Bisakah Binatang yang Dirawat Manusia Bertahan Hidup di Alam Liar?

- CHAIDEER MAHYUDDIN/GETTY IMAGES
Sumber :
  • bbc

VIVA - Sebagian spesies binatang, butuh proses panjang untuk melepaskannya kembali ke alam liar.

Dalam banyak hal, manusia telah jauh lebih baik memperlakukan satwa liar yang ditangkap. Dulu bangsa Romawi secara rutin menyiksa dan membantai singa, macan tutul, badak, dan bahkan gajah di Colosseum. Memancing beruang adalah hal yang biasa ditemui di seluruh Eropa sampai abad ke-19.

Saat ini, hewan sirkus menjadi tak lagi menarik, apalagi sekarang beberapa negara seperti Inggris telah melarang mereka sepenuhnya. Lantas, apa yang terjadi dengan semua hewan yang sebelumnya menghabiskan hidup mereka di kebun binatang dan sirkus atau sebagai hewan peliharaan, dan kini dibebaskan?

Bisakah binatang apa pun, setelah bertahun-tahun ditahan, bisa benar-benar bebas?

Bahkan seumur hidup di kebun binatang yang paling manusiawi sekalipun akan mempengaruhi hewan setelah bertahun-tahun terlindungi. Hewan kurungan jarang belajar keterampilan bertahan hidup yang penting dan sering kali terbiasa dengan kontak manusia.

Karena tidak memiliki rasa takut alami terhadap manusia, mereka rentan pemburu liar dan tidak siap untuk hidup di alam liar.

Tidak ada kasus yang membuat ini lebih memilukan selain kisah Keiko, seekor orca, bintang dari Free Willy (1993).

Kampanye besar-besaran untuk menulis surat menuntut kebebasannya menyebabkan Keiko diterbangkan ke Islandia pada tahun 1999 untuk dibebaskan. Sayangnya, Keiko tidak diajari keterampilan bertahan hidup di alam liar.

Diambil pada usia yang sangat muda dan terlalu terbiasa dengan kontak manusia, beberapa upaya untuk membantunya bergabung dengan kumpulan liar gagal.

Pada akhirnya, Keiko berenang ke sebuah pelabuhan di Norwegia, aktif mencari teman manusia. Dia tidak pernah berhasil berintegrasi dengan populasi liar, harus berjuang untuk berburu, dan akhirnya meninggal karena pneumonia pada tahun 2002.

"Melepas hewan ke alam liar tidak secara otomatis menjadi kepentingan terbaik para satwa," kata Dr Chris Draper kepala kesejahteraan hewan dan penangkaran di Born Free, sebuah badan amal yang berkampanye untuk memelihara hewan di alam liar.

"Kerusakan sudah terjadi ketika hewan itu dibawa dari alam liar sejak awal; berbahaya untuk menganggap bisa dilepaskan tanpa menambah kesengsaraan," ungkap Draper.

Untuk ikan, reptil, dan amfibi, reintroduksi dapat dilakukan secara langsung: katak misalnya dapat dikembangbiakkan dalam jumlah besar di laboratorium dan dilepaskan ke alam liar.

Tetapi dengan mamalia kompleks seperti primata, kucing besar, gajah, lumba-lumba dan paus, yang mungkin memerlukan instruksi bertahun-tahun dari ibu mereka, dan seluruh kelompok anggota spesies lain di mana mereka dapat berkembang ketika dewasa, reintroduksi jauh lebih sulit.

"Sekian lama, gagasan mengembalikan hewan seperti mamalia besar ke alam bebas, bukanlah sebuah opsi. Tetapi sekarang kita melihat orang-orang di lapangan mempertanyakan kepercayaan yang telah lama dipegang itu bahwa tidak mungkin mengembalikan hewan peliharaan ke habitat alami mereka," kata Katie Moore, deputi wakil presiden bidang konservasi dan kesejahteraan hewan untuk LSM International Fund for Animal Welfare.

"Ya, dalam banyak kasus itu masih mustahil, terutama jika hewan-hewan itu trauma atau masih sangat muda ketika ditangkap. Dan Anda harus sangat berhati-hati dalam memperkenalkan penyakit ke populasi liar. Tetapi bagi sebagian hewan, jika kita lanjutkan secara ilmiah dan penuh perhitungan, itu bisa dilakukan."

Misalnya African Lion and Environmental Research Trust (ALERT) di Zimbabwe, yang selama 15 tahun telah bekerja untuk memperkenalkan singa ke alam liar.

"Ya, singa bisa menjadi terbiasa dengan manusia, tetapi kami memastikan bahwa singa yang kami bebaskan tidak terbiasa," kata Dr Norman Monks, CEO ALERT.

Ada beberapa tahapan metode pembebasan mereka, yang akhirnya melepaskan anak dari hewan yang dikurung ke alam liar.

Pertama, singa yang telah terbiasa dengan manusia dilepaskan ke dalam kandang besar dengan mangsa untuk diburu.

Selanjutnya, hewan-hewan itu (yang tidak pernah ditangani manusia lagi) akhirnya membentuk kelompok singa dan melahirkan anak-anak baru.

Kemudian anak-anak itu, yang telah tumbuh bersama dan membentuk ikatan sosial, akhirnya dilepaskan sebagai suatu kelompok.

"Ini penting, karena kita tidak ingin menempatkan anak-anak singa ini ke alam liar jika mereka bukan suatu kumpulan yang kohesif yang akan saling memelihara."

Karena singa adalah binatang sosial (dan spesies kucing satu-satunya yang sosial), dan kebutuhan mereka untuk hidup bersama kelompok mereka perlu diperhatikan saat mempersiapkan mereka untuk dilepaskan ke alam liar.

