Perlindungan atas Disabilitas Didesak Masuk ke RUU PKS

Sejumlah perempuan memegang sebuah kertas bertuliskan Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual beberapa waktu lalu
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Kornelis Kaha

VIVA – Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) dan sejumlah organisasi lainnya meminta agar dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dimasukkan substansi yang melindungi kelompok disabilitas. Mereka juga mendukung percepatan pengesahan RUU ini.

"Kita mau memberikan tambahan masukan, bagaimana prakteknya untuk perlindungan bagi penyandang disabilitas. Kemudian mendukung percepatan dari proses pengesahan RUU ini sendiri," kata perwakilan HWDI, Maulani Rotinsulu, usai menyampaikan aspirasi di komisi III DPR Jakarta, Jumat 8 Maret 2019.

Ia menjelaskan banyak persoalan kelompok disabilitas di daerah-daerah yang tak mendapatkan keadilan terkait kasus kekerasan seksual. Bahkan kelompok disabilitas malah mendapatkan kesaksian 'terbalik' seakan tak menjadi korban.

"Keadilan pada kelompok rentan kelihatan sekali. Jadi kami sangat gembira terlepas dari masukan-masukan perspektif lain tapi setidaknya kami melihat ini peluang yang selama ini kita terabaikan. UU ini adalah prioritas utamanya adalah UU untuk kelompok rentan, anak, perempuan dan disabilitas," kata Maulani.

Ia mengatakan hampir semua pasal dalam RUU tersebut ia setuju. Tapi ia meminta agar dalam RUU tersebut, Pasal 104 dihapus. Pasal tersebut berisi aturan soal pemasangan kontrasepsi.

"Waktu itu draf pasal 104, di sebelumnya mereka mengatakan pemasangan kontrasepsi paksa itu adalah tindakan kriminal, tindakan pidana, tapi ketika di 104 mereka mengatakan terkecuali pemasangan kontrasepsi pada penyandang disabilitas mental, dan intelektual, itu dapat diputuskan oleh keluarga dan tenaga ahli," kata Maulani.

Ia menilai dalam pasal ini, prinsip penghormatan atas tubuh seseorang dilanggar. Sehingga meski menyandang disabilitas mental, harus dicari cara agar yang bersangkutan memahami hal tersebut.

"Kalau mereka (penyandang disabilitas) dididik terkait pendidikan kesehatan reproduksinya mereka pasti tahu. Lihat saja teman-teman disabilitas tadi downsindrom biasa-biasa saja gitu loh, mau ngobrolin apa juga nyambung. Kerena memang kemudian mereka ini adalah teman-teman yang survive, keluarga memperhatikan, pendidikan," kata Maulani.

Terkait hal ini, Anggota Komisi VIII DPR fraksi Gerindra, Rahayu Saraswati, mengingatkan karena Tahun Politik, jangan sampai RUU ini menjadi isu politik. Meski begitu, ia optimis pembahasan UU ini bisa selesai Agustus 2019.

"Optimisnya sih bisa. Tapi realitanya nanti seperti apa akan sangat tergantung dari pemahaman setiap fraksi," kata Rahayu pada kesempatan terpisah.

Ia menceritakan pembahasan draf RUU ini sudah dilakukan bersama pemerintah. Pembahasan kembali akan dilakukan pada Mei 2019.

"Diawali pembahasan internal panja DPR baru setelah itu pembahasan dengan panja pemerintah," kata Rahayu.

Ia menjelaskan dalam proses pembuatan RUU ini memang harus melalui tahapan. Lalu drafnya juga harus dibahas dengan para akademisi, tokoh, tokoh agama, pakar, dan psikolog.

"RDPU untuk mendapatkan sebanyaknya masukan untuk rancangan UU ini seperti yang kami lakukan dengan himpunan wanita disabilitas Indonesia. Untuk pada saat nanti pembahasan akan melengkapi wawasan kami. Jadi bukan hambatan. Ini harus dikoreksi sedikit bahwa ini hanya proses yg butuh waktu," kata Rahayu.

Ia melanjutkan komisinya juga sangat berhati-hati dalam membahasnya. Sebab bisa jadi ada bahasa yang multi tafsir. Sehingga bisa dipastikan bahasa yang digunakan memberikan perlindungan pd korban, menegakkan keadilan bagi korban, tanpa mengundang kontroversi.

"Sekali lagi belum ada daftar inventarisasi masalahnya. Secara formalnya pun juga pembahasan yang di dalam panja itu belum ada. Kami masih melakukan RDPU seperti misalnya hari ini kita melakukan audiensi," kata Rahayu. (ren)