Gara-gara Facebook, Muslim Rohingya Terancam Terusir Lagi

Pengungsi Rohingya
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

VIVA – Seorang pengungsi muslim Rohingya, Mohammad Salim mengira masalah pembantaian terhadap kelompoknya dan kesalahan informasi di Facebook telah selesai setelah dia memutuskan pindah dari negerinya, Myanmar. Namun nyatanya baru-baru ini di rumah barunya, di Benggala Barat, India, Salim tidak lagi terasa aman. Hoax yang tersebar di Facebook kembali menyebabkan masalah.

Dikutip dari laman New York Times, Senin 17 Juni 2019, selama pemilihan nasional di India, Salim melihat unggahan di Facebook yang menuduh muslim Rohingya melakukan kanibalisme. Bersamaan dengan itu, ada juga ancaman membakar rumah mereka jika tidak segera meninggalkan India.

Akibatnya, beberapa nasionalis Hindu bersumpah untuk mengusir mereka. Lalu muncul juga unggahan yang menuduh muslim Rohingya membunuh pekerja di Benggala Barat.

"Banyak kelompok yang menjelek-jelekan kami di Facebook dan WhatsApp. Mereka berhasil membuat semangat anti-Rohingya bangkit di negara bagian ini. Saya tidak lagi menjual jus buah di stasiun kereta api lokal dan pindah ke lokasi baru," ujarnya.

Salim bersama istrinya yang sedang hamil dan dua anaknya yang masih balita pindah dari Myanmar. Kediamannya saat ini menjadi yang keempat selama 15 bulan terakhir. Pengalaman pria usia 29 tahun ini menunjukkan, raksasa media sosial itu telah gagal menghentikan ujaran anti-Rohingya di platformnya.

Padahal pendiri Facebook, Mark Zuckerberg telah berjanji menyelesaikan masalah tersebut pada tahun lalu. Selama bertahun-tahun Facebook telah mengabaikan propoganda anti-Rohingya, meskipun banyak ditemukan bukti yang kuat karena telah mengarah pada pembunuhan massal, pemerkosaan dan penghancuran desa.

Setelah PBB mengkritik Facebook, barulah mereka memainkan peran. Zuckerberg mengatakan, "Apa yang terjadi di Myanmar adalah tragedi yang mengerikan, dan kami perlu berbuat lebih banyak," katanya.

Perusahaan mengklaim telah membuat kemajuan yang signifikan. Mereka memiliki tim yang terdiri dari 100 orang lokal Myanmar untuk meninjau postingan. Kemudian mereka berhasil melarang beberapa akun militer yang sering melontarkan ujaran kebencian.

"Kami tidak ingin layanan kami digunakan untuk menyebarkan kebencian, menghasut, kekerasan terhadap suatu kelompok atau etnis mana pun, di negara mana pun, termasuk Rohingya di India," kata Facebook dalam sebuah pernyataan. 

Facebook memiliki aturan yang jelas terhadap ujaran kebencian dan ancaman kekerasan. Mereka menggunakan perpaduan dari teknologi dan laporan untuk mengidentifikasi dan menghapus konten jenis tersebut.