Indonesia Jadi Target, Intelijen Siber Dikerahkan Lacak Hacker

Ilustrasi keamanan siber.
Sumber :
  • HIMSS

VIVA – Saat ini mayoritas serangan siber menyasar sektor keuangan, perdagangan, serta sumber daya manusia (SDM). Sektor-sektor ini memiliki dampak psikologis besar bagi masyarakat.

Berdasarkan National Cyber Security Index, sebuah indeks yang disusun untuk mengukur keamanan siber secara global, Indonesia menempati urutan 105 dari 130 negara yang paling rentan diretas dengan nilai Security Index 19,48 poin.

Padahal, indeks level pengembangan digital Indonesia mencapai 50,22 atau berada di peringkat 87. Artinya, keamanan siber di Indonesia belum sebanding dengan perkembangan digital.

Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menunjukkan jumlah pengguna internet mencapai lebih dari 143 juta jiwa atau setara 54,68 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Peningkatan penetrasi internet di Tanah Air memunculkan risiko berupa upaya pencurian data.

Tak ayal, ancaman kebocoran data dalam konteks keamanan dunia maya (cybersecurity) kembali menjadi sorotan khusus, di mana Indonesia menjadi negara ketiga paling ditarget oleh peretas atau hacker setelah Amerika Serikat dan India.

Menurut laporan Check Point, Software Technologies Inc, berdasarkan sektor, industri keuangan menjadi sektor yang paling rentan terhadap ancaman ini. Lebih lanjut menurut laporan ini bahwa dugaan akan bocornya belasan juta data konsumen di sejumlah e-commerce masih menjadi berita yang hangat di Tanah Air.

"Alokasi investasi untuk cybersecurity, terutama mengatasi kebocoran data, sebaiknya dimulai dengan penilaian cyber intelligence (intelijen siber) yang holistik dan komprehensif," kata Agus F Abdillah, chief of product and service officer Telkomtelstra, dalam keterangannya, Jumat, 28 Juni 2019.

Menurut dia, penerapannya fokus pada wawasan berbasis bukti, termasuk mekanisme, indikator, implikasi, dan rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti tentang ancaman atau bahaya yang ada atau dapat muncul terhadap aset perusahaan.

Meski demikian, intelijen siber terdiri atas jutaan indikator yang perlu difilter dan diprioritaskan. Ia pun mengingatkan, selain teknologi, intelijen siber terbaik juga membutuhkan elemen talenta manusia yang ahli dalam masalah keamanan. "Inilah yang saat ini sulit ditemukan di Indonesia," ungkapnya.

Direktur Eksekutif Information and Communication Technology Institute, Heru Sutadi, menyebut tidak ada sebuah sistem yang sepenuhnya aman dari gangguan keamanan siber. Demikian pula dengan sistem digital di Indonesia yang tak akan luput dari serangan siber.

“Pihak yang tidak bertanggung jawab akan memanfaatkan celah keamanan sekecil apa pun. Perkembangan kejahatan siber meningkat baik secara kuantitas dan kualitas,” papar dia.

Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain penguatan kapasitas keamanan siber sebuah negara. Penguatan dilakukan untuk mengimbangi level pengembangan digital yang saat ini semakin cepat.

"Indonesia harus sadar mengenai bahaya kejahatan siber. Apalagi kita juga pernah mendapatkan serangan malware dari seluruh dunia. Itu bukti tidak ada sistem yang 100 persen aman,” tutur Heru.