Aturan Antihoax Dibuat Harus Sesuai dengan Indonesia

Seorang warga membubuhkan tanda tangan untuk mendukung Pemilu 2019 anti hoax saat berlangsung Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Kawasan Bundaran HI Jakarta
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA – Beberapa negara di Eropa dan Asia Tenggara, sudah memiliki undang-undang anti informasi dan berita palsu atau hoax dan fake news.

Meskipun Indonesia belum ada, namun telah mempelajari aturan serupa di negara yang sudah menerapkan. Negara-negara yang memiliki aturan tersebut yaitu Singapura, Malaysia, Vietnam, Jerman, dan Rusia.

"Contohnya Jerman, dengan NtzDG Law. Isinya mengenai konten-konten apa saja yang dibatasi, kemudian mekanismenya seperti apa," kata Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat atau ELSAM, Wahyudi Djafar di Jakarta, Selasa malam, 28 Mei 2019.

Ia bercerita, ketika berdiskusi dengan sejumlah ahli, ada satu aspek yang harus diperhatikan oleh Indonesia. Jika aturan antihoax akan dibuat, kontekstualnya dengan Indonesia, bukan negara lain.

Menurut Wahyudi, aturan ini dianggap demokratis di Jerman. Sebab, dengan pelaporan pertama dilakukan kepada platform, baru nanti pemerintah masuk (ikut campur) ketika platform tersebut tidak tunduk aturan.

"Tetapi, apakah di Indonesia bisa diterapkan seperti itu? Di sini, model konsumennya jelas berbeda dengan Jerman. Ini yang masih harus ditegaskan," ungkapnya.

Kalau pun media sosial diatur, Wahyudi mendesak penekanannya pada platform. Selain itu, harus dirumuskan, ketika platform bisa menegakkan community guide rules masing-masing.

Konten-konten yang diatur juga harus lebih jelas, serta pengembangan aturannya by design dan by default.

"By design, misalnya sekarang WhatsApp bisa forward maksimal lima orang untuk mencegah penyebaran. Itu bisa didorong dengan aturan," ujar Wahyudi.

Ia juga menyoroti hal ini bisa didorong oleh literasi digital. Walaupun dirinya tidak yakin dengan langkah tersebut.

Wahyudi mengaku bahwa ukuran tidak terpapar hoax atau tidak bukan karena sudah memiliki literasi digital yang tinggi.

"Orang-orang Eropa kurang literate apa coba? Toh, ternyata hoax masih banyak saja di sana. Orang Inggris percaya dengan Brexit," jelas Wahyudi. (asp)