Liverpool, Raksasa Itu Sudah Terbangun dari Tidur Panjangnya

Liverpool juara Liga Champions 2018/2019
Sumber :
  • Twitter/@championsleague

VIVA – Kota Madrid bergemuruh setelah bunyi peluit panjang yang ditiup Damir Skomina terdengar dari sebuah stadion baru bernama Wanda Metropolitano. Ya, saat itu wasit asal Slovenia itu baru saja mengakhiri duel dua wakil Inggris, Liverpool kontra Tottenham, di babak final Liga Champions.

Liverpool akhirnya berhasil merengkuh mahkota juara Liga Champions 2018/2019 usai mengalahkan Tottenham 2-0 dalam laga final di Wanda Metropolitano, Madrid, Minggu 2 Juni 2019 dini hari WIB.

Gol penalti cepat bintang asal Mesir, Mohamed Salah, dan sumbangan gol penyerang muda Belgia, Divock Origi, memastikan gelar Liga Champions keenam yang berhasil diraih selama 126 tahun berdirinya armada Merseyside Merah.

Gelar juara Liga Champions terasa sangat istimewa. Mengingat, The Anfield Gang sebelumnya gagal merealisasikan target menjadi juara Premier League. Sebuah gelar yang belum juga berhasil diraih Liverpool semenjak kompetisi kasta tertinggi sepakbola Inggris, berubah format pada 1992.

Akan tetapi, Liverpool justru membuktikan diri sebagai salah satu raksasa Eropa. Sang raksasa saat ini sudah terbangun dari tidur panjangnya. 

Ya, sudah 13 tahun sejak Liverpool terakhir kali menyandang status Raja Sepakbola Eropa. Tepatnya musim 2004/2005, Liverpool berhasil merengkuh gelar yang sama usai kemenangan dramatis atas klub elite Italia, AC Milan.

Di balik kesuksesan Liverpool, ada cerita lain dari dua sosok penting, Juergen Klopp sang juru taktik, serta Salah sang bintang dari Benua Afrika.

Kutukan Akhirnya Sirna

Sebelum laga final digelar, Klopp menegaskan bahwa ia bukanlah pembawa sial. Manajer berpaspor Jerman ini sepertinya geram dengan banyaknya anggapan publik bahwa ia terkena kutukan final. Sebab seperti yang diketahui, Klopp pernah dua kali gagal di final Liga Champions, dan satu kali di final Liga Europa.

Nasib sial Klopp ternyata sudah dialami dalam lima final beruntun. Ya, saat masih menangani Borussia Dortmund, Klopp gagal di dua final DFB-Pokal (Piala Jerman) secara beruntun, muism 2013/2014 dan 2014/2015.

Setelah hengkang ke Liverpool musim 2015/2016, Klopp memang langsung menembus tiga final, Piala Liga Inggris dan Liga Europa. Sayang, dalam dua partai ini Klopp gagal membawa Liverpool juara. Di final Piala Liga Inggris, Liverpool kalah dari Manchester City, sementara di final Liga Europa The Reds tumbang di tangan Sevilla.

Nasib sial Klopp berlanjut di musim 2017/2018. Liverpool takluk 1-3 dari Real Madrid di final yang digelar di NSC Olimpiyskiy Stadium, Kiev. Kegagalan ini jadi yang kedua buat Klopp di final Liga Champions, setelah sebelumnya juga gagal di final Liga Champions 2012/2013 setelah Dortmund takluk dari Bayern.

Meski kenyataan itu membayangi, Klopp tetap tak peduli. Klopp tak mau dilabeli pembawa sial buat Liverpool. Sebab menurutnya jika ia sampai terpengaruh dengan anggapan itu, Liverpool akan terkena dampak buruknya.

"Semua situasinya berbeda, timnya juga berbeda. Jika Saya adalah alasan untuk keenam kalinya (secara beruntun) gagal di final (sepanjang karier Klopp), maka semua orang perlu khawatir," ujar Klopp dikutip BBC sebelum pertandingan.

"Karier saya sejauh ini bukan suatu kesialan. Saya tidak punya masalah dengan karier saya. Saya tidak melihat diri saya sebagai pecundang, dan kami akan punya masalah jika saya merasa seperti itu," katanya

Kutukan itu akhirnya sirna dan apa yang dikatakan Klopp terbukti benar. Manajer berusia 51 tahun ini merasa, ia dan pasukannya sebenarnya sudah memberikan segalanya untuk memenangkan gelar pada musim-musim sebelumnya. Tapi faktanya, baru musim ini Klopp dan Liverpool akhirnya bisa meraih gelar prestisius di Eropa.

"Kemenangan ini sangat penting untuk perkembangan dan peningkatan kami. Kami sebenarnya sudah melakukan langkah bagus sejak kemarin-kemarin (meski selalu gagal juara). Tapi publik selalu bertanya, kenapa kamu belum bisa juara apapun? Jadi, sukses kami kali ini sangat membantu," ucap Klopp usai pertandingan dikutip Soccerway.

Pengorbanan Bintang Afrika

Cerita lain yang juga menarik untuk disimak tentu dari Salah. Mencapai puncak kejayaan bersama Liverpool, sudah tentu awalnya hanya jadi mimpi buat winger 26 tahun ini. Bagaimana tidak, kegagalan di final musim lalu jadi ternyata jadi obat yang sangat mujarab bagi Salah untuk bangkit.

Salah lahir di Nagrig, sebuah desa kecil yang terletak di provinsi Gharbia. Dari desa yang berjarak 120 kilometer dari ibukota Mesir, Kairo, mimpi itu dijaga hingga berhasil menjadi nyata. Ada begitu banyak pengorbanan yang menurut Salah sudah dilakukan.

Kegagalan demi kegagalan seakan terus menguatkan eks pemain FC Basel, Chelsea, Fiorentina, dan AS Roma. Tentu masih segar dalam ingatak kita saat Salah dengan bangga memasuki Olimpiyskiy di Kiev untuk melakoni laga final musim lalu.

Salah yang tengah on fire saat itu, sangat diandalkan oleh Liverpool dan tentu ia punya ambisi besar meraih gelar juara Liga Champions. Untuk tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. 

Jangankan membawa Liverpool juara, Salah bahkan tak bisa bermain penuh setelah mengalami cedera akibat dijatuhkan bek Madrid, Sergio Ramos. Buntutnya, Liverpool kehilangan sang pemain andalan dan harus mengubur mimpi juara setelah menelan kekalahan 1-3.

"Semuanya terlihat bahagia saat ini. Saya sangat senang bisa bermain di dua final beruntun dan bisa bermain penuh. Semuanya memberi yang terbaik. Tak ada performa individu karena seluruh tim tampil luar biasa," kata Salah dikutip Uefa.com.

"Saya melakukan banyak pengorbanan dalam karier saya. Pergi meninggalkan kampung untuk ke Kairo. Dan menjadi orang Mesir di level seperti ini sangatlah tak terbayangkan bagi saya," ucapnya.

Keberhasilan Liverpool adalah bukti dari sebuah usaha keras, keyakinan, dan pengorbanan. Tak hanya dilihat dari hanya sebuah klub sepakbola. Di dalamnya, ada sejumlah cerita soal perjuangan yang bisa menjadi inspirasi. Setelah semuanya, selamat kepada Liverpool!