 10 persen kurang. Minimal 16 persen lebih, Sehingga dapat kita tingkatkan gaji birokrat pegawai negeri, dan aparat hukum," ujar Prabowo, Kamis 17 Januari 2019.

Meski demikian Prabowo menegaskan, akan memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku koruptor yang berasal dari aparatur negara. Apalagi, penghasilan mereka sudah ditingkatkan.

Cek Fakta

Indonesia Corruption Watch mengungkapkan bahwa pada 2017 terdapat 576 kasus korupsi dengan kerugian negara sebesar Rp6,5 triliun, sedangkan kasus suap senilai Rp 211 miliar. Jumlah tersangka pun sebanyak 1.298 orang.

Bahkan, menurut ICW, tren korupsi di Tanah Air meningkat dari 2016. Sebanyak 482 kasus korupsi menyebakan kerugian negara Rp 1,5 triliun pada 2016. Tahun berikutnya, ungkap ICW, jumlahnya naik jadi Rp6,5 triliun.

Sejumlah riset, di satu sisi, mengungkapkan bahwa masalah korupsi disebabkan gaji yang tidak cukup. Seperti kesimpulan Komisi Empat, yang dibentuk Presiden Soeharto di awal 1970an bahwa faktor gaji mendorong terjadinya korupsi. Namun, ada studi-studi yang menyatakan bahwa korupsi tidak serta merta diatasi dengan menaikkan gaji.

Peneliti ICW, Luky Djani, dalam suatu tulisannya pernah memaparkan beberapa studi, termasuk dari Klaus Abbink pada tahun 2002 yang menyatakan "tak ada hubungan positif antara nilai gaji dan tingkat korupsi suatu negara."
 
Menurut Djani, korupsi pun hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki jabatan dan kekuasaan ataupun yang mempunyai pengaruh terhadap pemegang kekuasaan. "Jadi korupsi terjadi bukan karena gaji kecil, melainkan karena adanya kesempatan menyelewengkan otoritas kekuasaan untuk kepentingan pribadi," demikian menurut Djani.  

Sedangkan studi dari lembaga Transparency International pada 2013 menyimpulkan bahwa menaikkan gaji bagi aparatur negara bukan berarti bisa serta merta mengurangi atau mengatasi korupsi bila tidak ada kontrol dan manajemen staf dan sumber daya yang efektif. Ini berdasarkan riset atas sejumlah negara di Afrika untuk menguji asumsi bahwa korupsi bisa diatasi dengan menaikkan gaji bagi pegawai pemerintah karena adanya ketimpangan pendapatan dan beban kerja yang berat.