Penembakan Brutal Masjid Dipicu Dendam dan Doktrin Sesat?

Ilustrasi pengamanan sementara menyusul penembakan.
Sumber :
  • Sumber BBC

VIVA – Aksi teror penembakan brutal pada dua masjid di Selandia Baru menjadi perhatian dunia. Sang teroris beraksi ekstrem, menembaki jemaah yang sedang berada di lingkungan masjid dan disiarkan langsung melalui media sosial.

Aksi ekstrem itu mendapat perhatian dari ahli otak asal Indonesia, Taruna Ikrar. Menurut dia, aksi ekstrem yang dilakukan seseorang atau kelompok terjadi karena beberapa faktor, di antaranya aspek doktrin, aspek balas dendam atas perbuatan tertentu, serta aspek gangguan patologis pada otak (brain patology).

Pakar neurosains asal Makassar itu menjelaskan, aspek doktrin dan belas dendam sudah mudah dicermati bisa memunculkan aksi teror. Dengan doktrin yang mengakar dan tidak benar, seseorang merasa tidak bersalah melakukan terorisme, malah bisa jadi teroris merasa aksinya adalah sesuatu yang heroik.

Aksi ekstrem juga bisa muncul karena seseorang bermotif balas dendam dengan sentimen apapun.

"Kalau dari faktor ketiga, ada gangguan parologis di otak. Dalam neurosains ada yang namanya brain alternation, dalam konteks itu bisa menjelaskan apa yang terjadi," jelas Guru Besar di Pacific Health Sciences University, California, Amerika Serikat itu kepada VIVA, Sabtu 16 Maret 2019.

Dia mengatakan, aksi ekstrem bisa dilacak dari sudut kinerja otak. Struktur otak sentral terbagi atas dua bagian yakni cortex dan subcortex atau limbik.

Bagian cortex terdiri atas pre frontal cortex, parietal cortex dan temporal cortex. Sedangkan sub cortex atau sistem limbik terdiri dari hippocampus, para-hippocampus, amigdalea yang mana semuanya menjadi bagian dari sistem limbik.

Nah struktur otak dalam konteks yang berkaitan untuk tindakan, biasanya ada struktur khusus yang sangat penting, yakni Pre frontal cortex (PFC) dan Parietal cortex (PC) serta Basal Ganglia (BG).

"Ini sangat penting dalam sebuah tindakan. struktur temporal cortex atau struktur amigdalea dan hippocampus itu area yang memicu emosi orang yang kadang berbuat ekstrem," ujarnya menjelaskan.

Menurutnya, ada beberapa pelaku teror atau aksi ekstrem yang mempunyai patologi dalam struktur otak tersebut. Taruna mengatakan, patologi dalam struktur otak bisanya berpotensi membuat orang terpicu melakukan tindakan ekstrem dan teror.

"Patologi ini membuat dia (teroris) tidak merasa bersalah dalam pembunuhan, malah bangga dengan kondisi ekstrem yang dilakukan ke orang lain. Kalau orang dalam konteks ini maka orang ini ditempatkan pada kategori orang yang tidak normal," ujarnya menambahkan.

Untuk itu sudah semestinya semua masyarakat dan pemerintahan dunia bersatu untuk menggulung dan mencegah kejadian teror muncul lagi. Selain tindakan pencegahan, deteksi dini atas aksi teroris perlu digalakkan pada semua tingkatan dan elemen masyarakat.

Untuk itu, menurutnya sangat penting saat ini adalah bagaimana tiap negara bisa belajar dari kejadian di Selandia Baru. "Bahwa (peristiwa) itu perlu jadi keprihatinan dunia bahwa ada Islamiphobia di berbagai belahan dunia. Sebagai bagian dari umat Islam di dunia, kami prihatin dan kita melakukan pencegahan hal seperti ini agar tidak muncul di tempat lain." (mus)