Banyak kelompok lain yang menantang gagasan lama dan berupaya mengembangkan teknik baru yang disesuaikan dengan kebutuhan berbagai spesies untuk mencapai apa yang sebelumnya dianggap mustahil, seperti Chimpanzee Rehabilitation Trust, Wildlife Vets International, dan Born Free.

Pelepasan ke alam liar untuk beberapa hewan lebih mudah daripada yang lain, dan kebutuhan masing-masing spesies perlu dipertimbangkan dengan cermat.

"Salah satu spesies yang akan sangat bermasalah adalah beruang kutub. Mereka hidup di lingkungan yang sangat terspesialisasi, dan perlu belajar keterampilan untuk bertahan hidup di lingkungan itu dari ibu mereka. Mempelajari ketrampilan-ketrampilan itu dalam konteks sebelum dilepaskan hampir tidak mungkin," kata Dr Draper.

"Tapi jenis beruang lain tampaknya cukup berhasil ketika dilepaskan kembali ke alam liar. Tapi itu sangat tergantung pada individu hewan itu: usia saat ditangkap, apakah dibesarkan di kurungan, pengalaman saat dikurung, segala jenis trauma, kesehatan, nutrisi awal. Tidak ada resep ajaib."

Bagi banyak spesies, seperti halnya singa, sering kuncinya adalah melepaskan hewan dalam kelompok. "Bahkan simpanse yang telah hidup di laboratorium selama bertahun-tahun dapat melakukannya dengan cukup baik ketika dilepaskan dalam kelompok ke pulau-pulau yang dilindungi," kata Dr Draper.

Sejak 2006, ahli konservasi di Penyelamatan Orangutan di Indonesia telah mengambil bayi orangutan yang sering dipelihara sebagai binatang peliharaan setelah ibunya ditembak oleh petani karena merusak tanaman.

Di alam liar, orangutan akan menghabiskan sembilan tahun bersama ibunya; waktu yang sangat lama, bahkan untuk primata.

Ini berarti orangutan yang yatim membutuhkan pengasuhan dan pendidikan dalam jumlah yang sangat besar.

Bayi orangutan akan menghabiskan waktu lima hingga sepuluh tahun di pusat konservasi itu untuk diajarkan keterampilan bertahan hidup kunci seperti cara memanjat pohon, memecahkan kelapa, menangkap rayap, dan juga mereka perlu takut akan ancaman seperti laba-laba, ular - dan manusia.

"Kami berusaha untuk tak ikut campur sebanyak mungkin. Kami mencoba untuk tidak membiarkan mereka melekat pada kami, karena mereka butuh belajar untuk tidak mempercayai orang," kata Karmele Llano Sanchez, direktur program Penyelamatan Orangutan di International Animal Rescue.

"Kuncinya adalah mereka belajar lebih banyak dari satu sama lain daripada dari kita: satu hewan akan belajar keterampilan dengan sangat cepat, dan kemudian mengajar yang lain. Inilah cara mereka belajar menjadi orangutan kembali," tambah Sanchez.

"Butuh bertahun-tahun dan banyak usaha, tetapi ternyata secara mengejutkan berhasil - saya tidak berpikir program pelepasan itu akan berjalan sebaik itu. Bahkan orangutan liar yang dibawa kepada kami setelah kebakaran hutan dengan luka-luka, atau yang kelaparan, dapat sehat kembali dan dikembalikan ke alam liar."

Merehabilitasi orangutan tidak murah: dengan biaya perawatan hewan sebesar $250 (Rp 3,5 juta) per bulan, mungkin diperlukan $5.000 (Rp75 juta) atau $10.000 (Rp150 juta) untuk akhirnya melepaskan seekor hewan, dan kegiatan mereka selalu kepentok oleh dana.

Namun ada sisi positif dari tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk merawat orangutan. "Ya biayanya tinggi, tetapi uangnya sebagian besar digunakan untuk membayar pemandu dan pelacak yang mengikuti mereka di alam liar begitu kami membebaskan mereka - kami mempekerjakan banyak orang," kata Sanchez.

"Dengan cara ini kami bisa mendapatkan dukungan dari komunitas. Ini pada akhirnya merupakan cara terbaik untuk menyediakan penghasilan alternatif untuk berburu atau menebang pohon."

Ini merujuk ke salah satu tantangan terbesar dalam reintroduksi: menemukan habitat yang cocok di dunia di mana perburuan, penebangan dan pertanian menghapus tempat-tempat liar di dunia.

"Permintaan minyak kelapa sawit meningkat, dan masalah orangutan yatim hanya akan menjadi lebih buruk karena Malaysia memproduksi minyak kelapa sawit untuk seluruh dunia," kata Sanchez.

"Impiannya adalah untuk tidak mengatakan tidak pernah, tetapi kenyataannya meskipun hewan secara fisik mampu melakukan ini, menemukan tempat pelepasan yang cocok sangat menantang," kata Dr Draper.

"Tapi kita harus mencoba. Ya, itu memakan waktu dan mahal, tetapi jika memungkinkan, kita harus mencoba, hanya karena itu hal yang benar untuk dilakukan."

Untuk beberapa hewan, reintroduksi akan selalu sulit, seperti bayi gajah, atau hewan peliharaan citah, yang keduanya terbiasa dengan perawatan manusia dengan sangat cepat, kata Moore dari IFAW.

Tapi kita baru saja mulai menantang ide-ide lama tentang reintroduksi, dan kita masih harus banyak belajar.

"Jika kita tidak mendorong batasan, kita tidak akan pernah tahu apa yang mungkin," katanya.